Saat itu sembilan bulan sebelum anak-anak lahir. Malorie tinggal bersama adik perempuannya, Shannon, di rumah sewaan sederhana yang belum didekorasi oleh keduanya. Mereka pindah tiga minggu yang lalu, walaupun teman mereka merasa khawatir. Malorie dan Shannon sama-sama perempuan cerdas dan populer, tetapi mereka cenderung menjadi emosional ketika sedang berduaan, seperti yang tampak pada hari mereka membawa masuk kotak-kotak milik mereka.
“Kupikir lebih masuk akal kalau aku mendapat kamar yang lebih besar,” kata Shannon, seraya berdiri di puncak tangga lantai dua. “Mengingat lemari milikku lebih besar.”
“Oh, ayolah,” jawab Malorie, sambil memegang peti susu berisi buku-buku yang belum dibaca. “Kamar itu punya jendela yang lebih baik.”
Dua bersaudari itu memperdebatkan hal ini untuk waktu lama, keduanya sama-sama khawatir membuktikan kebenaran teman-teman dan keluarga mereka dengan mencetuskan perselisihan pada sore pertama mereka. Akhirnya, Malorie setuju untuk melempar koin, yang berakhir dengan keberuntungan Shannon, peristiwa yang masih diyakini Malorie telah diatur entah bagaimana sebelumnya.
Namun, hari ini Malorie tidak memikirkan hal-hal kecil yang dilakukan adiknya dan membuatnya gila. Dia tidak merapikan kericuhan yang ditimbulkan gadis itu, menutup pintu-pintu lemari, atau mengikuti jejak berupa sweter-sweter dan kaus-kaus kaki di sepanjang lorong. Dia tidak mengembuskan napas dengan pasrah, menggeleng-geleng ketika menjalankan mesin pencuci piring, atau menggeser salah satu kotak milik Shannon yang belum dibongkar dari bagian tengah ruang duduk karena menghalangi jalan mereka berdua. Dia malah berdiri di depan cermin di kamar mandi lantai satu. Di sana, dia telanjang ketika mengamati perutnya di cermin.
Kau pernah melewatkan datang bulan, katanya kepada diri sendiri. Namun, ini nyaris bukan penghiburan karena dia kini sudah merasa cemas selama berminggu-minggu, sadar bahwa dia seharusnya lebih menjaga diri ketika bersama Henry Martin.
Rambut hitam Malorie tergerai hingga bahu. Bibirnya mengerut penasaran. Dia meletakkan tangan di perut datarnya dan mengangguk perlahan. Tak peduli bagaimana dia menjelaskan dirinya sendiri, dia merasa hamil.
“Malorie!” panggil Shannon dari ruang duduk. “Sedang apa kau di dalam sana?”
Malorie tidak menjawab. Dia berputar ke samping dan memiringkan kepala. Mata birunya tampak kelabu dalam cahaya pucat kamar mandi. Dia meletakkan telapak tangan di linoleum merah dadu wastafel dan melengkungkan punggung. Dia mencoba membuat perutnya lebih kurus, seakan ini bisa membuktikan tidak adanya kehidupan mungil di dalamnya.
“Malorie!” teriak Shannon lagi. “Ada laporan lain di televisi! Sesuatu terjadi di Alaska.”