Hari-hari berlalu dengan perasaan Aisha yang semakin bercampur aduk. Sejak pertemuannya dengan Pablo, Aisha mulai merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya dan ajaran Islam yang dulu ia pegang teguh. Namun, bersamaan dengan itu, ia juga menemukan kedamaian dalam ajaran Buddhisme dan praktik meditasi yang ia pelajari dari Pablo. Kedamaian itu nyata, tetapi ada kekosongan yang masih belum terisi—sebuah pertanyaan besar yang terus mengganggu pikirannya.
Aisha mulai membaca buku-buku tentang Buddhisme dengan lebih serius. Dia mempelajari ajaran Buddha tentang penderitaan, keinginan, dan jalan menuju pencerahan. Buku-buku itu membuka wawasan baru baginya, memberikan pemahaman tentang bagaimana manusia bisa menemukan kedamaian dalam diri mereka tanpa harus bergantung pada sesuatu di luar. Setiap malam, sebelum tidur, Aisha membuka satu halaman buku Buddhisme, berusaha memahami konsep-konsep yang terkadang terasa asing namun juga menarik.
Namun, meskipun semakin tertarik dengan ajaran Buddha, ada bagian dari dirinya yang merasa ragu. Aisha tidak bisa sepenuhnya melepaskan Islam, agama yang telah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil. Bagaimanapun, di sanalah ia menemukan fondasi moral dan spiritualnya. Namun, ajaran Islam yang dipegangnya selama ini sering kali terasa berat dan mengekang, terutama setelah ia mengenal ceramah-ceramah dari Zakir Naik, seorang pengkhotbah terkenal yang sering kali menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang sangat tegas dan kaku.
Aisha pertama kali mengenakan hijab setelah mendengar ceramah dari Zakir Naik. Dalam ceramah itu, Zakir Naik menekankan bahwa hijab adalah kewajiban mutlak bagi setiap perempuan Muslim. Dia menggunakan argumen-argumen ilmiah dan teologis yang kuat untuk menegaskan pentingnya hijab sebagai penanda keimanan dan ketaatan seorang perempuan kepada Tuhan.
"Hijab bukan hanya sekadar selembar kain," kata Zakir Naik dalam ceramah yang Aisha tonton beberapa bulan lalu. "Hijab adalah perintah Allah, dan sebagai Muslimah, kita harus mematuhi semua perintah-Nya tanpa kompromi. Tanpa hijab, imanmu tidak sempurna."
Kata-kata itu begitu kuat dan tegas, dan bagi Aisha yang saat itu tengah mencari pegangan, ceramah Zakir Naik terasa seperti panggilan untuk membuktikan keimanannya. Dia merasa tertekan untuk mematuhi ajaran tersebut, meyakini bahwa inilah satu-satunya jalan untuk menjadi Muslimah yang baik. Maka, dengan keyakinan yang besar namun bercampur dengan sedikit paksaan pada dirinya sendiri, Aisha mulai mengenakan hijab. Namun, seiring berjalannya waktu, Aisha mulai merasa bahwa keputusan itu tidak sepenuhnya datang dari dirinya sendiri, melainkan dari tekanan yang ia rasakan untuk memenuhi standar religius yang ketat.
Seiring waktu, perasaan tertekan itu terus mengganjal di hatinya. Aisha merasa bahwa dia mengenakan hijab bukan karena dia benar-benar mengerti atau merasakannya, melainkan karena rasa takut akan hukuman dan tekanan dari ajaran yang sangat dogmatis. Kegelisahan ini membuatnya mulai mempertanyakan banyak hal dalam dirinya, dan pertemuannya dengan Pablo serta meditasi yang dia pelajari hanya memperdalam keraguan itu.
Di tengah kebingungan ini, Aisha menemukan ceramah-ceramah dari Nouman Ali Khan, seorang dai yang dikenal dengan pendekatan moderat dan rasionalnya terhadap Islam. Berbeda dengan Zakir Naik, ceramah-ceramah Nouman Ali Khan lebih menekankan pada pemahaman yang mendalam dan penuh kasih terhadap ajaran Islam, tanpa tekanan yang berlebihan untuk mematuhi aturan-aturan tertentu tanpa memahami maknanya.
Dalam salah satu ceramahnya, Nouman Ali Khan berbicara tentang hijab dengan cara yang sangat berbeda. "Hijab adalah perjalanan spiritual yang harus dipilih dengan hati yang yakin," katanya. "Keimanan seseorang tidak diukur dari penampilan luar semata, tetapi dari bagaimana ia menjalani hidup dengan tulus dan jujur. Jangan merasa tertekan untuk melakukan sesuatu hanya karena orang lain mengatakannya, tetapi pahamilah apa yang benar-benar berarti bagimu."
Ceramah itu menggema dalam hati Aisha. Kata-kata Nouman Ali Khan membuka pintu baru baginya untuk melihat Islam dengan cara yang lebih fleksibel dan penuh pengertian. Dia mulai menyadari bahwa keputusannya untuk mengenakan hijab bukanlah hasil dari pemahaman yang mendalam, melainkan dari rasa takut dan tekanan sosial. Aisha mulai mempertanyakan apakah dia benar-benar memahami makna dari hijab atau apakah dia hanya mengenakannya karena merasa harus melakukannya.