Waktu berlalu begitu cepat, dan kini Aisha telah memasuki babak baru dalam hidupnya. Setelah lulus dari SD dengan prestasi yang cukup baik, Aisha diterima di salah satu SMP favorit di kota mereka. Ini adalah pencapaian besar bagi Aisha, terutama karena dia berasal dari SD negeri yang biasa saja. Namun, keberhasilan ini juga membawa tantangan baru yang belum pernah ia hadapi sebelumnya.
SMP barunya dikenal dengan standar akademik yang tinggi dan persaingan yang ketat. Aisha merasa sedikit gugup saat pertama kali memasuki gerbang sekolah. Gedung-gedung sekolah yang besar, fasilitas modern, dan suasana yang tampak begitu profesional membuatnya merasa kecil. Namun, di balik kegugupan itu, Aisha juga merasakan semangat baru yang membara dalam dirinya. Dia bertekad untuk memberikan yang terbaik dan membuktikan bahwa dirinya pantas berada di sana.
Sementara itu, Wiwid, ibunya, juga meraih keberhasilan dalam hidupnya. Setelah berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Wiwid akhirnya diterima menjadi guru SD. Pekerjaan ini membawa kebahagiaan dan stabilitas baru dalam kehidupan mereka. Kini, Wiwid bisa memenuhi kebutuhan Aisha dan Adam dengan lebih baik, meskipun kesedihan karena kehilangan Eddy masih membekas.
Adam dan Aisha kini bersekolah di tempat yang sama. Meskipun Adam lebih tua, mereka tetap berada di satu lingkungan yang sama, yang memberikan rasa aman bagi Aisha. Namun, di SMP ini, Aisha mulai merasakan tekanan yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia selalu menjadi salah satu siswa terbaik di SD, terutama dalam bidang matematika, tetapi di SMP favorit ini, dia merasa tertinggal dari teman-temannya dalam satu mata pelajaran yang menjadi kelemahannya: bahasa Inggris.
Suatu sore setelah pulang sekolah, Aisha duduk di meja belajarnya, dikelilingi oleh tumpukan buku pelajaran. Di depannya, buku bahasa Inggris yang terbuka menampilkan halaman penuh dengan kata-kata asing dan aturan grammar yang membingungkan. Aisha mencoba fokus, tapi pikirannya terus melayang, merasa bahwa pelajaran ini semakin sulit dipahami.
"Kenapa bahasa Inggris susah banget, ya?" gumam Aisha pada dirinya sendiri, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia merasa frustrasi karena banyak kata dan aturan grammar yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.
Adam, yang sedang mengerjakan tugas di kamar sebelah, mendengar keluhan adiknya dan memutuskan untuk menghampirinya. "Sha, kamu kenapa? Ada yang bisa Abang bantu?" tanya Adam sambil duduk di samping Aisha.
Aisha menghela napas panjang, lalu menatap Adam dengan wajah cemas. "Bang, aku rasa aku ketinggalan jauh dari teman-teman di pelajaran bahasa Inggris. Mereka semua kayaknya lebih lancar dan ngerti aturan-aturan grammar ini. Aku bahkan nggak bisa jawab soal ini," katanya sambil menunjukkan soal yang sedang dia kerjakan.
Adam melihat soal itu sejenak, lalu tersenyum kecil. "Tenang, Sha. Kamu cuma butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Di awal-awal memang terasa berat, tapi nanti kamu pasti bisa mengejar ketertinggalan. Apa yang bikin kamu kesulitan?"
Aisha menunjukkan beberapa soal yang membingungkannya. "Ini… aku nggak ngerti gimana cara pakai present perfect tense, dan vocab ini bikin aku pusing. Kata-katanya asing banget, aku sering lupa artinya."
Adam melihat soal itu dan mencoba menjelaskan sebisanya, tetapi dia sendiri juga merasa bahwa bahasa Inggris bukan keahliannya. "Present perfect itu untuk ngomongin sesuatu yang sudah terjadi tapi masih relevan dengan sekarang. Contohnya… ‘I have eaten,’ artinya kamu sudah makan dan sekarang kamu tidak lapar lagi. Tapi soal vocab, mungkin kamu harus lebih sering latihan atau cari bantuan dari orang yang lebih paham."
Aisha mengangguk, meskipun rasa frustasi masih ada di hatinya. "Iya, Bang. Tapi… semua ini bikin aku stres. Aku ngerasa nggak sehebat yang lain di kelas. Matematika sih aku bisa, tapi bahasa Inggris bikin aku merasa ketinggalan."