Bipolar Buddha

Kirana Aisyah
Chapter #15

Panggil Aku Sasha

Aisha berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ada kegembiraan karena berhasil masuk ke SMA favorit di Jakarta. Tapi di sisi lain, ada ketakutan dan kecemasan yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan itu datang setiap kali ia mengingat masa-masa SMP-nya—masa di mana ia gagal sebagai Ketua OSIS. Itu bukan hanya sekadar kegagalan biasa; itu adalah kegagalan yang menghancurkan kepercayaan dirinya.

Di sekolah barunya, ia berharap bisa meninggalkan semua itu di belakang. Tapi, bayangan tentang Aisha yang gagal selalu menghantui. Maka, ia membuat keputusan besar: dia akan menjadi seseorang yang baru, seseorang yang lebih kuat. Tidak akan ada lagi Aisha yang cemas dan penuh keraguan. Mulai sekarang, ia akan dikenal sebagai Sasha—versi dirinya yang baru, tanpa jejak masa lalu.

"Aku bukan Aisha lagi," gumamnya pelan, menguatkan dirinya saat melangkah memasuki gerbang sekolah yang megah. Ruang aula yang besar dipenuhi oleh siswa baru yang antusias, tetapi di dalam hati Sasha, ada perasaan terasing. Dia ingin memulai dari awal, tetapi kenangan masa lalu masih menghantui.

Hari-hari Awal di Sekolah Baru

Hari-hari pertama di SMA adalah masa adaptasi yang berat. Setiap kali ia memperkenalkan dirinya sebagai Sasha, ada rasa canggung. Namun, lambat laun, nama itu mulai terasa alami. Teman-teman barunya menerima identitasnya tanpa banyak pertanyaan, dan itu membuat Sasha merasa lega. Tidak ada yang tahu tentang kegagalan masa lalunya sebagai Aisha.

Tetapi meskipun begitu, bayangan masa lalu tak pernah benar-benar hilang. Ketika ia duduk di kelas, memperhatikan guru menjelaskan pelajaran, pikirannya sering melayang kembali ke masa-masa SMP. Bagaimana ia pernah dihina dan ditertawakan ketika gagal menjalankan tanggung jawab sebagai ketua OSIS. Bagaimana semua orang berpikir dia tidak pantas berada di posisi itu.

Untuk mengalihkan pikirannya, Sasha mulai mencoba berbagai kegiatan di sekolah. Dia bergabung dengan klub seni rupa karena sejak kecil dia menyukai menggambar. Namun, setelah beberapa minggu, dia merasa itu bukan hal yang benar-benar membuatnya bersemangat. Sasha terus mencari—mencari sesuatu yang bisa menjadi identitas baru selain bayangan kegagalannya.

Pada suatu sore, ketika berjalan melewati aula sekolah, pandangannya tertuju pada sebuah papan pengumuman. "Audisi Teater Sekolah." Di sana terpampang foto-foto dari pertunjukan tahun lalu, penuh dengan kostum warna-warni dan sorotan panggung yang gemerlap.

Teater bukan sesuatu yang pernah ada dalam rencananya. Selama ini, Sasha lebih suka bersembunyi di balik layar, menghindari sorotan. Tetapi ada sesuatu dalam poster itu yang menarik perhatiannya. Mungkin di atas panggung, ia bisa menjadi seseorang yang benar-benar baru. Seseorang yang tidak pernah gagal, seseorang yang bebas dari rasa takut.

Tanpa berpikir panjang, Sasha menuliskan namanya dalam daftar peserta audisi. Rasa cemas mulai menghantui, tetapi juga ada rasa antusiasme yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Hari audisi pun tiba. Sasha berdiri di panggung, merasakan lututnya gemetar. Ketika namanya dipanggil, jantungnya berdetak begitu cepat. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—bukan hanya rasa takut, melainkan rasa penasaran. Di hadapan para juri, Sasha meneguk napas dalam-dalam dan mulai melafalkan dialog yang telah ia hafal selama seminggu terakhir. Saat kata-kata mengalir keluar dari mulutnya, Sasha merasakan kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Lihat selengkapnya