Present time.
"Renjana~"
"Astaga!"
Rere tergegau dari lamunannya pada deretan roti bakar yang mengepulkan asap tipis di atas panggangan. Bulu kuduknya merinding mendengar desah usil seorang laki-laki tepat di belakang daun telinganya. Memanggil nama Rere sekaligus title track dalam album terbaru pria itu sendiri. Laki-laki yang sudah Rere tunggu lima belas menit itu tiba, masih dengan keasliannya dan tak ada yang berubah walau hampir dua atau tiga minggu tak bersua. Berikutnya style, pembawaan, serta aura yang ia pancarkan tetap sama. Kiyoko, yang Rere kenal sejak sebelas tahun lalu.
"Off, ya, hari ini?" tanya Rere. Tangan kirinya menyiku di meja dan badannya menyerong sedikit ke kanan di mana Kiyo duduk sebangku dengannya.
"Mm, seminggu ini padet banget. Gilang aja ampe tumbang" jawab Kiyo mengarahkan dagunya ke hadapan mereka. Seorang temannya bernama Gilang, yang duduk sendirian, tersenyum malu. Selanjutnya Gilang memajukan tubuhnya dan menanyai Rere.
"Gimana, Re? Masih sering ada yang nge-follow IG lo nggak?"
"Masih, sih, tapi nggak sebanyak kemarin pas awal-awal kalian rilis"
"Iya, lah! Pada kepo Renjana itu siapa, yang mana, secantik apa, korelasinya apa sama gue," sambar Kiyo dengan bangga.
"Wkwk, emang masih pada ngira gue pacar lo?" Selidik Rere.
"Masih, lah, beberapa. Tapi setelah gue reveal lo ada pacar, pada, oh yaudah, sih" jawab Kiyo, sembari membenarkan letak kacamata bulat di batang hidungnya.
"Terutama bucin-bucin berani matinya Kiyo, tuh, hahaha. Yang pada, ah, masa Kiyo sama Renjana-Renjana itu nggak pacaran? Bohong. Pasti mantan atau friendzone, kali, dll" terang Gilang.
Kiyoko atau pendeknya, Kiyo, adalah seorang vokalis band indie kenamaan yang popularitasnya melambung 2 tahun terakhir semenjak ia berkesempatan mengisi soundtrack film Indonesia yang sempat laris dan nangkring berminggu-minggu di bioskop.
Dreamy.
Band yang digawangi Kiyo dan 5 anggota lainnya -termasuk Gilang- memulai perjalanannya 4 tahun silam. Menjajaki panggung-panggung kecil hingga kini backstage room mereka bertuliskan VVIP dan dijaga 4 security. Mulai dari pentas seni sekolah hingga konser tunggal. Mulai dari home studio ala kadarnya hingga digaet agensi musik profesional. Meski ada kalanya luntur, semangat Kiyo berkarya tidak pernah sekali-sekali runtuh, just like Rere always knew.
Rere? Partner tumbuh dan berproses terhitung jauh sebelum Kiyo menjadi Kiyo yang sekarang. Rere ingat pada masa jaya putih abu-abu itu, Kiyo merupakan teman sekelasnya yang luar biasa ekspresif dan atraktif. Punya banyak kenalan dan sangat cinta bermusik. Tiap hari bawa gitar ke sekolah. Pakaiannya kadang tidak dimasukkan, atau kancing teratas seragamnya yang membalut kaos putih itu tidak dikancingkan. Kendati penampilannya begitu, Kiyo peduli dengan grade-nya. Ia bukan siswa yang suka tidur selama pelajaran berlangsung, menyontek PR anak-anak pemangku ranking satu sampai lima, apalagi gelut dan tawuran.
"Yaelah, Re, ya lo sampe lebaran juga nggak bakal nemu jawabannya kalau nggak ngonversi persamaannya ke bentuk yang ini dulu"
Terukir di memori Rere bagaimana demi matriks, trigonometri, logaritma, fungsi kuadrat dan integral, ia serta teman satu geng belajar bersama-sama dan Kiyo adalah orang yang paling jago serta jarang salah di antara mereka.
"Yo, gue nggak bawa motor hari ini. Ntar nebeng, ya, hehe"
Itu Rere yang kerap membonceng Kiyo ke tempat les saat motornya menginap di bengkel, ia sedang malas berkendara, atau kesiangan untuk naik motor sendiri.
"Re, nyanyi, yuk, ngewakilin kelas kita buat kartinian"
"Nggak, ah, demam panggung"
"Yeeeu, belum juga dicoba"
"Lagu apa?"
"Simple plan - perfect. Gampang, kan? Ayo, latian, gue iringin"
Kiyo adalah pasukan garda depan yang 24/7 siap tampil dengan gitarnya di acara-acara sejenis itu. Sayangnya kelulusan SMA menjadi momen di mana kemudian mereka harus jalan sendiri-sendiri. Kiyo dan Rere pergi ke universitas yang berbeda namun masih satu kota.
Kian membekas kenangan di hari pengumuman itu. Saat Rere tak menyangka ia menggenggam erat jemari Kiyo yang terkepal kecewa. Saat Kiyo sangat patah karena nilainya tidak mampu menembus score ambang batas perguruan tinggi yang ia mau. Saat Rere pun belajar bahwa pintar saja tak cukup. Ada satu faktor tak terlihat yang justru berperan dominan dalam pelemparan dadu-dadu manusia. Keberuntungan.
Rere pikir, berkat lintas jurusan -karena ia merasa lebih baik dirinya lepas dari mata pelajaran eksak- ia berhasil diterima di universitas impian Kiyo. Lebih tepatnya universitas terbaik di kota, idaman sejuta umat. Pada akhirnya Kiyo berkuliah di universitas swasta dengan jurusan yang tetap ia ingini, Teknik sipil. Pada akhirnya merelakan apa yang tak sanggup ia miliki dan mencintai apa yang merupakan miliknya, adalah yang melatih dan membentuk ia jadi dewasa. Hingga Kiyo bersyukur telah jatuh sebab kegagalan membawanya pada pilihan yang lebih baik. Pada terbentuknya Dreamy bersama teman-teman kampusnya. Band kaleng-kaleng yang pentas kemana pun, memenuhi panggilan demi mengisi waktu luang dan mempertahankan bendera yang telah berkibar sederhana.
Meski berpisah, Rere dan Kiyo tidak bisa diam-diaman. Aku, ya, aku. Kamu, ya, kamu. Lingkungan, what they deal with, dan petualangan kuliah mereka memang berbeda. Namun hidup mereka yang terbiasa bersama tetaplah sama. Main, nonton, makan, kumpul dengan teman-teman lama, setidaknya itu agenda wajib dalam satu atau dua minggu sekali. Penetralan dari rutinitas masing-masing bilamana mengeruh.
"Lo dateng, kan, Re?"
"Iya, iya. Tapi gue sama temen kuliah gue, Hana. Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa, lah, ajak semua yang banyak"
"Yeuu, ngumpulin audience, ya, lo?"
Itu dulu, jaman Dreamy manggung di mal-mal mengisi live music malam minggu. Jin pudar, kaos putih berlapis flannel kotak-kotak dan kacamata bulat, serta tubuh cungkring... Kiyo banget.
"Lo tau nggak, Re? Dompet gue ilang!"
"Serius lo?" Rere melolok kaget, mengabaikan hangatnya roti bakar yang baru saja diantar seorang pramusaji ke meja mereka.
"Dan dia masih haha-hehe, nge-vlog seharian, bukanya nyari atau lapor ke Polsek" timpal Gilang sembari menusuk roti yang sudah terpotong kecil-kecil itu dengan garpu dan melahapnya.
"Ya gimana, mumpung ada konten. Urusan dompet bisa besok-besok, kan" Kiyo tersenyum lebar seraya menelan suapannya, seperti hidup tanpa beban. "Yang penting kartu ATM-ATM udah gue blokir semua"
Sebetulnya itu rahasia umum. Kiyo memang teledor. Rere benar-benar sulit melupakan kejadian itu. Peristiwa 2 tahun silam yang sempat menggegerkan seluruh anggota Dreamy dan terjadi di hari yang bersejarah. Hari pertama mereka rekaman dengan label musik kebilangan yang menemukan eksistensi mereka di Youtube dan menyepakati perjanjian bersama mereka untuk mengorbit dan menaungi mereka.
Malam harinya, Kiyo menghilangkan softcopy album mereka dalam flashdisk-nya! Untung masalah itu dapat diatasi tanpa record ulang. Tapi ya... belum apa-apa, mereka sudah kena omel calon manager karena bikin pusing tim dapur untuk editing dan mastering ulang.
*
Past time.
Sebelum Biru menjabat sebagai manajer.
Ini pertama kalinya Hana makan-makan satu Humas. Which is ini kali pertama Hana pergi di luar urusan kerja bersama Biru, Wil, juga Indi. Dulu sebelum Hana bergabung dan Indi masih sangat baru, Indi juga pernah diajak kedua senior mereka ke tempat ini.
Nasi goreng kambing Kebon Sirih. Andalan Biru dan Wil dikala lapar banget, lagi perut mereka minta diisi banyak.
Wil mencari parkir agak jauh dari muka warung karena semua slot terisi penuh. Turunlah Biru, Hana, dan Indi duluan. Hana sering dengar tentang nasi goreng legendaris ini. Ramai, berjibun pembeli, kerap diulas food vlogger dan dikata enak dari mulut ke mulut. Namun Hana sendiri belum pernah mampir.
Mereka berhenti di meja kasir dekat para pemain orkes keroncong, penjamu setia pengunjung. Mereka melihat daftar menu pada poster besar yang tertempel di dinding. Warung makan populer itu tak menyediakan buku menu. Biar jadi ciri khas, katanya.
"Mas, gue yang kayak dulu, setengah porsi, ya. Minumnya samain aja. Gue ke toilet dulu, kebelet banget"
Indi berpesan pada Biru dan lelaki itu terlihat tak bisa membiarkan Indi menahan sedikit saja sebelum kandung kemihnya jebol. Maka mengangguklah Biru "oh, oke, oke" ucapnya. Kemudian saat ia menoleh pada Hana, didengarnya gadis itu bertanya pada pelayan "mbak, selain nasgor kambing, apa, ya?"
"Ada nasgor sosis atau bakso, kak, tapi bumbunya rendang. Aroma kambingnya nggak terlalu strong, kok"
"Oh, yaudah, aku itu aja. Setengah porsi juga, deh" order Hana. Disusul Biru menyampaikan pilihannya serta titipan Wil dan Indi.
Hana mengikuti ke mana Biru menentukan meja dari beberapa yang masih kosong. Ia duduk berdepanan dengan Biru supaya Wil bersebelahan dengan pria itu dan ia bisa duduk dengan Indi. Kedua tangan Biru yang bersedekap di atas meja dan sorot matanya yang mengintens pada Hana, mengisyaratkan bahwa nampaknya lelaki itu ingin membuka percakapan.
"Lo nggak doyan kambing?"
"Nggak terlalu, sih, hehe"
"Kenapa nggak ngomong dari tadi? Kan, bisa cari tempat makan lain"
"Nggak apa-apa, kali, Mas, namanya juga nyobain" Hana nyengir kemudian. Yang benar saja, mana berani ia menolak atau menginterupsi Biru hanya demi menuruti keinginannya. Padahal belum tentu demikian, ia tetap takut dicap princess.
Ketika Wil dan Indi sudah datang, begitu pula makanan mereka, Biru dengan sendok-garpu di tangannya melirik Hana pada suapan pertama gadis itu.
"Gimana? Masih bisa, kan?"
Hana yang tak sadar dipandangi mengangkat wajahnya. Kontan ia mengangguk rikuh "bisa, kok, nggak terlalu pekat rasanya". Wil dan Indi jadi tahu Hana agak keberatan. Dan untuk selanjutnya, bersama dawai biola dan instrumen lain yang mengiring dan menambah riuh perbincangan, meja mereka dicecari ocehan Wil tentang ketidak setujuannya soal mengapa seseorang bisa menolak kenikmatan olahan-olahan kambing. Hana dan Indi terpingkal-pingkal mendengar mulut jahil pria itu yang tak pernah tinggal diam.
*
Present time.
Biru benar-benar tiba di apartemennya tepat pukul 07.00 WIB. Agar tidak mengulur waktu, Rere standby di lobi sebelum mobil Biru datang supaya pria itu cukup mengambilnya saja tanpa parkir.
"Sarapan abis rapat aja, kali, ya?" sambut Biru kala Rere masuk dan langsung mengenakan sabuk pengaman. Rere menyanggupi karena lambungnya pun kurang suka mencerna makanan berat di pagi hari kecuali roti.
Dalam durasi kurang dari satu jam, mereka harus sampai di kantor Kementrian Pusat. Biru perkirakan itu pas karena sejauh pantauannya di aplikasi Waze, rute yang akan ia lalui tidak macet.
"Untung lancar, ya, ini" Rere mendongak dari HP dan menoleh ke luar kaca mengamati ruas jalan yang renggang. Lelaki disampingnya bergumam membenarkan, namun tangan dan pengelihatannya tetap fokus pada kemudi. "Eh, Mas, nyalain radio, kek"
Tatapan Biru mengendur lalu melirik tape mobil. "Iya, idupin aja" jawabnya. Dengan senang hati Rere memencet tombol power dan layaknya free real estate, suka-suka ia mencari gelombang stasiun yang memutar lagu-lagu kalem seperti acoustic folk atau country. Sambil mempelajari materi rapat lewat ponselnya, Rere berdiskusi kecil dengan si sopir.
Sesampainya di gedung tujuan, seperti biasa, tinggal menyebut "Batavia grup" di front liner, mereka otomatis dikawal ke lift. Diantar naik dan diarahkan hingga ke ruang pertemuan. Dibukakan pintunya, dipersilahkan duduk di kursi yang sudah disediakan sekaligus dinamai. Tentu Rere menempatkan diri di sebelah Biru. Baginya cukup menyimak rapat baik-baik, memahami proyek yang dipresentasikan, dan memikirkan untuk apa dirinya dibawa Biru kemari dengan mencatat apa saja yang sekiranya bakal jadi tugas ia. Termasuk menyesuaikan estimasi anggaran proyek dengan kantong perusahaannya.
Selain menggandeng Batavia, proyek Pemerintah ini bersinergi dengan beberapa perusahaan pelat merah juga swasta. Dalam teknis pembangunan proyek besar ini, Batavia ternyata perlu reuni. Memfokuskan komunikasi pada teman lamanya, yakni Sasana grup. Perusahaan sub-kontraktor yang akan ber-partner utuh dengannya. Hanya saja, kali ini perwakilan petinggi dari Sasana adalah seorang pria setengah baya yangmana Biru sangat asing dengan sosok itu. Batavia dan Sasana acap bekerjasama di tahun-tahun lampau. Setahu Biru, pimpinannya bukan beliau. Apakah manajernya sudah lengser?
Rapat pun sampai di penghujung. Moderator menutup rangkaian acara dan para tamu undangan sedikit bersalaman, bertukar kabar bagi yang saling kenal, pernah berkooperasi dan sejenisnya. Biasanya jika menemani Biru atau Bu Elsa dalam pertemuan semacam ini, waktu bubaran seperti ini dipakai Rere untuk memfoto kondisi pra-rapat satu sampai dua tangkap untuk galerinya sendiri. Atau kalau tidak, ya, langsung hengkang mengantri toilet. Sedang tentu, Biru sibuk menerima jabat tangan serta obrolan para penguasa di sana.
Rere menenteng tas laptopnya dan mengambil jarak menuju white board. Diarahkannya sebentar kamera ponselnya pada Biru untuk mengabadikan momen lelaki itu. Jaga-jaga, barangkali tiba-tiba "Re, lo tadi ngefoto gue sama bapak ini nggak? Atau sama bapak itu, lo foto gue nggak?"
"Batavia, ya?"
Rere mendongakkan pandangannya dari layar HP. Telah berdiri di sampingnya pria asing, yang kata Biru tadi, adalah perwakilan dari Sasana.
"Ah, iya. Saya Rere, Pak, biro Keuangan" cekatan Rere mengulurkan tangannya, dan lekas tangan satunya mengantongi ponsel ke dalam saku rok span tiga perempatnya.
Pria itu menyodorkan map cokelat bertali sambil berkata "Ini, kebetulan saya bawa kelengkapan dokumen kami. Master MoU yang verified dan agreements lain. Kalau ada kekurangan, menyusul saja"
Setengah bingung Rere terima berkas itu. Mungkin Biru lebih mengerti harus diapakan benda ini. Tak berlama-lama, bapak yang Rere baru sadar belum memperkenalkan diri itu pamit pergi. Belum ada satu menit Rere mengangguk mempersilahkan beliau, Biru datang. Matanya sempat mengantar punggung sang pria hingga lenyap ditelan pintu dan kemudian beralih melirik map di tangan Rere. Bertanyalah ia "apa, tuh?"
"Kurang tau, deh. Katanya MoU, dll" serah Rere pada Biru.
Biru membukanya. Ketika ia mengeluarkan beberapa kertas dari dalam, ada sesuatu yang ikut jatuh ke lantai dan mereka berdua kompak menyadarinya. Cepat Rere turun mengambil sepucuk kertas sobekan itu. Dipaparkannya pada Biru juga, lalu keduanya seakan disambar petir dan sama-sama tidak percaya dengan apa yang mereka baca.