Biru

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #1

Kedalaman Hati

Ia lebih sering terlihat sebagai seseorang yang tenang meskipun sticky notes berwarna biru favoritnya tertempel di berbagai sisi pada bilik kerjanya. Kantor ini selalu sibuk, lebih sibuk dari bank atau bursa efek. Setiap karyawan kalang kabut ketika badai deadline melanda. Namun, badai itu tak membuatnya bergeming, ia terus fokus pada pekerjaannya. Memikirkan kata-kata.

Baginya, kata-kata adalah ikan di lautan. Ia dapat memancing atau menjaringnya. Sesekali, ia akan mendapat tangkapan besar. Kadang kala, ia juga butuh waktu untuk dapat mengisi drum-nya karena ikan-ikan bersembunyi di kedalaman. Namun untuk hari ini, rasanya ia mendapat tangkapan besar sehingga ia tidak perlu berlama-lama menangkap ikannya. Ikan yang akhirnya mencipta senyum di wajahnya setelah berubah menjadi beberapa kalimat dalam draft presentasinya. Tak lama, telepon pun berdering sesuai waktu yang telah ia perkirakan.

“La! Cepat ke ruang meeting!” suara Hendra terdengar sedikit gusar.

“Oke!” ujarnya singkat.

Ia mencetak hasil kerjanya dan bergegas menuju ruang meeting. Berjalan di antara kesibukan rekan-rekannya yang lain. Mereka terlihat pusing karena mungkin memang begitu hakekat bekerja pada sebuah advertising.

Tidak ada yang memperhatikannya secara spesial ketika ia datang ke ruang meeting kecuali Satya. Bahkan Hendra yang tadi meneleponnya untuk bergegas datang malah sibuk dengan laptopnya. Ia mencari kursi kosong, tapi hanya mendapati Satya yang melambai. Rupanya, Satya sudah menyediakan kursi untuknya dan itu selalu di sebelahnya.

“Gimana, kelar?” tanya Satya.

Ia hanya melirik ke berkas yang ia bawa, sebuah kode akan jawaban pertanyaan Satya. Ia telah menyelesaikannya deadline.

“Wih!” Satya mengecek berkas tersebut dan membaca isinya.

Satya hanya mengangguk-angguk ketika membacanya, pertanda ia menyukai apa yang telah ditulis. Satya pun sudah terbayang bagaimana nanti ia mengambil foto untuk produknya. Satya beruntung bisa satu tim dengannya.

“Gue yakin, sih, ini ACC!” ujar Satya.

“Nggak, gue yakin Hendra nyuruh gue revisi dikit!” malah ia sendiri yang tak yakin.

“Buat riweh aja, tuh, Si Botak! Lagian, ya, udah saatnya lo itu gantiin posisi dia. Belakangan ini lo jauh lebih perform daripada dia!” dumel Satya.

Ia hanya tersenyum menanggapi, ia tak pernah berpikir untuk menggantikan atau menjabat posisi apapun dalam urusan karir. Ia hanya ingin menikmati apa yang sedang ia jalani saat ini. Meskipun bukan cita-citanya menjadi seorang copy writer, tapi ia mencintai pekerjaan ini. Ia bahkan mulai melupakan mimpinya menjadi seorang diplomat seperti mendiang ayahnya dahulu.

*

Namanya Laut, nama yang tentunya membuat orang-orang yang baru berkenalan dengannya selalu memuji namanya. Laut menyukai makanan laut, tapi tidak terlalu suka pada angin laut yang sering membuatnya masuk angin. Perempuan dua puluh empat tahun itu hobi berpetualang. Sejak kuliah hingga saat ini, ia sering ikut dalam ekspedisi pendakian gunung bersama komunitasnya. Laut yang menyukai gunung tapi tidak menyukai angin laut, berarti ia tidak betah berlama-lama di lautan.

Laut adalah kumpulan sifat antithesis yang secara ajaib saling bertaut membentuk manusia rupawan. Ya, Laut termasuk perempuan cantik yang cukup mudah membuat pria tertarik. Namun, ia tidak menggunakan kelebihannya itu dan memilih tetap single beberapa tahun belakangan ini setelah hubungan terakhirnya. Ia menghiraukan berbagai spesies pria yang mendekatinya sehingga mereka perlahan memilih mundur dan menyisakan Satya di garis terdepan. Namun rasanya untuk asmara, Satya akan bernasib sama dengan spesies sejenisnya. Laut mencipta batas yang tak dapat Satya selami lebih dalam perasaannya.

 Lagi-lagi, dengan meyakinkan Laut berhasil mengarahkan tepukan tangan kepadanya. Chandra Utama, selaku dirut yang namanya menjadi nama resmi perusahaan ini terlihat puas. Hal itu karena client mereka yang juga terlibat dalam meeting ini begitu antusias untuk siap menjalankan campaign promosi yang telah Laut rancang tersebut. Jabatan tangan pun tertaut antara Chandra Utama dan client mereka, meeting usai dengan menyenangkan.

Satya terus mengoceh tentang idenya selepas meeting, Laut hanya menyimak tanpa meresapi setiap apa yang Satya katakan. Baginya itu bukan lagi tanggung jawabnya. Kecuali Chandra Utama memintanya untuk terlibat lebih jauh dalam project tersebut.

“La!” terdengar suara Hendra, head project andalan Chandra Utama. Laut dan Satya menoleh bersamaan.

Congrates, ya!” Hendra mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Laut menyambutnya dengan dingin.

“Makasih.”

“Oh, ya, La! Meskipun client kita dan Pak Chandra suka, gue minta sedikit revisi ya, untuk tema umbrella campaign-nya!” ujar Hendra sambil sok fokus membaca kembali berkas dari Laut.

“Eh, sorry! Maksudnya gimana? Kalau revisi umbrella campaign bukannya revisi semua aspek yang Laut desain, dong?” Satya yang menyahut.

“Ya, nggak juga. Intinya eksplor lagi kalimatnya biar brand awareness-nya lebih kuat. Jangan terlalu jauh melenceng dari komunikasi produk mereka yang sebelumnya. Mereka brand besar, lho! Main aman aja!” saran Hendra.

“Main aman gimana?” tanya Laut.

Hendra mengembalikan berkas Laut. Hendra tampak sejenak berpikir, tapi rasanya ia pun tidak mendapat ide apa-apa.

“Nanti gue kirim iklan-iklan mereka, deh! Lo bedah lagi, ya!” Hendra melengos pergi secara dramatis dengan meninggalkan pertanyaan yang tidak dapat ia jawab.

“Maunya apa, sih, orang itu?” Satya kesal sendiri.

“Dia itu memainkan bakat terbesarnya!”

“Apaan?”

“Cari muka.”

“Maksudnya?” Satya bingung.

“Dia akan memaksa setiap konsep yang udah disetujui dirombak dikit dengan alasan biar lebih oke, lah, lebih keren, lah! Ketika gue udah mengikuti maunya dan working, dia akan dengan sombong mengakui ke Pak Chandra kalau itu inisiatifnya. Tapi kalau failed! Dia akan sok marah-marah dan menyalahkan keputusan yang sebenarnya dia yang buat itu ke gue!” jelas Laut.

“Kalau gitu, jangan ikutin maunya!” saran Satya.

Laut tersenyum sinis, “Sayangnya gue belum punya kuasa buat langgar kemauan head project!” Laut kembali ke mejanya dengan sedikit kesal. Hal yang selalu rutin terjadi kepadanya selepas meeting. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena Hendra.

Laut sejenak lupakan pekerjaanya dan membuka tab browser pada sebuah forum diskusi komunitasnya. Dari berbagai macam ocehan yang ia baca, ia tertarik dengan ide dari Mas Ponco, salah satu senior di komunitasnya. Ia melempar opsi untuk tujuan pendakian mereka tiga bulan dari sekarang. Gunung Agung di Bali.

“Kejauhan!” komen pertama masuk dari Juno, salah seorang anggota komunitas.  

Laut pun dengan cepat nimbrung dalam obrolan itu. Bali bukan ide yang buruk. Selain mendaki, ia pun bisa sedikit refreshing di tanah surgawi itu. Ia sudah merasa penat dengan Jakarta.

“Seru, nih, kalau kita ke Bali aja!” Laut telah mengirim komennya.

Tak lama berselang berbagai komentar muncul. Laut adalah daya tarik dari komunitas tersebut. Jika Laut sudah setuju kemana tujuan pendakian, niscaya pendakian itu pasti terlaksana. Laut pun selalu tergelitik dengan setiap respon dari anggota komunitas lain.

“Bener juga, tuh. Ayo kita ke Bali!” sahut Arwan.

“Oke, jadiin!” komen Panji.

“Oh, maaf tadi gue nggak fokus, gue bacanya Bangka, bukan Bali, ya udah, deh ayo!” Juno komen lagi.

“Ah, bohong aja lo Jun! Giliran Laut setuju lo ikut-ikutan!” sindir Ilham.

“Tau, tuh Si Juno! Nggak punya pendirian!” balas Mas Ponco.

Laut terus membaca setiap balasan yang masuk untuk menyindir Juno, perlahan tawa Laut terdengar. Setidaknya ini menjadi dopaminnya dari kekesalan terhadap Hendra. Saat tengah asyik ikut berbalas komen di forum tersebut, sebuah personal chat  masuk kepadanya. Itu dari Juno,

Bagaimana aku bisa berdiri pada sebuah pendirian kalau sekarang aku tenggelam di kedalaman lautan?” kata Juno dalam pesan sok puitisnya. Selain Satya di kantornya, Juno menjadi salah seorang lainnya yang belum menyerah untuk Laut.

“Bawa oksigen, kan?” balas Laut.

Terlihat Juno sedang mengetik, “Tenang aja, aku amfibi. Bisa hidup di kedalaman lautan!” balasnya.

“Ya, bersama makhluk lainnya,” balas Laut singkat tapi sudah menjelaskan banyak hal bahwa tidak ada yang spesial dari hubungan mereka.

*

“Ah, shit!” keluh Juno yang membuat Andre, rekannya terkejut.

“Lo kenapa, sih?” tanya Andre.

“Mental lagi gue!” jelas Juno.

Andre melirik pada laptop Juno dimana terdapat chat Juno dengan Laut. Andre membaca dengan cermat, kemudian tertawa dengan berat. Ia tidak enak jika melepas tawanya di depan Juno langsung.

Lihat selengkapnya