Aisha menatap langit-langit kamar dengan mata yang sembab. Hari-hari belakangan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Meski ia telah berjuang mati-matian di sekolah, seolah semua usahanya tidak pernah cukup. Ejekan, hinaan, dan bullying yang ia terima semakin menghancurkan kepercayaan dirinya. Rasa putus asa menyelimuti dirinya, tapi di tengah semua kesulitan itu, Aisha tetap memelihara satu hal: mimpinya untuk kuliah di luar negeri.
Nama Oxford selalu berputar di pikirannya. Sebuah universitas yang jauh, megah, dan prestisius, di mana ia bisa memulai hidup baru. Di sana, ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya, bebas dari beban masa lalu, tanpa perlu khawatir dengan ejekan atau hinaan. Aisha melihat tempat itu sebagai cahaya di ujung terowongan gelap yang selama ini menghimpit hidupnya.
Namun, Aisha tahu bahwa mencapai mimpinya tidak akan mudah. Sejak kejadian memalukan di ujian listening bahasa Inggris, Aisha memiliki trauma terhadap bahasa itu. Setiap kali ia harus berbicara atau menulis dalam bahasa Inggris, perasaannya terhantam oleh kenangan lama—saat seluruh kelas menertawainya, dan Bu Endang menghinanya di depan semua orang. Rasa malu dan rendah diri terus menghantui setiap usahanya.
Tetapi, rasa takut itu tidak menyurutkan tekadnya. Sebaliknya, Aisha memutuskan untuk melawan ketakutan itu. Setiap hari, setelah pulang sekolah, dia akan menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan duduk di depan laptopnya. Buku-buku grammar dan IELTS berserakan di meja, layar laptopnya penuh dengan catatan vocab baru yang ia ulang-ulang setiap hari. Aisha tahu bahwa bahasa Inggris adalah pintu gerbang menuju mimpinya, dan tidak ada cara lain selain menaklukkan ketakutan itu.
Di tengah kesibukannya, Wiwid sering kali datang ke kamar, menatap putrinya dengan cemas. Wiwid tahu, Aisha menyimpan luka yang dalam dari masa lalu, tapi ia juga melihat bahwa putrinya memiliki kekuatan yang luar biasa. Setiap malam, Wiwid hanya bisa membisikan doa-doa dalam sujudnya, berharap agar Aisha diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini.
"Sha, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri," kata Wiwid suatu malam, saat melihat Aisha masih terjaga di depan buku-bukunya meskipun jam sudah menunjukkan lewat tengah malam.
Aisha menatap ibunya dengan mata lelah, tetapi ada tekad yang jelas di sana. "Aku harus bisa, Bu. Kalau aku gagal... aku nggak tahu lagi harus apa."
"Jangan berpikir begitu, Nak," ujar Wiwid lembut. "Gagal sekali bukan berarti kamu akan gagal selamanya. Yang penting kamu berusaha, selebihnya biar Allah yang menentukan."
Aisha mengangguk, tapi jauh di dalam hatinya, dia takut. Setiap kali Wiwid meninggalkan kamarnya, Aisha akan kembali menatap layar laptop, perasaannya berkecamuk antara optimisme dan ketakutan. Pikirannya selalu dibayangi oleh kegagalan. Bagaimana jika dia tidak diterima di Oxford? Bagaimana jika semua kerja kerasnya tidak membuahkan hasil?
Namun, hari demi hari berlalu, dan Aisha semakin tenggelam dalam persiapannya. Ujian IELTS dilaluinya dengan jantung berdebar kencang. Setelah ujian selesai, ada kekosongan yang menyelimuti dirinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menunggu hasil. Satu per satu, surat-surat penerimaan universitas lain mulai berdatangan. Sebagian besar adalah surat penolakan. Setiap surat yang datang dengan kata "maaf" membuat dadanya terasa semakin sesak.