Past time.
Sebelum Biru menjabat sebagai manajer.
Hana akui bergantinya malam menuju siang dari satu tanggal ke tanggal yang lain dalam kalender tak halnya membuat dia semakin dekat dengan Biru. Dekat, begitu juga terikat. Dekat dalam keberadaan dan terikat dalam batin. Intensitasnya bertukar pesan di luar topik kerjaan juga bertambah besar. Seputar tempat makan legendaris di Jabodetabek, kisah-kisah lucu dan memorable di kantor sebelum Hana masuk Batavia, hingga parfum-parfum keluaran Inggris, Perancis, dan negara Eropa lain yang gemar Biru koleksi. Tak disangka cerita-cerita fresh tersebut berefek candu bagi Hana.
Berlaku pun sebaliknya. Mostly, bagaimana Hana membagi kisah bahtera kontrakan. Tentang protesnya terhadap Dinda yang tiada hari tanpa lagu Korea, atau yang sengaja melupakan jadwal bersih-bersih karena hanya sibuk mengagumi visual Park Bogum dalam drama, atau Indi si "pelor", asal nempel langsung molor yang hobi menyabotase kasur orang tanpa dosa, serta Rere yang kerap semberono meletakkan barang-barangnya hingga bercampur dengan milik orang lain dan menyulitkan mereka saat sedang mencari. Bahkan hingga soal Purnama, adik laki-laki Hana kesayangan orang tuanya yang sering bikin geger itu pun jadi tak kalah menarik untuk Biru.
"Dia cowok kelas 3 SMA, udah mau kuliah, dengan polosnya nanya ke gue di suatu hari yang cerah, 'Kak, cium pipi orang yang kita suka itu rasanya gimana, sih?' Asli, gue kasihan tapi pingin ngakak, Mas"
"Hahaha, belum pernah pacaran, ya?"
"Keluar rumah aja diwaktuin, gimana boleh cinta-cintaan?"
"Wkwk, gue aja gini-gini waktu SMA punya pacar"
"Serius, Mas?"
"Nggak percaya, lo?"
"Kalau sekarang?"
"Lo ngatain gue?"
"Hahaha, bukan gitu. Gue, kan, juga jomlo. Nggak boleh saling ngatain"
Makin asyik saja bahasan-bahasan Biru dengan gadis itu dan hampir tak pernah "garing", yang itu jarang bisa dia lakukan bersama orang lain dalam waktu berkepanjangan. Hana seorang. Tidak terasa menjangkah wilayah teritorial Biru yang rapi dibedengnya, tentang bab-bab yang tidak pernah dia buka kepada orang. Hana seorang. Tidak tahu kenapa, tapi kerap memicu semangatnya hanya dengan mendengar celetukan gadis itu mengenai segala hal.
"Mas, gulai tikungan blok M, yuk?" ajak Hana di suatu siang. Pelan-pelan saja dia bicara karena cuma Biru yang dia tuju. Biru menoleh dan matanya membulat. Dalam rangka apa Hana pengin makan sapi-sapian dan sejenisnya?
"Emang lo doyan?"
"Mau nyobain aja. Habisnya temen gue persuasif banget, dari kemarin promosi mulu. Katanya nggak ada tanding. Menurut lo gimana, Mas?"
"Ya... Kalau lidah gue, sih, cocok. Tapi nggak yakin lo bisa-"
"Oke, lo nggak lembur, kan?" Hana memotong kalimat Biru.
Hebatnya binar mata gadis itu. Biru pun tak percaya dengan kespontanitasannya menjawab "nggak, kok" padahal sedetik kemudian teringat tugas-tugasnya yang menjerit minta dirampungkan. Selepas Hana tersenyum gembira dan kembali bekerja, Biru di hadapan komputer membuang nafasnya sekali dorong. Apa yang salah? Ini pertama kalinya dia tak mau seseorang kecewa sampai-sampai dia rela menggeser prioritasnya sendiri untuk sesuatu yang sepele. Orang itu bukan Pak Vijay. Bukan juga Wiliam. Dia hanyalah Gerhana.
"Mas, ortu lo, kan, bisnis di Singapore. Kenapa lo nggak ikut ke sana aja, sih?"
Lagi-lagi gadis itu, yang entah mengapa keingin tahuannya sama sekali tidak membuat Biru risih. Justru anehnya Biru tidak keberatan menceritakan hingga ke seluk beluk, melebihi apa yang ingin Hana dengar. Tidak sekedar menjawab sekenanya agar si penanya diam.
"Kata bokap gue sendiri, kerja di sana nggak cocok sama gue. Terlalu berat"
"Hah?!" Hana melongo di meja makan mereka. Hari ini Biru dan dia sengaja lunch di luar. Kemarin, mereka ngobrol soal pempek termasyhur di sekitar Pancoran. Restoran ini adalah tempat jual pempek terenak yang pernah Biru temu. Cita rasanya 'Palembang' banget. "Terlalu berat? Lo, kan, pekerja keras bagai kuda, Mas" sambung Hana.
Biru cuma mengedikkan bahu. Memang begitu kata ayahnya yang sejak Biru kuliah, terus diwanti-wanti untuk sebaiknya tidak usah kerja di Singapura seperti beliau.
"Lah, kalau orang se-hard working lo aja keberatan, terus gue apa kabar?" Hana tersenyum kecut sembari membayangkan seekstrem apa lingkungan kerja di negara itu. "Gila, bakal jadi gimana, ya, gue di sana?" tanya Hana sambil menyendok potongan pempek beserta acar.
"Tapi gajinya nggak main-main. Lo nggak tergiur?" Tanya Biru.
"Biaya hidup juga mahal"
"Tetep aja taraf hidup lo meningkat"
"Lo ngusir gue ke sana, nih?"
"Hahaha, nggak, lah. Nanti gue sama siapa?" Ucap Biru sembari menyesap kuah.
Kalimat Biru tadi sebetulnya agak men-trigger Hana. Bukan dalam artian jelek, tapi Hana masih kurang percaya diri juga menyebutnya bagus. "Nanti gue sama siapa?" seolah mengungkapkan bahwa tanpanya, Biru menjadi tidak baik-baik saja.
Keteteran? Tidak. Sekiranya tanpa Hana, Biru akan tetap pada sediakala, semudah membalik tempe di wajan untuk mengatur segala perkaranya. Lagi pula Hana sudah pegang urusan sendiri dan kerjaannya pun banyak. Tiada lagi acara bantu-bantu Biru.
Kelimpahan? Bukan juga. Kalau tidak ada Hana, memang, secara otomatis job desk Hana akan dibagi rata ke Biru, Indi dan Wil sehingga membebani tanggung jawab Biru yang sudah ada. Boleh jadi dia bakal kelimpahan. Tapi tunggu, dia Biru. Biru si serba bisa yang apa pun beres ditangannya dengan tutup mata.
Bilamana tak ada dirinya, ketidak baik-baikan yang mungkin menimpa Biru bukanlah bersifat konkret. Melainkan sesuatu yang abstrak, yang mengimbas hati dari pada raga.
Kekosongan, kehampaan.
Teman ngobrol terbaik di kantor selain Wiliam, pergi. Teman minum kopi yang meski selalu pesan cokelat karena kurang suka kopi, hilang. Rekan sebangku, tidak ada lagi. Teman kulineran saat bosan dengan katering, juga tidak ada. Semua itu akan hilang dari sisi Biru jika Hana pergi.
Meski nuraninya mungkir, realita membuat Hana agak berbesar hati gara-gara itu. Special partner, julukannya dari Biru, kian membuatnya merasa khusus. Bagaimana diperlakukan "istimewa" tidak menyenangkan bagi seseorang? Antara dia dan Biru seakan tak ada jarak yang berarti lagi sekarang. Sosok yang dulu menakutkan kini menjelma jadi pengisi siang-malamnya. Hana bersyukur namun juga berhati-hati. Jika tidak, salah-salah nanti hatinya yang jadi salah.
Biru: Dek, video Batavia Mengajar dari semua departemen udah terkumpul, kan?
Hana: Udah, Mas. Kemarin sore lengkap. Jadinya kapan kita nyeleksi?
Biru: Senin harus bawa juara terpilih ke Pak Vijay.
Hana: Loh, katanya selasa?
Biru: Doi majuin.
Hana: Waduh, gimana? Nggak ada waktu lagi kita😯
Biru: Terpaksa besok, Han.
Hana: Minggu? Overtime, dong? Dibayar nggak, nih? Hehe.
Biru: Duit mulu lo🙄
Hana: Hahaha, yaudah, mau ngerjain dimana kita? Jangan Ruang Konspirasi, kalau minggu ramenya buju buset.
Biru: Karena kita butuh nyaksiin lewat proyektor supaya jelas, di rumah gue aja, kali, ya?
Hana: Baiklah, Mas👌
Berujunglah Hana memencet bel rumah yang sekian waktu silam dia datangi malam-malam membawa pulang si penghuni dalam keadaan mabuk. Sorot mata bibi yang sepertinya sudah diberi tahu bahwa Hana akan berkunjung itu, menyambut si tamu dengan pancaran bungah. Nampaknya bibi senang Hana datang lagi.
"Masuk, Non, masuk" bibi tersenyum lebar di ambang pintu.
"Bibi gimana kabarnya?" Tanya Hana, membuntuti wanita paruh baya itu menuju ruang tengah. TV 55 inci di sana menyala, menayangkan infotainment dengan volume agak keras. Cukup berlomba dengan suara penggorengan dari dapur. Dapurnya hanya selangkah di belakang ruang TV, tersekat oleh sofa bed panjang warna merah mahogany. Sedapnya harum ikan lele menyerbak tanpa akhlak dan memicu jiwa anak kos Hana yang datang-datang langsung lapar. Dicium dari baunya saja, sepertinya masakan bibi boleh diadu.
"Kabar baik, Non. Non Hana sehat, kan?"
"Aman, Bi, sehat sentosa"
"Saya kaget dikasih tahu Mas Biru kalau Non Hana mau ke sini"
"Memang kenapa, Bi?"
"Nggak nyangka orang yang sama datang lagi ke rumah, selain Mas Wiliam, hahaha" Bahakkan bibi itu menular sedikit ke Hana.
Berikutnya Hana mulai menelisik segala arah mencari si empunya rumah yang batang hidungnya belum terlihat.
"Lantai 2, Non. Di ruang kerjanya. Naik tangga, ambil kiri, pintu kedua setelah lemari wine" Bak cenayang bibi menjelaskan runtut bin informatif.
"Kalau gitu, boleh saya langsung ke atas, Bi?"