Aisha berbaring di ranjang rumah sakit dengan selimut putih yang menutupi tubuhnya yang masih gemetar. Lampu-lampu di ruang darurat memancarkan cahaya redup, memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang ada di dalam dirinya. Perasaan tidak percaya dan takut bercampur menjadi satu. Tidak pernah ia bayangkan akan berakhir di rumah sakit karena perasaan yang begitu gelap dan mengerikan.
Setelah beberapa saat, seorang dokter wanita berusia sekitar 40-an memasuki ruangan. Dengan rambut pendek yang rapi dan senyum ramah, dia memberikan aura ketenangan. Di papan namanya tertulis "Dr. Helen Moore."
"Aisha?" tanya Dr. Moore dengan suara lembut, memastikan identitas pasien di depannya.
Aisha mengangguk pelan, merasa canggung sekaligus lelah.
"Nama saya Dr. Helen Moore. Saya adalah dokter di sini dan juga seorang psikiater. Saya paham bahwa malam ini pasti sangat berat bagimu. Tapi kamu sudah melakukan langkah yang sangat berani dengan menelepon bantuan. Itu langkah pertama yang sangat penting."
Aisha mengangguk lagi, kali ini lebih lemah. Dia tidak tahu harus berkata apa, perasaan malu dan bingung melanda pikirannya.
Dr. Moore duduk di kursi di samping tempat tidur Aisha, menjaga jarak yang cukup dekat untuk memberikan kenyamanan, tetapi tidak terlalu dekat sehingga mengganggu ruang pribadi Aisha.
"Apakah kamu merasa lebih baik sekarang setelah mendapatkan sedikit perawatan medis?" tanya Dr. Moore, mencoba memulai percakapan.
"Aku… aku merasa sedikit lebih tenang, tapi… aku masih sangat bingung dan takut," jawab Aisha dengan suara yang hampir berbisik. "Aku nggak tahu kenapa aku bisa merasa seperti ini. Kenapa aku merasa sangat buruk padahal hidupku sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya."
"Perasaan bingung dan takut itu wajar, Aisha," kata Dr. Moore dengan tenang. "Terkadang, meskipun kondisi di luar terlihat baik-baik saja, ada hal-hal di dalam diri kita yang belum terselesaikan dan itu bisa menyebabkan perasaan yang sangat berat."
Aisha menundukkan kepala, air mata mulai mengalir lagi. Dia merasa malu untuk menangis di depan orang asing, tetapi semuanya terasa terlalu berat untuk ditahan sendiri.
"Bisakah kamu ceritakan sedikit tentang apa yang membuatmu merasa seperti ini?" tanya Dr. Moore dengan nada penuh pengertian.
Aisha terdiam sejenak, berusaha menyusun kata-kata. Dia menatap lantai, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan apa yang selama ini dia simpan di dalam hatinya.
"Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya akhirnya. "Dulu, waktu di Indonesia, aku sering dibully. Aku merasa sangat sendirian dan tidak ada yang benar-benar peduli padaku. Tapi aku selalu mencoba untuk kuat, untuk terus maju. Aku berpikir kalau aku bisa keluar dari sana, kalau aku bisa masuk ke universitas yang bagus, semua akan menjadi lebih baik."
Dr. Moore mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menyela, membiarkan Aisha berbicara dengan kecepatan yang nyaman baginya.