Bipolar Buddha

Kirana Aisyah
Chapter #11

Momen Memalukan

Sejak pagi, perasaan gelisah sudah menghantui Aisha. Ada sesuatu yang terus menekan di dadanya, seperti awan gelap yang menggelayut dan tak kunjung pergi. Hari ini adalah hari ujian listening test Bahasa Inggris—pelajaran yang selalu membuatnya cemas, meski dia sudah berusaha keras mempersiapkan diri. Semalam, dia bahkan mengulang-ulang kosa kata bersama Rina, temannya yang selalu membantu. Tapi meskipun begitu, kecemasan ini tetap tidak hilang. Aisha tahu betul kelemahannya di pelajaran ini, dan hari ini, dia akan diuji di depan semua orang.

Ketika bel ujian berbunyi, Aisha merasa seakan-akan detik-detik menuju kehancuran sudah dimulai. Kelas menjadi sunyi, hanya suara langkah Ibu Endang, guru Bahasa Inggris mereka, yang terdengar di lantai. Ibu Endang terkenal sebagai guru yang tegas, bahkan sedikit sinis terhadap murid-murid yang menurutnya tidak berusaha cukup keras. Tatapannya yang dingin seakan mampu menembus siapa saja, membuat Aisha semakin tenggelam dalam rasa gugupnya.

"Ayo, anak-anak, kita akan mulai ujian listening test hari ini. Saya harap kalian semua sudah siap," suara Ibu Endang bergema, seakan memantulkan kecemasan di hati Aisha.

Tangannya yang dingin menggenggam erat pensil di atas meja, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin cepat. Aisha sudah berlatih, dia tahu itu. Tapi kenapa rasanya seperti semua yang sudah ia pelajari mulai terhapus dari ingatannya? Ada kegugupan yang menguasainya, membuat pikirannya semakin kacau. Tiba-tiba, wajah teman-temannya seakan menjadi musuh, semua mata seolah menunggu untuk melihatnya jatuh.

Satu per satu, teman-temannya dipanggil ke depan kelas. Mereka diminta mengeja kata-kata Bahasa Inggris dengan lantang. Beberapa berhasil, meski sedikit ragu. Aisha mencoba fokus, namun setiap suara langkah teman yang berjalan maju hanya membuat kepalanya semakin berat. Rasanya seperti waktu berdetak cepat, namun di saat yang sama, lambat menyiksa.

Dan akhirnya, tiba gilirannya.

"Aisha, ke depan sekarang," kata Ibu Endang dengan nada tak terbantahkan, suaranya seolah menciptakan tekanan di udara.

Langkah Aisha terasa goyah. Dia tahu semua mata kini tertuju padanya, menunggu apakah dia akan sukses atau justru membuat kesalahan. Setiap langkah menuju depan kelas terasa seperti mimpi buruk yang berjalan lambat. "Ayo, kamu bisa," bisik hatinya, tapi keyakinan itu terdengar begitu lemah di tengah serangan kecemasan yang semakin menguasai.

"Baik, Aisha. Coba eja kata ini." Ibu Endang berhenti sejenak, memperhatikan seolah sedang menilai sesuatu. "Elephant."

Kata itu menggema di telinganya, tetapi di saat yang sama, pikirannya seolah-olah kosong. Semua latihan, semua kosa kata yang ia hafalkan semalam, menghilang begitu saja. Dia merasakan kebingungan yang membuat dadanya semakin sesak. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, kegelisahan sudah menguasainya.

"El... el..." Aisha mencoba memulai. Bibirnya bergetar, lidahnya kaku. Di kepalanya, kata itu seharusnya familiar, namun setiap detik berlalu seperti cambuk yang membuatnya semakin terperosok dalam ketakutan.

Tatapan Ibu Endang menjadi lebih tajam. "Cepat, Aisha. Eja 'elephant'," katanya, sedikit mengejek.

Aisha mengingat kembali suara Rina yang membantunya semalam. Tapi sekarang, suara Rina hanya bergema samar. Dan kemudian, seolah terperangkap dalam ketakutannya sendiri, tanpa sadar, dia mulai mengeja dalam Bahasa Indonesia. "E... L... E... P... A... N... T."

Lihat selengkapnya