Aisha mengayunkan langkahnya dengan berat memasuki kelas IPS yang sepi di pagi hari. Setiap langkah seolah terasa begitu lambat, begitu penuh beban. Hatinya seperti tenggelam, merasakan bahwa hari ini mungkin akan sama seperti hari-hari sebelumnya: penuh dengan cemoohan, ejekan, dan tatapan sinis dari teman-teman sekelasnya. Meski berusaha keras untuk tetap terlihat tenang, ada ketakutan yang selalu mengintai di setiap sudut pikirannya.
Sejak memutuskan untuk memilih jurusan IPS, Aisha tahu dia akan menghadapi tantangan baru. Guru-guru dan bahkan teman-temannya di SMP dulu sempat mempertanyakan keputusannya untuk masuk IPS, terutama karena Aisha dikenal sebagai anak yang pintar dan selalu rajin belajar. Orang-orang selalu menganggap bahwa IPA adalah pilihan bagi siswa-siswa cerdas. Namun, Aisha memiliki alasannya sendiri. Dia ingin kuliah di jurusan Akuntansi, dan baginya IPS adalah jalur yang tepat. Tetapi, tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa pilihannya ini justru membuatnya terasing.
Teman-temannya di kelas IPS bukanlah tipe yang sama dengan Aisha. Kebanyakan dari mereka lebih santai, malas, bahkan sering membolos. Sementara Aisha selalu berusaha keras untuk fokus belajar, menyelesaikan tugas, dan mendapatkan nilai yang baik. Perbedaan inilah yang membuatnya mulai menjadi sasaran—mulanya hanya ejekan ringan, tetapi lama-lama berubah menjadi sesuatu yang lebih kejam.
"Eh, Aisha, anak IPA yang terbuang!" Salah seorang siswa laki-laki, Dimas, sering kali meneriakkan ejekan itu ketika dia melewati lorong kelas.
"Apa gunanya rajin belajar kalau ujung-ujungnya tetap di IPS? Sok pinter aja!" sambung yang lain sambil tertawa.
Setiap kali mendengar hinaan seperti itu, hati Aisha terasa teriris. Tapi dia tidak pernah membalas. Aisha tahu, percuma. Mereka tidak akan mendengarkan, apalagi memahami. Jadi, dia lebih memilih diam, mengabaikan, dan berusaha tetap fokus pada pelajarannya. Namun, semakin lama, hinaan itu berubah menjadi serangan yang lebih langsung. Mereka tidak hanya menghina, tetapi juga mulai menargetkan Aisha secara fisik.
Pada suatu pagi, saat Aisha sedang berjalan menuju kelas, kelompok anak laki-laki itu menyusulnya di lorong sekolah. Aisha sudah merasakan sesuatu yang tidak beres, perasaan takut merambat di dalam dirinya. Sebelum dia sempat mempercepat langkah, salah satu dari mereka mendekat dan tiba-tiba menarik seragamnya dengan kasar. Robek. Suara kain robek itu seperti jeritan yang menggema di telinganya. Aisha tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Ups, maaf, aku nggak sengaja," kata salah satu anak laki-laki dengan nada mengejek, diiringi tawa yang menyakitkan.
Aisha merasakan air mata menggenang di matanya, tetapi dia menahannya. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan mereka. Dengan seragam yang sobek, dia berusaha melangkah pergi, berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar tidak menangis. Tapi di dalam hatinya, dia merasa begitu kecil, begitu tidak berdaya.
Hari-hari berlalu, dan bully itu tidak pernah berhenti. Setiap kali Aisha masuk kelas, dia merasa seperti sedang berjalan ke medan perang. Setiap kali dia duduk di mejanya, dia harus bersiap menerima hinaan dan ejekan yang tiada henti. Bullying itu terasa seperti racun yang perlahan-lahan meresap ke dalam dirinya, menghancurkan sedikit demi sedikit kepercayaan dirinya yang sudah rapuh.
Dan akhirnya, datanglah hari yang paling kelam.