Aisha duduk di ruang rekreasi rumah sakit jiwa itu, menatap kosong ke luar jendela kecil yang terhalang jeruji besi. Hari itu terasa begitu lambat, setiap detik seakan menggantung di udara, membuatnya terjebak dalam putaran waktu yang seolah tak berujung. Kepalanya masih terasa berat akibat obat-obatan yang harus ia konsumsi setiap hari. Namun, di balik semua itu, Aisha masih menyimpan secercah harapan. Hari ini, Pablo dan Eman berjanji akan datang menjenguknya.
Saat pintu ruang rekreasi berderit terbuka, Aisha segera menoleh. Di ambang pintu, terlihat Pablo dan Eman berdiri, keduanya dengan ekspresi wajah yang serius namun penuh perhatian. Melihat mereka berdua, hati Aisha sedikit berdebar. Dia merasa lega, tetapi di sisi lain ada perasaan aneh yang menyelimutinya—perasaan yang sudah lama dia coba abaikan, tetapi kini muncul ke permukaan.
Pablo melangkah masuk terlebih dahulu, senyumnya terlihat hangat meskipun ada ketegangan di matanya. "Aisha," sapa Pablo dengan suara lembut, "bagaimana kabarmu?"
Aisha mencoba tersenyum meski perasaannya masih campur aduk. "Aku baik-baik saja, Pablo. Terima kasih sudah datang."
Eman menyusul, berdiri di sebelah Pablo. Ekspresi wajahnya tampak lebih serius, seolah-olah ia sedang menimbang-nimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. "Aku senang kamu terlihat lebih baik, Aisha," katanya, meski nada suaranya terkesan kaku. "Aku harap tempat ini bisa membantumu untuk sembuh."
Aisha mengangguk pelan, merasakan kehangatan dari perhatian mereka. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara mereka berinteraksi. Meski mereka berdua mencoba bersikap biasa, Aisha bisa merasakan ada ketegangan di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa cemas terhadap kondisinya.
Mereka bertiga duduk di meja dekat jendela, dengan Pablo di satu sisi dan Eman di sisi lainnya. Suasana hening sesaat, seolah masing-masing dari mereka tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
Pablo adalah orang pertama yang memecah keheningan. "Aisha, aku tahu tempat ini mungkin tidak nyaman bagimu, tapi yang paling penting adalah kamu mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan. Kami semua hanya ingin yang terbaik untukmu."
Eman menyilangkan lengannya di dada, menatap Pablo dengan pandangan yang sulit diartikan. "Tentu saja, Aisha. Kami di sini untuk mendukungmu. Tapi kita juga harus ingat bahwa yang terpenting adalah apa yang Aisha rasakan. Jika dia merasa ada yang salah dengan caranya dirawat di sini, kita harus mendengarkan."
Aisha merasakan ketegangan antara keduanya semakin jelas. Dia menatap ke arah mereka berdua, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Aku tahu kalian berdua peduli padaku, dan aku sangat menghargainya. Tapi... ada apa sebenarnya? Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang tidak kalian katakan?"
Pablo mengalihkan pandangannya sejenak, lalu berkata, "Aisha, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat peduli padamu. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku, dan aku tidak ingin melihatmu menderita."