Saat kelas 1 SMA berakhir, sekolah mulai sibuk dengan persiapan pemilihan jurusan untuk kelas 2. Para siswa menghadapi keputusan besar yang akan menentukan arah masa depan mereka. Di antara mereka, Aisha merasa terombang-ambing antara pilihan yang sudah diantisipasi oleh banyak orang—IPA atau IPS.
Aisha, yang selalu menjadi juara kelas, dikenal sebagai siswa yang cerdas dan berdedikasi. Prestasinya membuat guru-guru yakin bahwa dia akan mengambil jurusan IPA, jalur yang dianggap lebih bergengsi dan sulit. Mereka percaya bahwa Aisha akan bersinar di bidang sains, seperti halnya Adam, kakaknya, yang sudah lebih dulu memilih IPA karena bercita-cita menjadi dokter.
Namun, jauh di dalam hatinya, Aisha merasa ada sesuatu yang berbeda. Dia selalu tertarik dengan angka dan analisis, tetapi bukan di bidang sains atau teknik. Sebaliknya, dia merasa ada ketertarikan yang kuat pada dunia akuntansi dan ekonomi, bidang yang lebih dekat dengan jurusan IPS. Tapi, di sekolahnya, jurusan IPS sering kali dianggap sebagai tempat "buangan" bagi siswa yang tidak mampu bersaing di IPA. Stigma itu membuat Aisha ragu.
Hari itu, di rumah, Aisha duduk bersama keluarganya untuk membicarakan keputusan besar ini. Adam sedang bersandar di kursi ruang tamu, membaca buku biologi dengan santai, sementara Wiwid duduk di sebelahnya, memandang Aisha dengan lembut.
"Aisha, gimana? Udah pikirin mau ambil jurusan apa?" tanya Adam dengan nada santai, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Aisha menghela napas pelan, merasa sedikit tertekan. "Aku masih bingung, Bang. Semua orang kayaknya ngarep aku masuk IPA, tapi… aku nggak yakin kalau itu yang aku mau."
Adam menutup bukunya, memandang Aisha dengan serius. "Sha, IPA itu jalur yang lebih terbuka. Kamu bisa jadi apa aja, dokter, insinyur, ilmuwan… Semua pintu terbuka lebar kalau kamu masuk IPA."
Aisha mengangguk pelan. Dia tahu argumen itu, sudah berkali-kali dia dengar dari guru-guru di sekolah. Tapi tetap saja, hatinya terasa berat setiap kali dia mencoba memaksakan diri untuk memilih IPA.
"Tapi aku nggak ngerasa tertarik, Bang. Aku lebih suka angka-angka, tapi bukan di sains. Aku pengen belajar ekonomi, akuntansi… Aku pengen ambil IPS," kata Aisha akhirnya, suaranya bergetar ringan, takut dengan reaksi yang mungkin datang.
Adam terdiam sejenak, terkejut dengan jawaban adiknya. Dia tidak pernah membayangkan Aisha, yang selalu dianggap sebagai anak yang pintar dan berbakat, akan memilih jurusan yang dianggap lebih rendah oleh banyak orang. Namun, dia juga tahu betapa pentingnya mengikuti kata hati.
"Tapi Sha, IPS itu… kamu tahu sendiri, kan, di sekolah kita IPS sering dianggap buat anak-anak yang nggak sanggup di IPA. Kamu bakal ngerasa beda sendiri di sana," ujar Adam, mencoba memberi pengertian.
Aisha menunduk, merasakan keraguan di hatinya semakin besar. Dia tahu konsekuensinya, tapi keinginan untuk mengikuti kata hatinya juga begitu kuat.