Past time.
Sebelum Biru menjabat sebagai Manajer.
Hana menoleh ke samping. Mulutnya hampir nyerocos namun kembali mengatup mendapati orang yang dia cari tidak available di bangku. Tadinya dia mau bertanya perihal acara HUT Batavia yang ke-61 pada orang itu. Hana mengangkat rendah pantatnya guna memastikan di hadapannya bahwa Indi dan Mas Wil juga sedang tidak berada di kursi mereka. Kemana handai tolannya ini? Tumben ngilang barengan, batin Hana. Jangan-jangan mereka sempat pamit namun Hana keasyikan membaca inbox surat elektroniknya?
Gadis itu meraih ponsel dan menaikkan kedua alisnya pertanda "baiklah, nanti-nanti pun boleh" karena untungnya tak ada gesaan dari departemen lain. Hari ini Whatsapp-nya lebih ramai dari biasa. Rona merah wajahnya, simpul senyumnya, cukup menguraikan kepada siapa pun kalau dia sedang gembira. Akan tetapi di sela-sela ketukan jemarinya membalas pesan masuk, tiba-tiba seluruh lampu di langit-langit ruangan padam. Kontan satu-dua karyawan berseru kaget, terutama yang punya latah akut.
"Happy birthday to you... Happy birthday to you..."
Pelan tapi pasti, suasana meriuh oleh lantunan nada yang familier di hampir telinga seluruh manusia sejak balita hingga dewasa. Menolehlah Hana ke belakang. Jika bukan pemadaman bergilir, tetapi lampu sengaja dimatikan lalu beberapa orang muncul dari pintu membawa kue tart dengan lilin menyala, itu artinya bakal ada yang jadi bulan-bulanan. Sementara bila kawan-kawannya tak tahu kapan Hana berulang tahun, siapa lagi yang hari ini sama-sama lahir ke bumi sekian masa yang lalu seperti dirinya?
Gerombolan itu berjalan perlahan-lahan mendatanginya. Rere menjadi center dengan kedua tangan membawa roti berukuran besar yang jika dipotong-potong, lebih dari cukup untuk dibagi rata per kepala seruangan. Di sebelah kirinya, berdiri Indi. Sebelah kanannya pas, ada Mas Biru. Sedang Wiliam, Bu Elsa, Pak Gun, dan beberapa lelaki biro Umum menjadi pengikutnya di belakang. Ah, tersadarlah Hana bahwa ritual surprise kebiasaan departemen mereka itu, kali ini memang buatnya. Bagaimana mereka tahu?
Sekali lagi Hana mengedarkan pandang ke sekeliling, maka yakinlah dia, para senior bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu Happy Birthday untuknya. Bahkan mereka yang duduk jauh dari Hana saja ikut berdiri supaya tak melewatkan momen sedikit pun. Rekan-rekan Hana melempar senyum paling hangat yang jangankan dia berekspektasi mengecapnya di hari spesial, dia kira mereka tahu tanggalnya pun tidak.
Saking kejutan dari keluarga barunya ini "out of words", Hana sampai membungkam mulutnya dengan jemari dan sekang dia girang layaknya belut dilepas ke lumpur. Red velvet cake dipersembahkan Rere di hadapannya. Selaput bening mata Hana yang berkaca-kaca itu, Rere dapat melihatnya dengan saksama bahwa surprise kecil ini berhasil. Sama sekali tidak Hana duga.
"Ember juga lo" Komen Hana pada Rere yang kontan memicu tawa orang-orang. Terlalu mudah bagi Hana menebak dalang di balik ini karena siapa lagi yang tahu kalau hari ini, 23 tahun yang lalu dia keluar dari perut ibunya, selain Rere sang sobat karib sejak kuliah?
"Buruan make a wish, keburu lilinnya meleleh!" seru Bu Elsa.
Di sinilah Hana memejamkan mata dan berdoa pada Tuhan agar seberapa hebat kerja membuatnya jenuh hingga kadang gaji terasa tak sepadan menukar letih, dia harap untuk banyak-banyak mengingat jika yang baik-baik dan manis-manis, sejatinya lebih erat merengkuh dia ketimbang yang buruk-buruk dan mengesalkan. Benar, kerja di mana pun pasti ada enak dan tidaknya. Ada susah dan gampangnya. Ada masa-masa yang menjadikan kita resilience, ada pula yang membuat kita ingin resign seketika.
Sekilas Hana melirik lelaki yang tidak pindah dari samping Rere. Ya, the one and only Biru. Hana tidak menangkap apa pun dari wajah pria itu selain ketulusan serta senyum bangga. Rasa-rasanya jika hanya berterima kasih saja belum cukup membalas budi pria itu atas kaki yang telah diajaknya berlari sejauh ini. Berganti partner? Sepertinya Hana tak ingin punya opini ke-2 selain "nope, thanks. I'm good."
Selepas tiup lilin dan foto bersama, Mbak Sur sang kuncian segala tetek bengek perdapuran dengan gesit mengambil alih kue tersebut. Memotong, menaruhnya dalam lepek-lepek kecil, dan mengantarnya satu-persatu ke seluruh jiwa di ruangan. Mbak Sur sudah piawai, begitulah yang harus dia lakukan jika ada yang berulang tahun. Bila rotinya tak habis, dia pula yang suka membaginya ke satpam atau petugas parkir seumpama itu terlalu banyak untuk dia bawa pulang sendiri. Malam itu, pukul tujuh, Mbak Sur bertanya pada Hana. Gadis itu tengah mengisi botol minum di dispenser dan Mbak Sur muncul dari ruang stasioneri dengan jaket yang sudah membalut seragamnya.
"Beneran, nih, Mbak Hana, nggak mau di potongin lagi kuenya?"
"Udah cukup, Mbak. Saya makan 3 kali, kenyang banget." Hana menarik botol itu dan meneguk airnya.
"Ok, deh. Kalau gitu saya beresin, terus pulang. Hehe"
"Iya, nih, saya juga mau balik. Ati-ati, ya, Mbak Sur" ujar Hana sebentar sebelum meninggalkan pantry.
Tak banyak manusia tangguh yang lembur malam ini karena di luar, gerimis mulai merintik-rintik manja. Sebagian besar memilih pulang sebelum boleh jadi tambah lebat. Memang siapa yang masih bersikukuh kasur, selimut, dan mi instan kuah tidak lebih menggiurkan dari pada overtime dalam kondisi seperti ini? Seperti biasa, tinggal Hana dan Biru di rumpun meja Humas. Jangan tanya Indi angkat kaki jam berapa selama gadis itu masih jadi anak didik Wiliam. Kalimat tersakti yang selalu mencambuknya untuk pulang sedini-dininya saja berbunyi "kerjaan, kok, nggak habis-habis? Situ kerja, atau lagi dikerjain?", tentu membayangkan Indi dan Wiliam duduk di depan komputer selepas matahari terbenam hingga larut malam adalah sebuah kesalahan. Lain halnya Biru dan Hana yang kurang gemar menunda-nunda pekerjaan.
Hana sedang membungkuk mengenakan sepatu hak tingginya. Tidak sengaja menginterupsi konsentrasi Biru yang sedang tertunduk serius mempelajari proposal. Lelaki itu menoleh serta menyadari layar komputer Hana sudah gelap.
"Pulang, Dek?"
"Iya, Mas. Keburu deres. Gue nggak bawa payung" Hana menegakkan badannya dan cepat merapikan beberapa bundel kertas. "Jangan malem-malem, Mas" disusulnya peringatan pada Biru.
"Tunggu, dong. Sekalian."
Biru juga berencana pulang tak lama lagi. Dipintanya Hana menanti selagi dia mematikan komputer dan berkemas. Hana mengangguk lalu mengisi kekosongan dengan me-repost unggahan Instagram story teman-teman SMA serta kuliahnya yang mengucapi dia macam-macam harapan indah di pertambahan umurnya kali ini. Begitu pria itu kelar, mereka berdua beranjak ke lantai dasar. Nyaris Hana memisahi Biru di lobi namun lelaki itu menawarinya tumpangan dari pada jalan kaki.
"Gue anter aja. Hujan"
"Nggak usah, Mas. Masih bisa ini"
"Udah, bareng gue aja"
"Lo harus muter, dong?"
"Halah, cuma muterin gang, bukan Istora Senayan"
"Hahaha, ya udah, deh"
Lumayan dari pada kebasahan. Hana berjanji pada diri sendiri, besok-besok dia harus sedia payung lipat atau mantol kresek 10.000-an dalam tasnya. Sebelum ini, Biru pernah harus mengantar Hana beberapa kali saat Hana lembur sampai pukul 9 atau bahkan 10. Itu pula tak ubahnya jika dia dan Hana rampung bersamaan. Terus terang, Biru gelisah melihat seorang perempuan jalan di gang sepi tanpa kawan. Lelaki dengan logika sehat mana yang tidak cemas teman perempuannya pulang malam-malam sendirian?
Kalau belum terlalu petang, biasanya tak apa. Mereka akan berpisah di lobi dan, ya, Hana memang pro jalan kaki ketimbang naik ojek sebab itulah tujuannya tinggal di rumah sewaan bareng Rere, Indi, dan Dinda. Supaya jaraknya terjangkau. Ojek adalah haram ketika kakinya tak pegal benar, tak sedang terjebak hujan berangin, atau dia kemalaman dan Mas Biru terlanjur pulang sedang tak ada lagi tebengan lain.
Cuma butuh kira-kira 11 menit dan 3 sampai 4 baris dialog random dengan Biru untuk sampai persis di depan kontrakannya. Tidak pakai basa-basi Hana berterimakasih dan minta diri. Namun ganjilnya, Biru menahannya dengan "eh, Han", padahal tangan Hana sudah menyentuh handle pintu dalam mobil. Gadis itu menoleh dan tentu saja kedua alisnya terusung. Dilihatnya Biru menengok jok tengah. Tangan pria itu meraih sebuah paper bag kecil hitam polos dari sana.
"Happy birthday, ya"
Bohong jika Hana kuasa menahan rahangnya yang jatuh terperanjat melihat benda itu terulur padanya. Kapan Biru mempersiapkan kado buatnya? Tidak, lebih-lebih untuk apa beli kado segala? Biru tersenyum hingga gigi-giginya nampak. Sepertinya dia siap membercandai gadis itu karena tak segera menerima.
"Mau nggak, nih? Kalau nggak, gue simpen la-"
"Mau, mau!" Pangkas Hana. Meski ragu, dia ambil juga hadiah itu. "Gue bingung, nih, mesti ngomong apa" lanjutnya.
"Makasih" Tutur Biru.
"Sama-sama"
Saking blank-nya, Hana tak sadar Biru membantunya berkata tapi malah dia balas seolah dia yang memberi kado. "Eh, gimana, sih? Maksud gue, makasih, Mas" ulang Hana.
"Hahahahaha" kian nyaring bahakan Biru beresonansi ke telinga Hana. Betul, tertawalah sebelum dilarang atau berbayar.
Masih dengan ketidak percayaannya, Hana melesat ke kamar tidur secepat guntur. "Kehujanan nggak, Han?", suatu bentuk kepedulian Rere si roommate, yang Hana selalu suka pun tak digubrisnya khusus malam ini. Rasa ingin tahu berbaur semangat memenuhi dadanya seperti bocah di film natal yang mendapat bingkisan dari sinterklas. Hana keluarkan sebuah mini box dari dalam paper bag tersebut. Warna kotak mini itu senada dengan tas wadahnya. Kira-kira benda apa yang seorang Biru mungkin hadiahkan pada seseorang?
Ulang tahun pertama di Batavia. Selamat, ya! Semoga yang lo cita-citakan cepat terwujud bergantian. Satu-satu nggak apa-apa. You're doing great at your 23, Han. Honestly, I appreciate your work many times more than you know. Tetap semangat and be yourself! Thanks, my favorite partner.
From,
Biru.
Sepucuk kartu ucapan itu terselip di dalam, menemani sebuah gelang emas yang mengilap. Diameter rantainya sempit berhias 4 bandul berbentuk sabit kecil yang menggantung pendek dengan sela jarang. Cantik. Amat cantik sehingga Hana cuma bisa menganga terpukau. Perhiasan seelok ini, Hana sampai tak berani menaksir berapa rupiah.
Semua ini lumayan berbenturan di akal Hana. Pertama, Biru menghadiahinya. Kedua, itu barang yang untuk membelinya saja, Hana nyata pikir-pikir dulu sepenting apa kegunaannya dalam hidup. Bagus, enak di pandang, tapi bukan prioritas untuk dimiliki. Toh, kalau ke kondangan, Hana masih punya aksesoris seadanya. Belum lagi kalau iuran kontrakan, tagihan A sampai Z, biaya makan sehari-hari, dan kewajiban-kewajiban lain mulai menghantui rekeningnya. Uang serasa air dalam teko yang mendidih. Menguap tanpa jejak. Ketiga, manis sekali tulisan Biru ini. Bukan sekedar "selamat ulang tahun, ya, Dek", tapi diikuti pengakuan bahwa Biru menganggapnya rekan favorit?
"Anjir!" Pekik Rere.
Hana masih termenung memandangi gelang itu ketika Rere yang rebahan, seketika terbangun dari kasurnya, meloncat ke ranjang Hana dan merebut kartu ucapan itu.
"Cobain, lah. Cepet!" Antusias Rere meraih pergelangan Hana. Penasaran, Rere kaitkan gelang tersebut di sana. "Imut banget, Han, asli!" Pujinya seraya mengangkat tangan Hana yang lemas setinggi pandangan dia dan mematut-matutnya.
"Re, gue nggak mimpi, kan?" Hana menatap Rere dengan sorotnya yang hampa.
"Pasti nggak nyangka, ya, lo?"