Aisha duduk di tepi ranjang besi yang dingin, merasa lebih sendirian daripada sebelumnya. Ruangan tempatnya berada sekarang jauh dari kata nyaman. Dindingnya berwarna abu-abu pucat dengan cat yang mengelupas di beberapa tempat, dan hanya ada satu jendela kecil dengan jeruji besi di atasnya, membiarkan cahaya masuk dengan enggan. Suara pintu yang berderit dan langkah-langkah berat dari koridor terdengar jelas, membuat Aisha merasa seolah-olah dia sedang terjebak dalam mimpi buruk yang nyata.
Pagi itu, Aisha dipindahkan dari ruang pemeriksaan ke bangsal umum. Saat dia melangkah keluar dari ruangan kecil yang menjadi tempat tidurnya untuk pertama kalinya, dia melihat sekeliling. Di seberang lorong, ada beberapa pasien lain yang duduk di kursi, beberapa di antaranya terlihat melamun, sementara yang lain berbicara sendiri atau dengan perawat yang tampak lelah namun sabar.
Langkah Aisha terasa berat. Rasa takut yang sebelumnya dia coba lupakan kembali muncul, memenuhi setiap sudut pikirannya. "Apa yang akan terjadi padaku di sini?" tanyanya dalam hati. Dia berjalan perlahan ke ruang rekreasi, tempat para pasien berkumpul. Ruangan itu lebih besar dan memiliki jendela yang sedikit lebih besar, tetapi masih terasa pengap dan suram.
Di sana, ia melihat berbagai macam orang. Seorang wanita paruh baya dengan rambut kusut sedang mengoceh tentang konspirasi pemerintah. Di sudut lain, seorang pria tua duduk sendirian, memegang boneka kecil yang ia pandangi dengan penuh perhatian seolah-olah itu adalah harta karunnya yang paling berharga. Aisha merasa seakan-akan ia telah masuk ke dunia yang sepenuhnya asing, di mana logika dan kenyataan seperti yang ia kenal telah terbalik.
Sambil menunduk, Aisha berjalan menuju kursi kosong di dekat jendela. Ia berharap bisa duduk diam dan tidak menarik perhatian siapa pun, tapi seorang wanita muda dengan rambut acak-acakan segera menyapanya.
“Hai, kamu baru ya?” tanya wanita itu dengan senyum yang tampak aneh.
Aisha tersentak kaget, tetapi mencoba membalas dengan senyum sopan. “Iya, baru hari ini,” jawabnya pelan.
Wanita itu, yang tampaknya lebih muda dari Aisha, duduk di sebelahnya dengan santai. “Nama aku Olea. Kamu siapa?”
“Aisha,” jawab Aisha singkat, berharap percakapan ini tidak berlanjut terlalu lama.
Namun, Olea tampaknya tidak menangkap isyarat Aisha. “Kenapa kamu di sini, Aisha? Aku di sini karena mereka bilang aku mendengar suara-suara yang nggak ada. Tapi aku tahu mereka salah, aku sebenarnya cuma bisa dengar lebih banyak dari orang lain. Kamu juga dengar suara?”
Aisha merasa bingung harus menjawab apa. Olea menatapnya dengan mata lebar yang penuh rasa ingin tahu, menunggu jawaban. “Aku... aku nggak dengar suara,” kata Aisha akhirnya. “Aku cuma... aku cuma di sini karena sesuatu yang terjadi kemarin.”
Olea mengangguk seolah-olah dia sangat mengerti. “Ah, jadi kamu di sini karena kesalahan orang lain juga, ya? Banyak dari kita yang sebenarnya nggak gila, tapi mereka nggak ngerti. Aku udah di sini enam bulan, dan aku nggak gila. Aku cuma ngerti lebih banyak dari mereka.”