Suasana di ruang pertemuan Harisma malam itu dipenuhi ketegangan dan antisipasi. Mahasiswa dari berbagai latar belakang memenuhi setiap sudut ruangan, dan meskipun penuh sesak, ada keheningan yang aneh melingkupi tempat itu. Aisha duduk di barisan depan bersama Eman, telapak tangannya yang berkeringat menggenggam erat buku catatan. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Ini adalah kali pertama Aisha akan mendengar langsung ceramah Zakir Naik, seseorang yang selama ini hanya ia kenal lewat video ceramah di internet. Namanya sering disebut-sebut sebagai salah satu tokoh muslim paling berpengaruh, terkenal karena keahliannya dalam menghubungkan agama dan sains, juga karena kemampuannya dalam berdebat dengan orang-orang dari berbagai kepercayaan. Aisha mengagumi cara Zakir Naik berbicara tentang Al-Qur'an dengan logika yang tak terbantahkan.
Namun, di balik kekaguman itu, ada perasaan yang bergejolak. Aisha tahu bahwa ceramah ini akan membahas lebih dari sekadar keajaiban ilmiah dalam Al-Qur'an—sebuah topik yang memang sangat ia minati. Tapi, ada juga bagian dari dirinya yang merasa terancam, seolah ceramah ini akan mengguncang sesuatu yang ia coba pertahankan, sesuatu yang ia belum sepenuhnya siap untuk lepaskan.
Ketika Zakir Naik akhirnya muncul di panggung, seluruh ruangan hening. Dia tampak tenang, penuh percaya diri. Saat dia mulai berbicara, suaranya yang tegas namun lembut menggema di seluruh ruangan, membawa pendengar ke dalam perjalanan antara sains dan Al-Qur'an.
"Al-Qur'an adalah kitab suci yang mengandung pengetahuan ilmiah jauh sebelum manusia menemukan kebenaran tersebut," kata Zakir Naik, matanya berkilat penuh keyakinan. "Dalam Surah Al-Anbiya ayat 30, Allah berfirman bahwa langit dan bumi dahulu merupakan satu kesatuan yang padu, lalu Kami pisahkan keduanya. Inilah yang dikenal dengan teori Big Bang, yang baru ditemukan ilmuwan beberapa abad terakhir."
Aisha mengangguk pelan. Ia sudah sering mendengar argumen ini, tapi mendengarnya langsung dari Zakir Naik membuatnya terasa lebih nyata, lebih otentik. Ia merasa tenang mendengar bahwa kepercayaannya bisa sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Namun, di balik ketenangan itu, Aisha merasakan ketegangan. Ia tahu, ceramah ini akan menyentuh topik-topik yang lebih berat, lebih pribadi.
Ketika sesi tanya jawab dimulai, perasaan cemas itu semakin menguat. Beberapa pertanyaan mengalir, tentang sains, agama, kehidupan setelah mati. Aisha tetap tenang, sampai seorang perempuan dengan rambut pendek dicat cokelat maju ke mikrofon. Suaranya terdengar tegas saat dia bertanya, “Dr. Zakir, saya ingin tahu, mengapa dalam Islam wanita diwajibkan memakai hijab? Apakah hijab itu benar-benar sebuah kewajiban, atau hanya sebuah pilihan?”
Seluruh ruangan seakan terhenti. Pertanyaan itu menggema di hati Aisha, membangkitkan kegelisahan yang telah lama ia simpan. Dia bukan satu-satunya yang penasaran tentang hal ini, namun bagi Aisha, ini lebih dari sekadar rasa ingin tahu—ini tentang dirinya sendiri, tentang identitas yang selama ini ia bangun.
Zakir Naik menatap perempuan itu dengan tatapan serius, seolah-olah ia telah siap dengan jawaban yang bisa memotong keraguan. “Hijab,” katanya pelan, namun setiap kata keluar dengan penuh keyakinan, “adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah untuk melindungi kehormatan wanita. Ini bukan pilihan. Dalam Surah An-Nur ayat 31, Allah dengan jelas memerintahkan wanita yang beriman untuk menutupi aurat mereka. Hijab adalah bentuk ketaatan kepada Allah, bukan hanya soal budaya atau tradisi.”