Musim dingin pertama Aisha di Inggris datang dengan keindahan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Saat salju pertama kali turun, Aisha menatap keluar jendela kamarnya dengan mata berbinar. Butiran salju putih yang perlahan turun dari langit, menyelimuti tanah dan pepohonan, memberikan pemandangan yang menakjubkan. Dia selalu membayangkan seperti apa rasanya melihat salju, dan kini impian masa kecilnya terwujud di depan mata. Di balik kaca jendela, dunia terlihat tenang dan damai, seolah semua masalah di dunia hilang tertutup selimut putih yang tebal.
Namun, seiring berjalannya waktu, kegembiraan itu perlahan menghilang. Udara dingin yang menusuk dan hari-hari yang semakin pendek mulai mempengaruhi kesehatan Aisha. Dia jatuh sakit, demam tinggi membuat tubuhnya lemah dan tidak berdaya. Kesehariannya berubah drastis. Dari yang sebelumnya aktif mengikuti kegiatan kampus dan berkumpul dengan teman-teman, Aisha mulai menarik diri dari dunia luar. Kuliah menjadi satu-satunya alasan baginya untuk meninggalkan kamar. Setelah kuliah usai, dia segera kembali ke kamarnya, menutup pintu rapat-rapat, dan mengurung diri dalam kesepian.
Kamar Aisha, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, kini berubah menjadi penjara yang menghantuinya. Suasana dingin dan sunyi musim dingin semakin memperparah perasaan terasing dan kesepian yang dia rasakan. Saat sendirian, pikiran-pikiran gelap mulai menyerangnya. Bayangan masa lalu yang kelam, yang pernah ia coba lupakan, kini muncul kembali, menghantui setiap sudut pikirannya.
Di tengah malam yang dingin, saat Aisha berbaring di tempat tidur dengan tubuh menggigil dan pikiran kacau, ingatan-ingatan lama muncul satu per satu. Ejekan dari teman-teman sekolahnya di Indonesia, perasaan tak berdaya saat di-bully, kesendirian yang ia rasakan ketika semua orang di sekitarnya seakan menjauhinya. Semua kenangan itu menghantamnya tanpa ampun, seolah-olah mengingatkannya bahwa tidak peduli seberapa jauh dia pergi, bayangan kelam itu akan selalu mengikutinya.
Aisha mulai merasa benci pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia, yang sudah berjuang keras untuk mencapai mimpinya, masih terjebak dalam perasaan tak berharga seperti ini? Bukankah dia seharusnya bahagia? Bukankah dia sudah berhasil keluar dari lingkaran kesedihan itu? Namun, kenyataannya, rasa sakit itu masih ada, menghantui setiap detik kesendiriannya.
Hari demi hari, Aisha semakin tenggelam dalam kesedihannya. Dia mulai kehilangan minat untuk berinteraksi dengan dunia luar. Teman-teman di kampus mulai khawatir, namun Aisha selalu menolak ajakan mereka untuk berbicara atau bertemu. Bahkan Eman, yang selama ini selalu ada untuknya, merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Aisha merasa tidak layak untuk dicintai atau dihargai, dan perasaan itu semakin mendorongnya ke dalam kegelapan.