Laut tiba di Cirebon tepat pukul dua. Ia turun di sebuah pool bus yang merupakan tempat perhentian akhir bus tersebut. Ia melihat kembali alamat dalam pesan yang diberi Mas Ponco. Jaraknya masih cukup jauh, sekitar 20 km dari tempatnya berada ke desa tempat Pak Suradi tinggal. Laut lantas memesan taksi online untuk mencapai tempat tersebut. Sekitar sepuluh menit menunggu, taksi yang Laut pesan datang dan membawa Laut ke tempat yang sama sekali belum pernah Laut kunjungi.
Juno masih sigap mengikutinya. Meskipun lalu lintas cukup padat dan sempat mencipta jarak antara taksi Laut dan Juno, tapi Juno perlahan dapat mengejar taksi Laut hingga daerah Pantura telah terlihat. Ini pun kali pertama Juno mengeksplorasi Cirebon. Konyolnya ia ke kota ini dengan menguntit seseorang demi cinta. Sungguh pengalaman yang unik untuk ia ceritakan.
Udara panas terasa di hari yang terik itu meskipun mobil Juno full AC. Sambil tetap fokus membuntuti Laut, Juno menikmati pemandangan yang jarang ia temukan di Jakarta. Ia melihat banyak antena TV tabung di setiap rumah di sepanjang jalan ini. Antena yang dipasang pada sebuah tiang bambu atau kayu yang cukup menarik baginya. Ia merasa kembali ke tahun 90-an saat melewati jalanan ini, dimana televisi merupakan benda terpenting yang harus ada di setiap rumah. Benda yang menyatukan keluarga untuk berkumpul bersama. Benda yang menjadi pusat dari semua informasi untuk selanjutnya menjadi tajuk dalam setiap perbincangan di penjuru negeri.
Juno tiba-tiba merindukan keluarganya yang tinggal di Sumatera. Ia sudah terlalu lama tidak pulang ke sana. Selain kuliah, ia pun sibuk berkegiatan bersama Jejak Hijau yang membuatnya menemukan suatu fokus baru selain kuliah untuk ia selesaikan, perasaannya terhadap Laut. Bayang nostalgia dalam bingkai nuansa 90-an itu mendadak usai setelah taksi online yang Laut tumpangi masuk ke sebuah gang yang menuju pada perkampungan. Juno memelankan lajunya agar jaraknya dan Laut tetap aman terjaga. Selain itu, tampaknya taksi online itupun tengah mencari sebuah alamat yang hendak Laut tuju. Hingga akhirnya taksi itu berhenti dan menurunkan Laut di depan sebuah toko. Juno segera membelokan mobilnya ke sebuah balai desa yang tak jauh dari situ. Ia akan mengikuti Laut dengan berjalan kaki.
*
Laut memutuskan singgah di toko tersebut untuk menanyakan alamat rumah Pak Suradi. Tampak seorang anak kecil di depan toko yang sedang memperbaiki layangan. Begitu melihat Laut, anak itu memanggil ibunya yang ada di dalam,
“Mak, ada yang mau beli!” suaranya nyaring dan lantang, membuat Laut tersenyum.
Ibu penjaga toko datang dengan wajah kantuk, sepertinya barusan ia tertidur. Ia segera melayani Laut dengan ramah,
“Beli apa, Mbak?” tanya ibu tersebut.
“Saya beli air mineral aja, Bu!” ujar Laut sambil mengambil sebotol air mineral yang dipajang dan membayarnya.
“Mbak bukan orang sini, ya?” tanya ibunya sambil menyiapkan uang kembalian untuk Laut.
“Iya, Bu, saya dari Jakarta!”
“Jakarta? Di sini mau ke tempat siapa?”
“Ibu tahu rumah Pak Suradi?”
“Oh, Pak Suradi! Nggak jauh, kok, dari sini, masuk gang kecil di depan situ, tapi ya kayaknya kalau jam segini dia masih di pelelangan ikan!” ibu tersebut menunjukkan arah rumah Pak Suradi.
“Mbak siapanya, ya?” tanya ibu itu lagi.
“Saya…” Laut tampak bingung mencari alasan, tapi dengan cepat ide kreatifnya muncul, “Saya mahasiswa, Bu! Mau penelitian soal kehidupan nelayan!”
“Oalah, sering, lho, Mbak, mahasiswa datang ke kampung ini. Tujuannya hampir sama kayak Mbak!” jelas ibu tersebut.
“Oh, ya?” Laut terlihat lega karena alasannya tepat.
“Tapi hati-hati, ya, kalau berhubungan sama Pak Suradi, Mbak!” ibu tersebut tampak sedikit cemas.
“Lho, emang kenapa, Bu?” Laut sedikit terkejut.
“Ya nggak apa-apa, sih. Pak Suradi itu baik, cuma dia dalam pengawasan ketat orang-orang suruhan pejabat!”
“Maksudnya?” Laut semakin bingung.
“Nanti Mbak tahu sendiri, kok. Tapi ya nggak apa-apa, jangan takut, Mbak. Aman, kok, Pak Suradi itu salah satu tokoh masyarakat yang dihormati!”
Laut hanya mengangguk mendengar cerita ibu tersebut. Setiap cerita ibu penjaga toko itu membuat Laut menarik kesimpulan terhadap Rama.
“Eh, Mbak, biar diantar anak saya saja, ya, ke rumah Pak Suradi!” ibu itu menawari.
“Nggak usah, Bu, ngerepotin adeknya!” Laut sungkan.
“Ah, nggak, kok, Mbak!” ibu tersebut lantas menyuruh anaknya mengantar Laut ke rumah Pak Suradi. Bocah laki-laki yang ditaksir berusia 10 tahun itu langsung mengkode Laut untuk mengikutinya. Laut pun menurut saja setelah mengucapkan terima kasih banyak kepada ibu pemilik toko tersebut.
Laut mengekor anak tersebut dari belakang, melewati gang sempit yang hanya bisa dimasuki sepeda motor. Hal yang menarik perhatian Laut sejak sampai di desa ini adalah banyaknya poster-poster lama pejabat yang dari partai tertentu yang Laut ingat betul bahwa partai tersebut adalah partai yang pejabatnya sering Rama kritisi. Pemandangan ini pun pernah ia temui, bahkan jumlahnya lebih banyak dari yang Laut lihat di sini saat dahulu ia dan Mas Ponco mendatangi Rama ke rumahnya.
Berjalan sekitar lima puluh meter, Laut sampai ke sebuah rumah sederhana dengan aneka hiasan kerang menggantung di teras. Jantung Laut kembali berdebar saat hendak bertamu ke rumah itu. Untuk beberapa saat, Laut hanya menatap rumah yang tampak sepi itu.
Anak yang mengantar Laut mengalihkan perhatian Laut ketika ia hendak pamit. Sebelum pergi, ia memberi anak itu uang kembalian dari ibunya tadi, membuat anak itu senang bukan kepalang dan meninggalkan Laut dengan perasaan riang. Kini Laut kembali menatap rumah itu, menimbang berbagai keputusan dan menenangkan dirinya untuk sekadar mengetuk pintunya. Ia mulai melangkah setelah membulatkan tekadnya. Ia butuh kepastian itu saat ini juga.
Laut mengetuk pintunya dan terdengar suara seorang perempuan dari dalam. Beberapa saat menunggu, pintu terbuka dan menampilkan seorang perempuan muda yang menatap Laut dengan asing.
“Cari siapa, Mbak?” tanya perempuan tersebut.
“Pak Suradi ada?” tanya Laut.
“Oh, Mbak mahasiswa yang dari Bandung itu, ya?” tanya perempuan itu balik.
“Sebenarnya saya dari Jakarta!”
“Jakarta? Katanya yang mau PKL di sini dari Bandung?” perempuan itu tampak heran.
“Saya bukan mahasiswa, Mbak!” ujar Laut lagi. Perempuan itu terlihat bingung dan mencoba menerka siapa Laut.
“Mbaknya dari serikat nelayan?” tanya perempuan itu lagi karena ia tahu betul bahwa tamu dari luar kota Pak Suradi adalah mahasiswa dan serikat nelayan.
“Bukan juga, kenalin, nama saya Laut!” Laut tersenyum sembari menjulurkan tangannya.
“Laut?” perempuan itu tampak terkejut. Ia tidak menyambut tangan Laut.
“Saya mau nanya ke Pak Suradi soal Rama!” Laut pun mengutarakan maksudnya.
“Mas Rama?” perempuan itu tambah terkejut.
“Iya, bisa saya ketemu sama Pak Suradi?”
“Maaf, Mbak, Bapak belum pulang!” perempuan itu hendak menutup pintu tapi Laut menahannya.
Laut memohon agar perempuan itu mau berbicara dengannya dan mempertemukannya dengan Pak Suradi, “Mbak, tolong saya! Saya butuh ketemu Pak Suradi!”
“Kami sekeluarga sudah cukup berurusan sama Mas Rama dan keluarganya!” tegas perempuan itu.
“Ada apa sebenarnya dengan Rama, Mbak? Saya butuh tahu semuanya, dia pergi begitu saja meninggalkan saya!”
“Marni!” terdengar suara seseorang lelaki yang baru datang. Laut melihat seorang lelaki paruh baya membawa sebuah jaring ikan bersama perempuan yang Laut terka adalah istrinya.
“Bapak, ini Laut dari Jakarta!” jelas perempuan bernama Marni itu. Lelaki tersebut tampak terkejut dan menatap Laut dengan tajam, wajahnya tampak terlihat gusar.
“Untuk apa Mbak ke sini?” tanya lelaki itu.
“Anda Pak Suradi?” tanya Laut.
“Kalau masalah Rama, saya tidak bisa bantu!”
Laut langsung menghampiri lelaki paruh baya yang rupanya Pak Suradi tersebut. Ia memohon kepadanya untuk membantunya menemukan Rama, “Pak, tolong sekali ini saja bantu saya ketemu Rama. Saya nggak tahu kemana lagi saya harus minta tolong selain ke Bapak!” Laut mulai memohon, hal itu menarik perhatian beberapa tetangga Pak Suradi.
“Kalau kamu mau hidupmu selamat dan jauh dari masalah, jauhi anak itu!” perintah Pak Suradi.
“Tapi saya perlu tahu, Pak, apa yang terjadi sama Rama? Saya butuh penjelasan! Dia pergi begitu saja ninggalin saya. Tanpa kejelasan, tanpa kepastian, bayangin kalau anak bapak diperlakukan gitu!” Laut makin emosional. Pak Suradi makin bingung menhadapi Laut, ia menatap istrinya yang tampak mengiba kepada Laut.
Laut menjatuhkan dirinya dan berlutut di hadapan Pak Suradi, ia mencengkram erat tangan Pak Suradi, menatapnya dengan mata yang berkaca, “Pak, tolong saya, Pak. Saya butuh ketemu Rama!”
Pak Suradi tak bisa berkata apapun lagi, ditambah istriya meminta Pak Suradi untuk membantu Laut membuat hatinya terenyuh juga. Ia membantu Laut bangkit dan mau mengantar Laut untuk menemui Rama.
*
Dari dermaga, Pak Suradi mengantar laut dengan perahu cadiknya menuju sebuah pulau dimana Rama tinggal. Rupanya selama ini Rama tinggal di sebuah pulau terpencil di seberang desa nelayan. Pak Suradi mengatakan bahwa ia hanya akan mengantarnya sampai tepi pantai, kemudian ia akan menunggu di situ. Suara mesin kapal dan ombak yang tercipta karena laju perahu menciptakan suara khas yang hinggap pada daya dengar Laut. Pak Suradi tak berbicara banyak kepadanya perihal Rama. Ia hanya fokus mengemudi perahunya ke sebuah pulau yang sudah tampak di pelupuk mata.
Debar jantung Laut tak karuan. Berdebar keras seperti ombak ganas yang menerjang karang. Laut merasa getir, ia pun merasa takut dan cemas. Ia takut Rama telah berbeda dan bukanlah Rama yang ia kenal dahulu. Laut berusaha dengan segenap jiwanya menguatkan hati untuk menerima segala kemungkinan yang terjadi kepadanya.
“Maafkan perlakuan saya tadi!” suara Pak Suradi terdengar di antara desing suara mesin perahu.
Laut menoleh ke Pak Suradi, “Saya yang minta maaf, Pak. Saya begitu saja datang ke sini padahal Bapak sudah nggak mau berurusan dengan Rama!”
“Saya punya alasan yang kuat, Mbak!” ujar Pak Suradi dengan tatap yang misterius.
“Saya boleh tahu alasannya?” tanya Laut.
Pak Suradi terlihat resah. Air wajahnya menunjukkan rasa bersalah. Ia menghela napas untuk menenangkan gejolak yang tak dapat Laut terka.
“Kalau Pak Suradi nggak mau cerita, nggak apa-apa. Saya udah siap, kok, nerima semua yang terjadi nanti!” ujar Laut.
Pak Suradi masih tampak berpikir, ia mengamati Laut yang terlihat risau. Ia menyadari Laut bukanlah pencari masalah. Laut hanya butuh kejelasan dari semua hal yang terjadi di hidupnya ketika menyangkut Rama.
“Rama itu keponakan saya, almarhumah ibunya adalah Mbakyu saya!” ujar Pak Suradi yang membuat tatapan Laut kembali mengarah kepadanya.
“Tapi kenapa Pak Suradi benci sama Rama?”
Pak Suradi menggelengkan kepalanya, “Saya tidak benci Rama. Saya hanya melindungi keluarga saya!”
“Melindungi dari apa, Pak?”
“Musuh Rama!” tegas Pak Suradi.
“Kenapa musuh Rama berurusan dengan Bapak?” Laut makin penasaran.
“Bukan dengan saya saja, tapi dengan semua warga di kampungnya. Itu yang buat sekarang Rama dan keluarganya terasing di pulau itu!” jelas Pak Suradi lagi.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak?” Laut makin penasaran.
Pak Suradi terdiam, ia tampak memelankan laju kapalnya karena pulau tersebut sudah dicapainya. Ia mengeluarkan dayungnya dan mulai mendayung ke tepi pantai.
“Nanti Mbak Laut tanya sama istrinya!” ujar Pak Suradi yang seketika membuat hati Laut luluh lantah.
“Istri? Istri siapa, Pak?” Laut ingin memastikan apa yang Pak Suradi katakan.
“Mbak Laut ikuti jalan setapak yang tersambung ke dermaga itu. Rumah Rama ada di ujung jalan itu!” hanya itu jawaban Pak Suradi.
“Rama tinggal sama siapa di situ, Pak?” Laut penasaran setengah mati.
“Keluarganya!” ucap Pak Suradi singkat.
“Keluarganya siapa? Rama sudah menikah?” tangis Laut hampir pecah.