Past time.
Sebelum Biru menjabat senagai manajer.
He's so smartly selective about which one is necessary to be talked in the office, which one is not. Pernyataan tersebut resmi dimasukkan Hana pada deskripsi "orang seperti apakah Biru?" dalam kamusnya selepas peristiwa clubbing.
Mas Biru: Kemarin, tahu alamat gue dari Wil?
Hana: iya, Mas, lo udah sadar?
Mas Biru: menurut lo, Han? Ini udah semaleman.
Hana: hehe, siapa tau, kan.
Mas Biru: pulangnya ngojek, ya?
Hana: iya, sempet ngobrol juga sama bibi lo.
Mas Biru: oh gitu, thanks, ya, Han.
Hana: sama-sama, Mas😉
Demikian percakapan singkat pukul 6 pagi keesokan harinya. Sampai kantor, Biru tak membahas lagi atau pun mengucap makasih muka ke muka pada Hana. Seperti, ya, sudah. Hari baru, urusan baru. Bukan apa-apa bagi Hana karena perhatiannya setelah itu lekas tersita oleh gunungan workload di depan mata.
Siang harinya setelah lunch, Hana berpapasan dengan seorang senior biro Umum di lorong toilet. Hana masih memutar sedikit rok a-line selutut di pinggangnya supaya lurus. Senior itu berdecak mengejutkan Hana "Ah! Pas banget. Ini dari Biru". Hana sempat booting lama melihat minuman float terjulur padanya. "Gue dititipin, buat lo. Kita abis makan siang di luar, tapi Biru nggak balik kantor lagi. Langsung dinas sama Pak Vijay"
Walau ragu tetap Hana terima dan ia konfirmasikan ke Biru. Menegunkan, Biru mengakui itu tanda terimakasih darinya atas kerepotan yang Hana tanggung semalam. Sekarang malah Hana yang jadi canggung dan tidak enak hati. Kalau cuma soal repot, sudah berapa kali Biru terimbas hal serupa atas kecerobohannya?
Sebut saja minggu lalu. Pak Vijay marah-marah perkara artikel buatan Hana yang terlanjur rilis. Hana tak tahu ada perubahan informasi sehingga ia memberitakan buletin yang salah dan tidak aktual.
"Siapa yang berani bikin kayak gini?!"
Bentakan itu sukses menggores trauma sampai sekarang. Dia jadi parno tiap dengar nada tinggi Pak Vijay. Saat itu kaki gemetar, keringat dingin mengucur, nafas tertahan. Hana hampir gagal jantung sebelum Biru tiba-tiba berdiri, menjawab lantang dan berani "saya yang nyuruh Hana, Pak"
Padahal kenyatannya bukan. Namun selanjutnya, jelas...
"Lo, kok, nggak minta koreksi ke gue dulu, sih? Lokasi belum fix, main upload. Pede banget lo. Kenapa nggak ditahan dulu? Kalau lo butuh, ya, lakuin. Begini aja nggak tegas, lo. Beresin. Gue nggak mau denger lagi"
Dibilang sakit hati, ya, sakit. Benci, amat sangat. Tapi dari pada didamprat Pak Vijay seperti tiada lagi hari esok, mending dihabisi Biru sepuas-sepuasnya. He does it cause he cares, protects, and keeps her. She gets it all.
Setelah float pemberian itu, hari-hari berikutnya merupakan minggu-minggu terberat bagi Hana. Departemen Human Capital begitu memperumit kerjaannya. Sementara itu masih banyak urusan yang lebih crucial. Slow action, drama bersambung, regulasi yang non-adaptive membuat Hana menyerah dan menumpahkan juga tangisnya di depan komputer pukul 7 malam.
Tinggal dia dan Biru di rumpun meja Humas. Dia bolak-balik kamar kecil hanya untuk menghapus air mata dan ingus. Sekali, dua kali, dan yang ketiga kali, menggenang di pelupuk lalu membeludak lebih cepat dibanding kekuatannya menahan. Hana mengusap pipinya sesegera mungkin karena ia malu bila Biru tahu. Lagi pula Biru sudah berkemas. Bagus, pergilah saja lebih baik, pikir Hana. But dear, not today. Lelaki itu justru memiringkan kursi ke arahnya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, Mas" Semakin gagal menyembunyikan celanya, Hana menarik selembar tisu dan mengelap jejak tetes di pipinya.
"Bukan gitu cara kerja dalam tim. Lo ada problem, sebaiknya gue tau. Mungkin gue bisa bantu. Lo nggak mau apa, pundak lo jadi enteng?"
"Ini sepele, Mas. Pundak lo aja udah berat. Harusnya gue bisa kelarin sendiri dan bantuin tugas lo yang lain" Tersenggal-senggal Hana mengatur nafasnya.
"Lo partner gue dek, bukan asisten. Masalah lo, masalah gue juga"
Semenjak itu Hana benar-benar bersyukur memiliki sosok yang tak meninggalkannya pulang begitu saja di masa sulit. Tidak berlepas tangan dan cuma terima beres. Sosok yang membantunya belajar menghadapi persoalan. Sungguh membuatnya merasa fit in dan diterima. Terlepas dari itu semua, itulah orang yang sama dengan yang ia seranahi kala pertama dipasangkan dengannya. Sosok yang membuatnya impulsif merutuki kemalangan nasib, mengapa orang itu adalah mentornya. Dahulu kalau boleh, ingin jauh-jauh saja darinya. Ya, ialah orang yang sama. Orang yang tak mengubah perlakuan apapun padanya, sementara justru penerimaan Hana terhadap perlakuan orang itu, kini sudah berbeda. Sekonyong-konyong alam seperti menyerangnya dengan kartu UNO reverse. Kebanyakan yang Hana rasakan sekarang adalah sebaliknya. She is grateful having him on her side. She really is.
Hana: Mas, Kak Intan mau issued suratnya.
Hana: akhirnya tamat juga sinetron gue.
Mas Biru: apa gue bilang? Nggak sesusah itu.
Hana: Hehe. Makasih, Mas Biru.
Mas Biru: Komunikasi yang jitu juga butuh latihan. Nggak apa-apa.
Hana: iya, Mas. Apa gue les aja kali, ya, ke lo?
Mas Biru: Waduh, gue nggak buka kelas privat😆
Hana: Yah! Side income, loh, Mas. Hahaha.
Mas Biru: Ya udah, 700/bulan, ya.
Hana: Bujug! Kursus bakery aja 400/bulan.
Mas Biru: Intan lo kasih roti mana mempan. Bayar mahal untuk kegunaan yang tepat, Dek.
Hana: Bener juga, ya🤔
*
Present time.
"Re, sibuk nggak?"
Rere menjeda video vlog di ponselnya. Ia melolok ke rumpun meja depan dan ia dapati kursi Hana sudah berputar menghadapnya. Rere mencopot airpod-nya sebelah, lalu bertanya ada apa gerangan.
"Kenalin Archi sama jurnal operasional, dong. Garis besarnya aja. Ya, ya, ya?"
Apa boleh dikata. Rere tak menolak permintaan Hana karena ia memang sedang longgar dan selagi sanggup membantu, why not? Tentu dengan semangat, Archi menarik kursi menuju mejanya kemudian duduk di antara ia dan Dinda.
"Yah, lagi Youtube-an ya, Kak? Sorry, ganggu" sesal Archi saat pandangannya tak sengaja jatuh ke layar HP Rere di atas meja. Gadis itu mengangguk tak apa. "Lo suka nontonin Kiyo Dreamy, Kak?"
Spontan Rere menoleh pada bocah itu. Terlalu mudahkah mengenali kanal siapa yang sedang ia saksikan?
"lo juga suka?"
"Lumayan. Tapi albumnya yang baru belum gue dengerin semua. Baru title track-nya doang, yang... Apa, tuh?" ditengah ingatannya sendiri, Archi terperanjat sadar. "Renjana?! Lah, nama lo, Kak!"
"Memang lagu buat Rere" saut Dinda.
"Bukan buat gue. Tapi terinspirasi gue aja"
"Kiyo itu temen SMA Rere, Ar" terang Dinda.
Entah untuk yang keberapa kalinya Archi tersontak dengan fakta-fakta unik temuannya semenjak ia kerja di sini. Mulai dari manajernya yang muda, memukau dan super gaul. Managernya yang menjaring petani saham terbesar di perusahaannya. Managernya pacaran dengan senior Humasnya, dan sekarang seniornya yang lain ternyata teman SMA vokalis band indie beken yang termasuk juga listed di jajaran grup favoritnya. Besok, apa lagi?
"tapi, Kak, liriknya manis banget, loh"
Memang. Manis seperti gulali.
Kalimat Archi barusan tanpa permisi membuat Rere memikirkan hal itu lagi dan lagi. Saat pertama kali liriknya masuk ke telinga, Rere tak sebodoh itu untuk tidak menyadari bahwa "Renjana" adalah lagu yang romantis. Rere tidak kaget sebab Kiyo memang pujangga. Such a good poetist and lyricist. Jagonya merangkai syair-syair indah. Hanya saja, jujur, yang kala itu sempat ia pertanyakan dalam benak adalah untuk apa Kiyo menciptakan lagu dari namanya.
"Ya suka-suka dia, lah."
Mau Kiyo kasih judul Renjana, Mawar, Senja, Jennie, Taylor, it's all up to the creator. Siapa Rere punya hak menentukan boleh-tidak? Tentu, itu hak perorangan asalkan yang bersangkutan bebas copyright issue dan lain-lain. Pada akhirnya, jawaban yang digayung benaknya berupa "Ya suka-suka dia selaku sang pencipta lagu" sudah cukup memadamkan kuriositas. It's clear.
Namun setelah itu, menyusul ungkapan Kiyo pada Rere bahwa Rerelah inspirasi terbesar dibalik "Renjana". Muncul lagi tanya dari ruang renung yang lebih dalam, mengapa bisa terinspirasi darinya.
"Ya bisa, lah. Mengapa tidak?"
Kita semua tahu, Rere pun tahu, inspirasi datang tak pandang bulu dari mana saja. Dapat tiba sendiri maupun kita jemput. Dapat tumbuh pelan-pelan seperti biji menjadi tanaman, atau pun hinggap seketika seperti kupu menyinggahi ranting. Terlampau luasnya pemaknaan "datang dari mana sebuah inspirasi" membuat Rere lagi-lagi memadamkan keingin tahuannya dengan jawaban "Ya bisa-bisa saja. When it comes, it comes anyway."