Past time.
Sebelum Biru menjabat sebagai manajer.
Wajah letih yang tertunduk pukul 8 malam itu disangga tangannya tepat di dahi. Sedikit membuang nafas jengah, tangan satunya perlahan membuka halaman-halaman Annual Report tahun lalu yang sedang ia relook sebagai tolok ukur pembuatan Annual Report tahun ini.
Biru terdiam. Matanya mengerjap karena sekelebat to do list yang belum tersentuh seharian, lewat di kepalanya. Pekerjaan lain yang pertanggung jawabannya ia bagi 2 bersama koordinator biro sebelah, Keuangan. Kontan Biru mengangkat pantatnya dari kursi dan melonggok ke rumpun meja depan. Lucky him, orang yang ia cari nyaris pulang.
"Bu,"
Menolehlah Bu Elsa yang sudah merapatkan kursinya ke laci meja. Gumaman bernada tanya menguar dari mulutnya serta kedua alisnya terangkat.
"Form review Rere mana?" tagih Biru.
"Nah, kan!" Decak u Elsa seketika. "Lupa gue kasih ke elu" katanya, sembari meletakkan kembali tas miliknya di atas meja dan kemudian mau tak mau membongkar lagi tumpukan mapnya. "Elu sih, beredar mulu. Kemana aja setengah hari ngilang? Sibuk amat idup, mau nyaingin Pak Vijay, lu?"
Biru menyengir. Kedua gigi taringnya yang apik, imbang, nan rapi menghiasi tampangnya. Ah, tentang omelan ringan Bu Elsa adalah senandung favorit. Tidak hanya bagi telinganya, tapi juga bagi kuping siapa pun yang suka lembur. Hanyalah satu dari sekian cara bu Elsa menghidupkan malam yang sepi.
"Ini dia!" temunya. Bu Elsa berjalan menuju meja Biru dan menduduki kursi kosong di sebelah pria itu. "As far, gue suka. Kerjanya cepet dan teliti. Next, gue pingin libatin dia dalam case-case kecil supaya keliatan gimana pengambilan keputusan dia. Jurnal operasional yang Dinda 2 hari baru ngerti, ini 15 menit dibabat sama dia. Detail pula nyusunnya. Tuh, paham, kan, lu, dikit-dikit soal ginian?" Selain form penilaian, penuh antusias bu Elsa menunjukkan pada Biru pembukuan garapan Rere.
Biru mengangguk sedikit. Meski bukan lapangan mainnya, sekilas ia coba memahami materi tersebut. Memperhatikan kerangka berpikir si penulis dan menyelami konsep kerjanya.
"Karena dia paham prinsipnya, Ru. Mau gue bolak-balik gimana pun, Rere selalu bisa nyeimbangin. I think, sih, I found the right one for my team"
Bu Elsa lihat-lihat pria itu sedikit termenung. Sebetulnya Bu Elsa penasaran sejauh mana Biru menyelesaikan review termin 1 pegawai OJT satunya, Hana. Bukan sekedar mengisi form-nya, tapi juga mengulas dan membicarakan kinerja Hana. Namun diamnya Biru cukup memaklumkan ia bahwa pria itu belum siap saat ini. Mungkin belum rampung atau -jika ingat Biru sedetail apa- masih ada yang ingin dinilainya lagi dari Hana. Bu Elsa tak mau memburu-buru. Lagipula siapa yang tak paham bagaimana sibuknya Biru, si anak kesayangan manajer?
"Well, gue done, ya. Berkas Rere tolong lo simpen. Whenever you ready, kita maju ke bapak. Oke?" Ucap Bu Elsa sebelum pergi.
*
What's up guysssss! Back again with me, Kiyo, hari ini kita mau main ke Gintama radio buat promosi album terbaru kita "Renjana" and guess what makes today special? Betoooool! Ada Ari Sudirman yang bakal having us there! So keep watching...
"WOY!"
Seperti ada sentakan di dekat telinganya samar-samar. Rere menoleh dan mencopot airpod-nya sebelah, lantas pendengarannya menjadi jernih. Jempolnya refleks menjeda video yang terlalu asyik ia tonton.
"Kenapa, Kak Tina?"
"Dipanggil Pak Biru. Ada duit nyasar" terang wanita cantik itu mengarahkan wajahnya ke ruang manajer kemudian pergi ke tempatnya meninggalkan Rere. Duit kesasar?
Pada saat Rere memasuki ruangan Pak Manajer, lelaki itu nampak sibuk. Is she gonna get in trouble?
"3 Miliar apa, tuh?" Punggung Pak Biru bertanya. Membelakangi Rere mencari dokumen di lemari besar yang isinya map dan diktat-diktat tebal di balik kursi tahtanya.
Mata Rere langsung jatuh pada selembar kertas di atas meja Pak Biru dan tanggap ia hampiri.
"Aku cek dulu, ya," kata Rere, berusaha tenang duduk di sana.
"Tumben nggak ke-catch sama lo. 3 M tanpa breakdown. Lo telusur dan revisi sebelum diminta Bu Pipit. Gue mau rapat bareng HSE di lantai 9" Perintah Pak Biru seusai menemukan berkas yang diperlukannya dan berbalik badan.
Pria itu mengantongi bolpoinnya ke dalam saku kemeja dan alih-alih duduk, ia menyaut ponselnya di atas meja. "Kelarin hari ini, ya, Re"
"I-iya, Pak" jawab Rere masih serius menyimak kertas itu tanpa mengantar Pak Biru keluar dari ruangan dengan pandangannya.
*
Biru menyesap Lungo hangat di tangannya pagi ini. A great day always start with a cup of coffee, kata sebagian orang termasuk Biru. Kafein adalah the truest beneficiary friend. Namun sayang akhir-akhir ini terlalu dipaksanya bekerja keras mengusir kantuk. Espresso murni tak mempan lagi membuatnya terjaga. Tidurnya minim, malam-malamnya terkuras dan pekerjaannya membeludak. Satu pegawai baru sudah ditambah ke regunya tapi belum bisa langsung "dilepas".
Pak vijay: Jam 10 on time harus tiba di lokasi ya.
Biru membuang nafas cukup kasar akibat pesan itu. Tanpa melihat jam pun, Biru sudah tau jika ia berangkat sekarang saja belum tentu sampai sana tepat waktu. Apalagi nanti-nanti.
"Lah, lah, baru aja naruh pantat, mau kemana?" Wiliam yang mengawali harinya dengan berkaca lewat pantulan diri di screen komputer yang sedang booting, mendongak menatap Biru.
"Paduka raja, lah, siapa lagi?" saut Biru sembari mengenakan ranselnya.
Lincah pria itu menyambar dua map, sebuah buku tebal, dan cup kopinya lalu mendatangi meja anak OJT di belakang.
"Han, ikut gue bentar ke ruang santai"
Hana sudah bersiap bahkan sejak lelaki itu berjalan ke arahnya. Begitu Biru berdiri satu meter darinya dan mengisyaratkan wajahnya ke sebuah ruangan tempat kumpul, ngemil, serta istirahat di dekat pintu masuk, sigap Hana berdiri kemudian menyusul langkah Biru yang cepat.
Ruang santai. Wallpaper dindingnya kaya corak. Furniture kekinian seperti meja dan sofa berwarna mencolok di perusahaan-perusahaan start-up gaul. Rak hiasan, wall decor inspiratif dengan figura-figura quotes motivasi, serta lemari kaca berisi seabrek piala award dan vendel.
Mereka berdua duduk di sana dan Biru membukakan buku tebal yang ia bawa kepada Hana.
"Han, gue minta tolong lo nyusun annual report, bentuknya kayak gini. Gue udah ngerjain separuh. Tugas lo ngelanjutin apa yang gue highlight dan rangkai di coret-coretan. Ini flashdisk gue, folder AR. Inget, ikutin checklist gue karena gue pingin bikin template baru yang penyajiannya lebih enak dari tahun lalu. AR yang ini cuma buat acuan lo aja, ya. Kita harus bikin yang lebih bagus dari ini" tunjuk Biru pada buku tebal itu.
"O-oke, Mas" angguk Hana setelah sepanjang penjelasan matanya ditatap tajam oleh Biru.
"Gue tugas keluar lagi sama Pak Vijay. Nanti sore gue liat sejauh mana garapan lo. Intinya, dikembangin aja coretan gue. Belajar nyari dan ngelengkapin data, ya, Han. Tanya Wiliam kalau bingung. Data Tata kelola ke Tina atau Chelsea. Soal anggaran ke Bu Elsa. Yang general tanya pak Gun. Tau, kan? Yang suka nganter dokumen ke meja Bu Elsa pagi-pagi. Yang kemarin mulai ngasih dokumen ke Rere"
"Tau, tau. Yang suka bawa onde-onde itu, kan?"
"Iya, bener"
Maklum, staf biro umum isinya pria semua. Maka Hana harus pastikan agar tidak salah atau tidak ingin melihat Biru jadi tak sehangat ini lagi bilamana hasil kerjanya kacau balau.
*
Present time.
"Geeeeengsss" suara pasrah Rere menyeruak setelah 2 jam terduduk serius di mejanya menelusuri Jurnal Anggaran Besar. Keningnya berkedut dan kini perutnya perih.
"Masya Allah, masih aja" sebut pak Gun, bapak-bapak betawi bertubuh gempal yang hobi bicara lantang. Kemudian tentu, disusul tawa di atas penderitaan teman. Kefokusan satu kantor terjeda akibat helaan Rere yang bersandar lemas di kursi.
"Serius, Re, bukan tagihan Tata kelola. Duit hotel klien gue yang dari US kemarin kesandung, udah tutup kasus. Kalo belum pun, nggak mungkin membengkak segede itu"
"Iya sih, Kak Tina. Lo juga cuma 20 juta. Coy, 3 M iniiiiii" Rere geregetan.
"Wkwkwk, dibilangin, tagihan Indi, tuh, duit Ruko" saut Mas Wil. "iya, lo, Ndi, katanya mau buka toko mochi buat calon suami lo, kan? Ngaku aja, lo"
"Eh, tagihan kartu kredit pacar lo, kali, main tunjuk aja anda" balas Indi.
Aksi serang candaan Wil dan Indi semacam itu tak jarang jadi pertunjukkan seisi ruangan. Gegara tak terlacaknya pengeluaran senilai 3 Miliar, kantor kesekretariatan meramai siang ini. Saling tuding ke sana-sini disertai gelak tawa yang tentu saja itu cuma omong kosong.
"Udah, udah, kalo tagihan aja pada lempar-lemparan. Giliran duit sisa, rebutan" lerai Hana.
Berujunglah Rere menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Hasilnya menanyai seruangan soal uang itu, pengecekan ulang di system base satu-persatu, konfirmasi dengan departemen-departemen lain, semuanya nihil. Bu Elsa pun tak tahu duduk perkaranya karena setiap kepala telah dapat bagian masing-masing dan beliau tak ikut campur barang seujung kuku saja.
Kelarin hari ini ya, Re.
"Ah, sial" umpatnya. 2 jam yang lalu ia masih longgar dan damai menonton kanal Youtube kesayangannya. But this too shall pass, right? Rere believes that. She just need to recharge.
"Eat dulu, deh, Re, ntar kumat mag lo, kuy"
Ia dengar suara Hana dan hak sepatu gadis itu berjalan keluar. Tapi kepalanya masih enggan diangkat. Ucapnya dalam dekapan "Duluan, 5 menit lagi gue nyusul".
*
Past time.
Sebelum Biru menjabat sebagai manajer.
"Biru, oh, Biru, mengapa engkau lesu?"
Wiliam menyanyikan sebait OST upin-ipin "Bangau oh Bangau" dengan mengganti liriknya saat Biru datang pukul 7 malam. Baru pulang dari perjalanan kekaisaran bersama paduka manajer. Disambutnya penuh suka cita menyaksikan derita Biru yang akhir-akhir ini betul-betul overwhelmed. Wil tahu itu. But what you expect? Resiko jadi anak emas, take it or leave it.
"Tumben lembur, Wil?" Biru meletakkan tasnya di kursi dan untuk selanjutnya, jawaban Wil atas pertanyaan itu tak sengaja diabaikannya karena secarik notes kuning yang menempel di atas laptopnya menyita habis perhatiannya. Juga ada flashdisk di sana, yang ia berikan pada Hana tadi.
Gue dapet 5 checklists, Mas. Mohon koreksi dan arahan lagi, ya, besok. Makasih, Mas ^-^
-Hana.
5? Menarik. Gesit Biru menyalakan laptopnya, menancapkan flashdisk itu dan meninjau. Disaat itulah pertama kalinya sejak sekian lama, Biru merasa bahwa apa yang ia yakini tentang the capability of beautiful girls tidak selalu benar. Atau memang benar, namun ia tak sadar jika waktu bisa mengubahnya menjadi salah?
Selepas Bu Elsa memaparkan padanya apresiasi kerja Rere, kini agaknya Biru mengalami sendiri bagaimana sensasi itu terasa di kacamatanya. Semakin ia simak, semakin ia merasa ganjal karena ia terbawa. Hingga pada akhir garapan Hana, sesungging senyum muncul di wajah Biru.
"Wil, makan belum?"