Aisha menikmati sore itu dengan tenang di perpustakaan kampus, tenggelam dalam buku-buku yang membawanya jauh dari realitas yang kadang-kadang terasa membebani. Semenjak pertemuannya dengan Pablo dan Eman, dia mulai menemukan ketenangan dalam pertemanan mereka. Pablo yang bijaksana dan lembut sering kali mengajak Aisha mendalami meditasi dan ajaran Buddha, sementara Eman, yang karismatik dan penuh semangat, sering mengajaknya mendiskusikan Islam dan ajaran-ajaran yang lebih moderat.
Meskipun mereka memiliki pandangan yang berbeda, Aisha merasa aman di antara mereka. Dua pria ini, dengan cara yang berbeda, telah membantu Aisha menemukan kembali dirinya setelah berbagai pergolakan emosional yang dialaminya. Namun, sore itu, ketika Aisha membuka pesan dari seorang teman yang tinggal di Indonesia, sebuah bom menghancurkan ketenangan yang telah ia bangun dengan susah payah.
Penemuan Pengkhianatan
Pesan itu singkat tetapi menghancurkan. Temannya dari Indonesia, yang mengenal Eman dari komunitas Muslim di Oxford, mengirimkan pesan yang berbunyi: "Sha, kamu tahu Eman berbicara buruk tentangmu di grup WhatsApp komunitas? Dia bilang kamu terlalu liberal dan bahkan mempertanyakan komitmenmu pada agama. Hati-hati, Sha."
Aisha terdiam. Pesan itu menusuknya lebih dalam dari yang dia bayangkan. Bagaimana mungkin Eman, orang yang selama ini dia percayai, mengatakan hal-hal buruk tentangnya di belakang? Aisha merasa dunianya berputar, tidak percaya bahwa seseorang yang dia anggap sahabat, bahkan mungkin lebih dari sekadar sahabat, bisa mengkhianatinya seperti ini.
Pikiran Aisha segera dipenuhi dengan pertanyaan dan kebingungan. Apakah Eman benar-benar mengatakan itu? Dan jika ya, mengapa? Apakah selama ini Eman hanya berpura-pura bersikap baik di depannya?
Malam itu, Aisha tidak bisa tidur. Perasaan sakit hati, bingung, dan marah bergantian menyiksa pikirannya. Dia mencoba menghubungi temannya yang mengirimkan pesan, meminta lebih banyak informasi. Temannya mengirimkan tangkapan layar percakapan itu, dan saat Aisha melihat namanya disebut-sebut dalam diskusi itu, amarahnya memuncak.
Dalam percakapan itu, Eman berbicara tentang bagaimana Aisha tampaknya mulai menjauh dari nilai-nilai Islam yang diajarkan oleh komunitas mereka. Dia menyebut Aisha sebagai "orang yang tersesat," dan bahkan memperingatkan anggota komunitas lainnya agar berhati-hati dalam berhubungan dengan Aisha karena "pengaruh sekuler dan liberalnya."
Aisha merasa muak. Eman bukan hanya berbicara di belakangnya, tetapi juga mencoba mempengaruhi pandangan orang lain tentang dirinya. Di satu sisi, Eman mengajaknya mendiskusikan ajaran Islam dengan penuh kasih dan pengertian, tetapi di sisi lain, dia mengecamnya di depan orang lain. Pengkhianatan ini terlalu besar untuk diterima.