Kaca kereta berhias tempias yang membuat pandangan Laut semakin bias. Setiap kelebat pemandangan Jakarta kala hujan menjadi penanda kenangan itu akan kembali menguasai segenap pikirannya. Perlahan, hujan mulai turun semakin deras, tapi kereta selalu terjaga pada kecepatan agar perjalanan segera tuntas.
“La, hujan,” terdengar suara Rama di sebelahnya.
Perlahan Laut membenamkan kepalanya ke dada Rama, menghirup aroma parfumnya yang tercampur aroma asap rokok yang Rama hisap sebelum naik ke kereta. Laut menyukai aroma itu. Suatu aroma khas yang hanya ia temukan pada tubuh Rama.
“Jakarta hujan lagi, setiap ruko menjadi payung bagi tukang ojek dan kurir ekspedisi. Orang-orang di kereta terpaku pada basah di jendela dan seorang penyair memeluk kekasihnya yang tengah mencicipi mimpi. Semua dibuainya dengan cara yang berbeda, hingga kelak ketika reda tiba. Semua yang dekat, perlahan lesap,” Rama membisikkan puisi pada Laut yang sedang menuju lelap.
“Perhentian selanjutnya, Stasiun Depok Baru!” terdengar notifikasi di kereta yang menyadarkan Laut dari tidur sesaatnya. Ia hanya terlelap tidak sampai lima menit. Laut mengamati sekeliling dan tak ia temukan Rama, hanya ada dua orang dalam gerbong yang sama dengannya. Ia telah bermimpi tentang masa lalunya. Kereta berhenti saat hujan hanya menyisakan gerimis yang terasa akan panjang. Laut langsung memesan taksi online untuk menuju distro Mas Ponco.
Sekitar dua puluh menit, Laut tiba di distro Mas Ponco. Ia melihat Mbak Wati, istri Mas Ponco yang sedang sibuk mengecek display sepatu trekking. Mbak Wati menyadari kedatangan Laut dan membukakan pintu distro, ia terenyum dan memberi pelukan kepada Laut.
“Hei, La! Udah lama nggak ke sini?” sambut Mbak Wati ramah.
“Kerjaan numpuk, Mbak. Maklum lah, masih junior di kantor. Disuruh handle sana sini melulu!”
“Tapi keren, lho, kamu! Itu kan, advertising besar, La!” puji Mbak Wati.
“Beruntung aja bisa keterima di situ. Dulu awalnya kan, iseng-iseng gara-gara nggak keterima di Kemenlu!” Laut sedikit terkekeh mengingat momen itu.
“Ya itu namanya jalan hidupmu. Kamu syukuri, deh! Kadang nggak semua impian perlu dijalani, kan?”
“Agree, that’s life!”
Mas Ponco yang tampak sibuk dengan ponsel tabletnya menghampiri mereka berdua. Ia menatap Laut dengan perasaan yang getir jika menyangkut hubungannya dengan Rama. Ia merasa bersalah kepada Laut karena hubungan mereka terjadi berkat Mas Ponco yang mengenalkan mereka satu sama lain.
“Mas,” sapa Laut.
“Eh, kalian mau bahas soal ke Bali?” tanya Mbak Wati yang tak mengetahui apapun soal yang terjadi tadi pagi terhadap Laut.
Laut hanya menatap Mas Ponco agar Mas Ponco memberi jawaban, “Ya, begitulah! Kalau nggak dikoordinir dari sekarang, anak-anak nggak akan gerak!” ujar Mas Ponco.
“Oke, aku buatin minum ya!” Mbak Wati pamit kepada keduanya.
“Eh, Mbak, nggak usah repot-repot!” Laut segan.
“Santai!” Mbak Wati meninggalkan pekerjaannya dan menuju pantry.
“La, kita ngobrol di office!” ajak Mas Ponco sambil berjalan menuju ruangannya. Laut mengekor di belakang.
*
Mas Ponco menyadari betul sebesar apa kehilangan Laut terhadap Rama. Bahkan bisa dikata, kehilangan Rama lebih terasa bagi Laut daripada kehilangan ayahnya yang meninggal ketika Laut masih enam tahun. Mas Ponco memahami betul bagaimana Laut mencintai Rama. Begitu tulusnya Laut hingga menerima Rama dengan segala kejutan-kejutan misterius yang menimpanya.
Kini, dua orang yang pernah menjadi ikon utama Jejak Hijau itu tak lagi utuh. Laut dan Jejak Hijau bersama anggota senior lainnya memiliki kehilangan besar pada sosok Rama. Hingga pada pagi tadi, sebuah isu yang tengah Mas Ponco telusuri terkait Rama menjadi topik yang menyita pikirannya. Apa Rama telah benar-benar kembali?
“Setelah berbagai cara kita lakukan untuk cari dia, apa lo yakin itu benar-benar Rama?” Mas Ponco memastikan lagi pada Laut.
“Berapa kali pun gue diragukan, gue akan tetap yakin kalau itu Rama, Mas! Gue sempat ngejar dia sebelum dia hilang!”
“Kalau itu benar, berarti konsorium nggak bohong soal Rama!” ujar Mas Ponco yang membuat Laut bingung.
“Konsorium?”
“Maaf ya, sebelumnya, La. Waktu itu gue nggak ngasih tahu lo kalau gue sama beberapa rekan aktivis Rama datang menemui perwakilan konsorium yang dia lawan. Semua itu gue lakukan buat ngejaga lo, takut sesuatu terjadi sama lo!” jelas Mas Ponco.
“…..”
“Kita cuma takut kalau konsorium berbuat yang nggak-nggak ke Rama. Tapi orang dari konsorium bilang mereka nggak ambil pusing sama protes warga karena mereka memiliki legalitasnya sendiri. Intinya Rama dan warga nggak dipedulikan!” lanjut Mas Ponco.
“Maksud Mas Ponco?” tanya Laut.
“Setidaknya nggak ada hal buruk yang menimpa Rama!”
“Tapi itu menimpa gue Mas! Lo tahu, kan, gimana gue berusaha keras buat nyari dia sampai semuanya jadi tinggal harapan? Sekarang di saat gue udah memiliki nyali dan tekad buat melupakan semuanya, tiba-tiba dia datang lagi! Lo ngerti, kan, Mas?” Laut tampak emosional. Tangisnya nyaris pecah.
Mas Ponco hanya menahan napasnya. Ia dapat merasakan apa yang Laut rasakan. Semenjak kejadian itu, Mas Ponco pun diam-diam begerak di belakang Laut untuk mencari Rama. Ia bahkan mendatangi kampus hingga teater Rama, tapi tidak ia dapatkan informasi apapun. Sampai akhirnya, setahun lalu, karena dibebani rasa bersalah terhadap Laut dan amarah kepada Rama yang pergi begitu saja, Mas Ponco datang kembali ke Cirebon, ke kampung orang tua Rama. Di sana selama seminggu ia mencari informasi terkait keluarga Rama. Dari tetangga hingga kelurahan Mas Ponco telusuri sampai ia akhirnya mendapati sanak saudara Rama di perkampungan nelayan. Mas Ponco menemuinya dan mendapat kabar yang tak pernah ia duga sebelumnya. Hingga pada akhirnya ia memilih merahasiakan ini semua kepada Laut.
Mas Ponco menatap Laut dengan iba. Laut telah menangis di hadapannya. Mas Ponco merasa serba salah terhadap perempuan baik ini. Melihat tangis Laut sekarang, ingin rasanya Mas Ponco menemui Rama dan memukulinya hingga sekarat.
Mas Ponco kini menibang banyak hal, memikirkan setiap resiko dan efek psikologis terhadap Laut jika ia harus tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Bantu gue temuin Rama, Mas!” pinta Laut dalam pilu tangisnya.
Mas Ponco sudah tak tahan lagi. Pada akhirnya ia mengetik sesuatu di ponselnya. Sebuah alamat bersama dengan nomor ponsel seseorang dan ia kirim menjadi sebuah pesan ke Laut. Nomor ponsel yang tadi pagi sempat ia hubungi. Dengan begitu, Mas Ponco berharap Laut dapat menemukan jawabannya sendiri. Mas Ponco ingin Laut tahu kenyataannya sendiri, bukan dari orang lain, termasuk dirinya. Adakalanya setiap rahasia terbongkar seiring waktu.
“Datangi alamat atau hubungi nomor yang gue kirim ke lo barusan. Semoga itu bisa menjawab semuanya!” ujar Mas Ponco.
Laut mengecek ponselnya dan mendapati sebuah alamat di Cirebon. Pada sebuah perkampungan nelayan. Laut menatap Mas Ponco dengan matanya yang jernih tercuci air mata selepas membaca pesan itu.
“Pak Suradi siapa, Mas?” tanya Laut.
“Nanti lo tahu, La!” ujar Mas Ponco singkat.
Laut langsung menghubungi nomor tersebut, tapi setelah cukup lama, telepon itu tidak diangkat.
“Kayaknya jam segii dia melaut, La. Dia nelayan!” jelas Mas Ponco.
Laut menyeka air matanya dengan segera, “Apa hubungan orang ini sama Rama, Mas!” Laut penasaran.
“La, dengerin gue! Lo harus tahu semuanya sendiri. Gue juga mau minta maaf sama lo kalau gue bergerak buat nyari Rama di belakang lo. Itu semua gue lakuin untuk mempertanggung jawabkan apa yang gue perbuat. Kalian bisa kenal dan pacaran karena gue yang mempertemukan. Ketika hubungan kalian pada akhirnya harus jadi seperti ini, gue ngerasa bersalah sama lo, La! Awalnya gue mau bawa Rama balik ke lo, tapi setelah gue ketemu Pak Suradi, gue nggak bisa melakukan hal itu!”