Setelah kejadian menyakitkan di sekolah, Adam memutuskan untuk mengambil tindakan. Dia tahu bahwa apa yang dialami Aisha sudah kelewatan, dan sebagai kakak, dia tidak akan membiarkan hal ini terus berlanjut. Adam merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan Rina dan teman-temannya adalah dengan melaporkan mereka ke pihak sekolah. Dengan langkah tegas, Adam memasuki kantor kepala sekolah pada keesokan harinya, tekadnya sudah bulat.
Di ruang kepala sekolah, Adam duduk dengan penuh ketegangan. Kepala sekolah, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh wibawa, mendengarkan cerita Adam dengan seksama.
"Pak, adik saya, Aisha, sudah berkali-kali dibully oleh Rina dan teman-temannya," kata Adam dengan suara yang mantap. "Kemarin mereka melakukan prank yang sangat kejam, membuat adik saya basah kuyup dan mempermalukannya di depan orang lain. Saya tidak bisa diam saja. Saya ingin mereka bertanggung jawab."
Kepala sekolah mengangguk pelan, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Saya minta maaf atas kejadian ini, Adam. Saya akan segera memanggil Rina dan orang tuanya untuk membicarakan hal ini. Sekolah kami tidak menoleransi tindakan bullying, dan saya pastikan tindakan tegas akan diambil."
Setelah pertemuan itu, kepala sekolah segera memanggil Rina ke kantornya. Wajah Rina yang biasanya penuh percaya diri kini tampak pucat dan cemas. Dia tahu bahwa laporan Adam bukanlah hal sepele, dan kali ini dia tidak bisa mengelak dari konsekuensinya.
Di kantor kepala sekolah, Rina duduk dengan gelisah. Kepala sekolah menatapnya dengan tatapan serius. "Rina, saya sudah mendengar laporan tentang perilaku kamu terhadap Aisha. Apa yang kamu lakukan tidak bisa diterima di sekolah ini. Kami akan memanggil orang tua kamu untuk membicarakan masalah ini."
Rina menunduk, tidak berani menatap kepala sekolah. Hatinya dipenuhi rasa takut, tapi juga ada perasaan malu yang perlahan muncul. Dia tahu bahwa apa yang dia lakukan salah, tapi dia tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini.
Ketika orang tua Rina tiba di sekolah, suasana semakin tegang. Aisha, yang kebetulan sedang berjalan di koridor menuju kelasnya, melihat dari kejauhan bagaimana orang tua Rina dipanggil masuk ke kantor kepala sekolah. Dia mengenali ibu Rina yang selalu tampak galak, dan ayahnya yang sering terlihat marah. Dari sudut pandang Aisha, sepertinya ini bukan kali pertama mereka datang ke sekolah untuk urusan seperti ini.
Aisha mencoba mengabaikan apa yang dilihatnya, tapi hatinya terusik. Ketika orang tua Rina keluar dari kantor kepala sekolah, dia bisa mendengar suara marah mereka bergema di lorong.
"Kenapa kamu harus bikin masalah lagi, Rina? Apa kamu nggak pernah bisa belajar dari kesalahan? Selalu bikin malu aja!" suara keras ibunya terdengar jelas, penuh dengan kemarahan.
"Ayah udah capek dengan semua kelakuanmu. Kalau kamu terus seperti ini, jangan harap bisa minta apa-apa lagi!" bentak ayahnya, wajahnya memerah karena marah.
Rina menunduk, wajahnya berkerut menahan tangis. Aisha, yang menyaksikan pemandangan itu dari jauh, merasa ada yang berubah dalam dirinya. Dia tidak lagi merasakan kebencian terhadap Rina, melainkan ada rasa iba yang muncul. Kini, Aisha bisa mengerti mengapa Rina bersikap kasar dan sering membully orang lain. Rina, yang tampak begitu kuat di sekolah, ternyata hanya seorang anak yang penuh dengan luka batin di rumahnya.