Bipolar Buddha

Kirana Aisyah
Chapter #34

Bipolar Buddha

Aisha berdiri di depan pintu rumah sakit jiwa yang telah menjadi tempat tinggalnya selama beberapa minggu terakhir. Matahari bersinar lembut di atasnya, sinar hangatnya menyapu wajah Aisha yang pucat. Angin sepoi-sepoi menyapa lembut, seperti memberi sambutan hangat atas keputusannya untuk melangkah ke dunia luar. Meski fisiknya masih terasa lemah, ada semangat baru yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Perasaan lega dan ketegangan bercampur, seperti dua kekuatan yang berlawanan yang terus menarik hatinya. Namun, kali ini, Aisha merasa lebih siap menghadapi dunia.

Langit tampak cerah, namun hati Aisha masih sedikit mendung. Pengalaman di rumah sakit jiwa, meski sulit, telah mengajarinya banyak hal—tentang dirinya sendiri, tentang kehidupan, dan tentang pentingnya menerima. Namun, perjalanan menuju penyembuhan sejati masih panjang. Aisha menunduk, memandangi langkah kakinya di atas jalanan yang berdebu. Setiap langkah terasa berat, tapi setiap langkah juga membawa harapan.

Ketika ia sampai di apartemennya yang sederhana di Oxford, Aisha merasakan keheningan yang menenangkan. Dinding-dinding kosong dan meja kayu tua di ruang tamunya menyambutnya seperti sahabat lama yang sabar. Di sudut ruangan, secangkir teh yang baru ia seduh mengepul perlahan. Aisha duduk di depan meja belajarnya, membuka buku catatan kosong yang telah lama ia abaikan.

Malam-malam pertama setelah keluar dari rumah sakit terasa sepi, tetapi Aisha tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Semua yang ia alami—dari diagnosa bipolar, meditasi yang membawa pencerahan, hingga pengkhianatan Eman—terus berputar dalam pikirannya seperti film yang tidak bisa di-pause. Hanya ada satu cara untuk mengatasi semua itu: menulis.

Dengan tangan yang gemetar, Aisha mulai menulis puisi. Kata-kata mengalir seperti air, seolah perasaannya akhirnya menemukan jalan keluar. Satu bait, dua bait, hingga halaman demi halaman terisi. Setiap bait adalah cerminan dari jiwa Aisha yang terpecah, tetapi perlahan menyatu kembali. Ia menulis tentang rasa sakit, tentang kebingungannya menghadapi bipolar, tentang cinta yang ia temukan di tempat yang tidak pernah ia duga. Puisi itu seperti dialog antara dirinya dengan dunia, sebuah pengakuan tentang kelemahan, tetapi juga tentang kekuatan yang dia temukan di dalam diri.

Salah satu puisinya berbunyi:

"Dalam diam, aku temukan suara,

Dalam gelap, kulihat cahaya,

Bukan di luar, tapi di dalam,

Tempat di mana damai bersanding dengan luka."

Lihat selengkapnya