Friends last forever.
They are never apart. If so, maybe in mind. Never in heart.
🌒
Present time.
Batavia Development Group.
Hana menempelkan ID card yang terkalung di lehernya ke mesin absensi berpalang di sebelah kanan kakinya berpijak. Ia melirik screen kecil di bawah kartu yang ia tempelkan hingga muncul keterangan.
Gerhana Rembulan.
201704128
08:01 WIB.
Access Verified.
Terdengar bunyi "bip" bersamaan dengan terbukanya 2 daun pintu kecil dan kemudian Hana berjalan sedang. Tangan kirinya menyibak sedikit rambut sebahunya yang terjatuh menutupi pipi selepas ia mendorong pintu kaca memasuki ruangan yang sudah 4 tahun ini ia tempati.
Ruangan luas itu sudah ramai. Namanya juga hari Senin, pikir Hana. Oh, bahkan bosnya yang selalu datang satu sampai dua jam setelah jam masuk kantor pun kini sudah nangkring di ruangan beliau. Ruangan tersendiri dibatasi kaca tempered frameless dengan sedikit stiker penutup. Kaca itu tak polos untuk cukup menjaga kenyaman beliau dalam bekerja.
"pagi, Mas Wil" sembari menaruh tas di kursinya, Hana menyapa seorang rekannya penganut motto everyday is holiday yang hampir tidak pernah terlihat muram.
"pagi, sayang" balas lelaki itu sambil menyisir poni rambutnya menyamping di depan komputer.
Hana tak langsung menghidupkan CPU melainkan duduk mengambil nafas sembari bermain instagram seperti rutinitasnya.
"nih, yang dari kemarin tutup mulu" seorang perempuan barusan datang dan meletakkan barang bawaannya di bangku sebelah Hana. Ia membuka kantong plastik hitam dan menyodorkannya kepada yang lain.
Dari aroma manis gula halusnya saja, Hana bisa menebak itu pasti donat kentang depan komplek rumah Indi. Hana mengambil satu sesudah mas Wiliam.
"kemana katanya?" tanya Wiliam.
"demam naik-turun, flu" jawab Indi, rekan kerja Hana yang langganan menenteng camilan macam-macam ke kantor. Saking asyiknya 1 rumpun meja yang terdiri dari 4 komputer dengan 3 orang itu -Hana, Indi, dan Wiliam- menikmati kudapan, seorang wanita senior di rumpun meja sebelah yang duduk membelakangi Hana, memutar kursinya dan nimbrung.
"apaan, sih?"
"donat kesukaan kita, Bu, abangnya sakit berhari-hari" terang Indi sambil menyuguhkannya pada Ibu Elsa.
Suasana kantor bagian Kesekretariatan Perusahaan mulai menyibuk apalagi memasuki pukul 09.30 WIB. Telfon berdering sana-sini, saling bersautan antar extension. Mesin fotokopi sudah panas dan printer tak berhenti mencetak. Langkah pantofel pria, lebih lagi sepatu hak tinggi staf-staf wanita menguar mengiringi definisi hectic.
Ruangan di lantai 10 dalam gedung 17 lantai yang beberapa karyawannya tengah wara-wiri itu berisi 16 pekerja yang terbagi menjadi 4 biro. Keuangan, Umum, Hubungan masyarakat (Humas), dan Tata kelola perusahaan. Mereka semua adalah sekretaris-sekretaris perusahaan pengembang Batavia. Bagian dari Batavia grup, perusahaan adidaya yang amat terkemuka di ranah property realty. Inti bisnis dari Batavia development yaitu pengembangan perumahan skala besar dan komersial, yang juga terekspansi meliputi mal, hotel, apartemen, dan lapangan golf.
Hana dan 2 rekannya, Indi dan Wiliam, merupakan orang-orang Humas yang bulan lalu baru saja kehilangan 1 partner karena resign menikah. Hana, Indi, dan Wil masih menunggu datangnya hari dimana kursi kosong sebelah Wil akan terisi kembali oleh orang baru yang menurut info terakhir dari HRD rekrutmen, tidak lama lagi.
Hana mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas tetikus nirkabel sambil menunggu e-mail berisi attachments berukuran 24 MB berhasil terunggah. Disaat itulah ia berkedip sadar bahwa suara sahabatnya yang tiap pagi menyapa riang orang-orang di sekitar belum ia dengar sama sekali sejak tadi. Hana memutar kursinya dan melonggok ke meja depan Ibu Elsa.
"Rere belum dateng?"
"belum, noh, tumbenan" saut bu Elsa tanpa memecah konsentrasinya sendiri.
"cuti?" tanya Dinda, rekan yang duduk di sebelah Rere, orang yang dicari Hana.
"nggak tahu, deh" Hana mengedikkan bahu.
"yaelah, Din, nanya ke Hana" decak Indi dengan gelagat sangat hafal bahwa mana mungkin seorang Hana yang cueknya minta ampun menaruh perhatian pada hal-hal sepele seperti rencana atau jadwal temannya, meskipun itu terhadap BBF-nya sejak kuliah.
Sekitar 2 menit setelah Hana manyun merespon ejekan Indi dan berbalik lalu mendapati surat elektroniknya sukses terkirim, suara heels yang datang terburu-buru, "ceplak-ceplok" menarik perhatian beberapa orang dalam ruangan itu termasuk Hana. Hana menoleh ke belakang, itu dia bintangnya.
"gue habis dari klinik" desah perempuan bernama Rere sembari menaruh tas dan menyampirkan blazernya ke punggung kursi. Rere menyibak rambut panjangnya ke belakang dan sesaat menenangkan diri. Kesepuluh jarinya terbuka menganyun ke bawah bersamaan dengan dihembuskannya nafas panjang.
"waduh, udah bukaan berapa, tuh?" celetuk Wiliam cengar-cengir sesuai style-nya.
"lah, gue yang bunting, dia yang lahiran" saut bu Elsa disusul gelak tawa orang-orang yang dengar saja.
Rere tak lekas duduk namun memberesi tumpukan map dan surat-surat dari departemen lain yang tiap pagi tersedia di mejanya, diantar oleh petugas pengedar dokumen. Itulah yang menjadi "santapan" sampingan Rere dalam hari itu, belum termasuk kerjaan utamanya. Rere selalu berandai yang tiba-tiba menggunung di mejanya tiap hari adalah uang. Bukan "sampah" yang harus ia pertanggung jawabkan di hadapan bosnya.
"sakit apa, lo?" tanya Dinda pada Rere, melirik gadis di sebelahnya itu yang masih fokus menata. Sekenanya Rere menjawab:
"biasa, mag gue kumat"
"nah, gitu, tuh" Hana memutar kursinya. Bersandar dan melipat tangannya di depan dada, Hanna berkata "kalo weekend gue nggak mampir apartnya, nggak bakal makan dia, Din"
"nggak segitunya, ah, lebay" balas Rere pada Hana.
"lo belum jadi pindah, Dek?" bu Elsa menoleh ke belakang, bertanya ke Hana.
"apart Rere penuh, Bu" jawab Hana.
"ngalah aja, lah, Re, lo yang pindah ke tempat Hana. Susah amat" usul Vio, perempuan paling irit bicara trashy di tim Rere yang jarang ikut campur obrolan mereka jika tidak ada hubungannya dengan kantor. Duduknya di samping Ibu Elsa.
Rere melirik Vio sekilas. Dulu, Rere pernah menjelaskan pertimbangan-pertimbangannya enggan pindah ke apartemen Hana selain jauh. Tapi baru saja Vio berkicau tak mau tahu, cuma-cuma menyepelekan omongan Rere. Antara kesal dan gemas memang beda tipis, ya. Terkadang jika terlanjur malas, Rere pilih tarik nafas dan diam. Viola adalah partner yang dari isi kepalanya, cara pandangnya mengambil keputusan, aksinya terhadap suatu issue, dan sebagian besar prinsip-prinsipnya, paling sering berseberangan dengan Rere. Kesimpulannya dalam segala aspek, Rere tak cocok dengan Vio.
"lepaskanlah...ingatanku...dengan aku...biar kamu senang"
Begitulah biasanya Wiliam bernyanyi lantang menyelamatkan hawa yang tiba-tiba kaku bila Vio mulai tak sepaham. Namun meskipun begitu, demi kontinuitas karirnya, Rere terpaksa memperluas perspektif agar jika kapan saja ia berdebat dengan Vio, ia dapat mengkontrol perbuatan dan perkataannya yang berdampak juga terhadap perusahaan. Mau bagaimana lagi? Ia tak punya pilihan dan tak bisa menolak keputusan bosnya 2 tahun lalu saat mendatangkan Viola ke dalam timnya dari anak perusahaan Batavia lain. Kala itu Rere, Ibu Elsa dan Dinda di ambang kewalahan menangani workload yang kian membanjir sebelum akhirnya Viola masuk sebagai anggota tambahan biro Keuangan.
*
Present time.
"Tina,"
Pukul 11.00 WIB, sebuah panggilan yang sudah bagus tak terdengar di telinga para karyawan sejak pagi, baru saja terdengar. Perempuan bernama Tina yang dimaksud mengernyit dan berdecak selepas kepala bos yang menyembul di daun pintu kaca tadi mengodenya masuk.
"aduh, udah mau makan siang, juga" keluh Wil, mengingat jika manajernya memanggil satu nama, bablas sudah. Nama-nama random berikutnya pasti keseret menghadap. Kalau sudah begitu, tiap orang mulai "krusak-krusuk" mempersiapkan diri beserta laporan mereka. Padahal satu jam lagi waktunya istirahat. Mana ada yang masih fokus?
"ssh, gemes banget, sih, Pak Biru. Gue besok aja, lah" harap cemas Indi.
"ini konsep kamu nggak jelas banget lho, Tin. Gue nggak paham. Kayak gini mau gue bawa ke pak Harris? Ini maksudnya apa? Kamu Tata kelola, susunan kamu harusnya paling sistematis. Sesistematis mungkin hingga orang first time skimming langsung nangkep. Gue baca kas Rere dan Bu Elsa malah lebih terstruktur. Perbaiki. Timeline kamu mepet lho, Tina"
Ketidakpuasan demi ketidakpuasan menguar dari ruangan Pak Biru yang walau pintu kacanya tertutup tetap tidak kedap seratus persen. Teganggan tinggi tersebut membekukan saraf pikir para karyawan terutama biro Tata kelola perusahaan. Kalau sudah begini, sepertinya semua tinggal memasrahkan diri pada keberuntungan.
"Indi," panggil Tina saat keluar dari ruangan Pak Biru.
"ciaaa!" pekik Wil tersenyum lebar. Decakan keras keluar dari mulut Indi disusul berdirinya dia dari kursi dan melempar bantal leher ke arah Wiliam. Lelaki itu menangkapnya, merasa 1-0. Giliran Indi berjalan masuk ke ruang pendadaran. Menyaksikan pemandangan umum yang konyol baginya itu, Hana cuma memutar bola mata.
"udah dapet respons?"
"tetap nggak bisa, Pak, singkat banget. Nggak keburu dan mereka nggak mau"
"Lo pepet lagi, Ndi. Cari semua jalan. Diskusi belum sama Wil, Hana? Masa cuma ngelobi gini aja, gue turun tangan? Yang Humas lo atau gue?"
"tapi ini investor baru, Pak..."
"ya, what's the matter? Marketing susah-susah nge-backup kita lho, Indi. Konsekuensinya kejar terus sampai deal. Mereka bukan investor yang kalau nggak jodoh, yaudah. Ini gede. Lo nggak sedang dalam kondisi bisa memilih. Sia-sia Marketing jalin relasi kalau lo tinggal tembak aja nggak berani, paham?"