Aisha merasa dunianya runtuh setelah mengetahui pengkhianatan yang dilakukan oleh Eman. Selama ini, ia mengira telah menemukan kedamaian dalam persahabatan dengan Eman dan Pablo, dua pria yang memberikan dukungan dalam perjalanan hidupnya yang penuh liku. Namun, mengetahui bahwa Eman berbicara buruk tentangnya di belakang, menyebutnya terlalu liberal dan memperingatkan orang lain untuk menjauh darinya, membuat Aisha merasa hancur.
Dalam kesendiriannya, Aisha merasa bingung, terluka, dan dikhianati. Kepercayaan yang ia bangun dengan susah payah kini hancur berkeping-keping. Rasa sakit itu begitu dalam hingga Aisha merasa tenggelam dalam lautan kesedihan yang seolah tak berujung. Keputusasaan mulai merayap, membuatnya mempertanyakan semua yang ia percayai selama ini.
Merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpercayaan dan kekecewaan, Aisha mencoba mencari pelarian dari rasa sakitnya. Dia memutuskan untuk kembali ke satu hal yang selalu memberinya ketenangan—meditasi. Dalam beberapa bulan terakhir, meditasi Zen telah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sesuatu yang ia pelajari dari Pablo. Di tengah kekacauan emosional yang melandanya, Aisha berharap meditasi bisa membantunya menemukan kembali kedamaian batin.
Aisha duduk di kamarnya, mematikan lampu dan hanya menyalakan lilin kecil di sudut ruangan. Cahaya lilin yang redup menciptakan suasana tenang, kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam hatinya. Dengan duduk bersila, ia memejamkan mata, mencoba fokus pada napasnya yang naik turun perlahan.
Dalam keheningan meditasi, pikiran Aisha terus melayang-layang. Wajah Eman muncul di benaknya, disertai dengan perasaan sakit yang menusuk. Kemudian, wajah Pablo muncul, dengan senyum tenangnya yang selalu memberikan rasa nyaman. Namun, semua ini hanya bayangan. Aisha berusaha untuk tidak terlalu larut dalam pikirannya, mencoba kembali fokus pada Zen Koan yang selama ini ia latih: "Apa suara dari satu tangan bertepuk?"
Pertanyaan itu, meskipun terdengar aneh, membawa Aisha ke dalam kondisi yang lebih dalam dari sekadar berpikir logis. Ia mencoba merasakan, bukan menganalisis. Semakin lama ia meditasi, semakin dalam ia tenggelam dalam keheningan batin. Perlahan, bayangan-bayangan itu memudar, meninggalkan Aisha dalam kekosongan yang damai.
Tiba-tiba, Aisha merasakan sesuatu yang berbeda. Dalam keheningan itu, ia merasa seperti menemukan sebuah jawaban—bukan jawaban logis, tetapi sebuah pemahaman. Rasa sakit dan kekecewaan yang selama ini ia rasakan mulai mencair, digantikan oleh perasaan kedamaian yang mendalam. Dalam momen itu, Aisha menyadari bahwa semua penderitaan ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya, bagian dari proses untuk menemukan kedamaian yang sejati.
Setelah beberapa waktu, Aisha membuka matanya. Ruangan itu masih sama, dengan cahaya lilin yang redup, tetapi sesuatu dalam dirinya telah berubah. Untuk pertama kalinya sejak pengkhianatan Eman, Aisha merasa tenang—tenang yang sejati, bukan hanya pelarian dari rasa sakit.
Pikiran-pikiran yang sebelumnya membingungkan kini terasa lebih jernih. Aisha merenungkan hidupnya, semua yang telah ia lalui, dan semua yang ia pelajari. Satu hal yang jelas baginya adalah bahwa meditasi Zen telah memberinya sesuatu yang tidak pernah ia temukan sebelumnya—ketenangan batin yang mendalam. Sesuatu yang dia butuhkan untuk bertahan hidup di tengah kekacauan emosionalnya.
Dalam momen itu, Aisha membuat keputusan yang mengubah hidupnya. Dia ingin menjadi Buddhis. Islam, yang selama ini menjadi bagian dari identitasnya, terasa semakin jauh. Ajaran-ajaran yang pernah ia percayai kini terasa seperti beban, sementara Buddhisme, dengan fokusnya pada kedamaian batin dan penerimaan, terasa seperti jalan yang lebih sesuai dengan kebutuhannya.