Sejak kejadian memalukan saat ujian listening Bahasa Inggris, Aisha semakin tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia menghabiskan hari-harinya tanpa banyak bicara, dan setiap kali bel sekolah berbunyi, dia akan segera berlari pulang tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan teman-temannya tanpa sepatah kata pun. Kamar menjadi tempat perlindungannya, dikelilingi oleh buku-buku dan novel yang dia tumpuk di atas meja belajarnya. Dalam cerita-cerita fiksi, Aisha menemukan pelarian dari rasa malu dan sakit yang terus menghantuinya. Di dalam novel, ia bisa menjadi siapa saja, pergi ke mana saja, tanpa perlu menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan.
Namun, meski terlihat tenang dari luar, di dalam dirinya, perasaan kacau terus bergejolak. Ada kalanya Aisha merasa sedih yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia melawannya. Lain waktu, ia merasa energik, tetapi bukan energi yang positif—melainkan ketegangan yang meledak-ledak, perasaan terjebak dan tidak mampu mengontrol perasaannya. Ia tersenyum sendiri saat membaca, lalu tiba-tiba merasa kesal, bahkan ingin menangis, tanpa tahu mengapa.
Wiwid dan Adam menyadari perubahan ini. Mereka bisa melihat bahwa Aisha semakin menjauh dari mereka. Wiwid sering mencoba berbicara dengannya, tetapi Aisha hanya menjawab singkat, kemudian tenggelam lagi dalam bukunya. Adam, kakaknya yang sangat perhatian, tahu ia harus melakukan sesuatu. Dia tak bisa membiarkan Aisha terus mengurung diri dalam dunianya sendiri.
Suatu sore, Adam mengetuk pintu kamar Aisha. Tanpa menunggu jawaban, dia mendorong pintu dan masuk. Aisha duduk di tempat tidur dengan sebuah novel di tangannya, matanya tak lepas dari halaman yang sedang ia baca. Melihat Adam masuk, Aisha menoleh sejenak, tapi kemudian kembali fokus pada bukunya.
"Sha, aku mau ngomong sesuatu," kata Adam, menatap adiknya dengan serius. Aisha menghela napas dan meletakkan bukunya di pangkuannya.
"Apa, Bang?" jawab Aisha tanpa terlalu antusias.
Adam mendekat dan duduk di tepi tempat tidur, menyusun kata-katanya dengan hati-hati. "Aku baru aja gabung ekskul taekwondo di sekolah. Seru banget, lho. Aku belajar banyak gerakan baru. Kamu nggak tertarik ikut?"
Aisha memandang Adam dengan heran, lalu mengerutkan kening. "Taekwondo? Buat apa, Bang? Aku nggak butuh itu," jawabnya datar. "Lagi pula, aku nggak pinter di olahraga."
Adam menarik napas dalam-dalam. Dia tahu Aisha akan menolak, tapi dia juga tahu bahwa dia harus mencoba. "Dengar, Sha," katanya sambil menatap adiknya dengan lembut, "taekwondo itu bukan cuma soal olahraga fisik. Ini tentang kontrol. Kamu bisa belajar bagaimana mengontrol tubuh dan pikiran kamu. Aku pikir ini bisa jadi cara bagus buat kamu ngeluarin semua yang kamu rasain."
Aisha menunduk, merasa tidak yakin. "Aku nggak tahu, Bang. Kayaknya aku nggak cocok."