Selepas hari yang berat tersebut. Laut menghabiskan waktunya di kamar karena masih ada satu hari izin cutinya. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya yang seharian kemarin terbengkalai. Hendra sudah senewen dari kemarin karena ia sama sekali tidak menerima report dari Laut. Namun semenjak teguran dari Pak Chandra, Hendra sedikit lunak kepada Laut. Jadi dumelannya kali ini cenderung lebih ke panik, tanpa menyalahkan Laut seperti biasanya. Berjam-jam ia mendesain campaign untuk produk yang ia pegang, ia tak menghiraukan berbagai pesan di ponselnya. Baik personal maupun dari grup Jejak Hijau yang akan melaksanakan pendakian ke Bali beberapa bulan dari sekarang.
Tepat ketika azan dzuhur berkumandang, Laut menghentikan setiap aktivitasnya. Ia meregangkan otot dan sarafnya yang kaku karena dari selepas subuh ia akrab dengan laptopnya. Ia bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan ke balkon kamarnya. Menghirup udara siang bolong yang masih dapat Laut rasakan semilir anginnya. Laut tampak iseng mengamati sepanjang jalan komplek dari kamarnya yang ada di lantai dua. Ia curiga kalau Juno masih menguntitnya.
Perlahan senyum Laut mengembang, mengingat hal yang Juno lakukan kepadanya kemarin. Mengikutinya dari Jakarta ke Cirebon. Itu bukanlah sikap biasa dari seorang lelaki yang jelas-jelas Laut tahu bahwa ia menaruh hati. Laut sadari, Juno tengah mencari simpatinya setelah banyak caranya gagal. Sebenarnya semua usaha Juno sebelumnya terhalang oleh harap Laut yang masih mendamba Rama. Tapi sekarang, Laut telah mengetahui semuanya dan sudah ia relakan yang terjadi pada hubungannya dengan Rama. Namun bukan berarti ia akan langsung membuka hatinya untuk orang yang baru. Hati Laut masih butuh waktu untuk sembuh setelah baru bebas dari tawanan cinta yang kokoh.
Junior Fernando, itu namanya. Laut mengingat pertama kali ia membaca tujuan bergabungnya Juno di formulir pendaftaran komunitas Jejak Hijau. Tujuan: Saya ingin menjaga kelestarian alam. Baik alam manusia atau alam gaib. Hal yang cukup membuat laut tergelitik karena Juno hanya satu-satunya orang yang mengisi kolom tujuan bergabung di komunitas tidak klise.
Lalu Laut mengingat ketika pertama kali ia melakukan technical meeting bersama member baru komunitas Jejak Hijau. Juno ada di situ. Itulah pertama kali mereka berkenalan. Laut tidak terlalu ingat sejak kapan Juno mulai menggodanya, tapi Juno adalah member baru yang paling sering menghubunginya. Bertanya ini itu soal Jejak Hijau dan dijawab Laut dengan singkat, padat dan jelas. Laut menjaga jarak antara dirinya dan Juno agar ia tidak terlibat relasi khusus baik dengannya atau member manapun setelah Rama. Saat itu, selain Laut masih berharap Rama kembali, ia pun masih sedikit trauma menjalin hubungan spesial dengan teman sekomunitas. Namun Juno selalu banyak akal. Ia sering melempar joke lewat pesan ketika ia kehabisan topik tentang Jejak Hijau untuk dibicarakan. Laut selalu menanggapinya dengan dingin, tapi Juno tidak pernah menyerah. Dalam beberapa pendakian pun Juno selalu mendekati Laut. Alasannya adalah menjaga Laut, padahal semua orang tahu kalau Laut jauh lebih berpengalaman ketimbang Juno. Sampai pada akhirnya beberapa waktu belakangan, Juno beruBah menjadi sok puitis. Laut berpikir mungkin Juno tahu dari Mas Ponco soal Rama, karena itu Juno mati-matian meniru persona Rama, meskipun cara itu gagal juga. Saat itu tidak ada yang mampu menggantikan Rama dan puisi-puisinya dalam benak Laut.
Kini semuanya telah berbeda. Semenjak kejadian kemarin, meskipun Laut sempat marah kepada Juno yang mengikutinya diam-diam, tapi Laut cukup lega ketika ada Juno yang mengantarnya pulang. Ia tidak bisa bayangkan kalau ia harus sendirian di Cirebon menghabiskan malam karena tentu akan sulit mendapat tiket langsung ke Jakarta saat itu. Laut menyadari kesalahannya dengan memarahi Juno dan meninggalkannya tidur sampai Jakarta karena lelahnya. Laut berpikir bahwa ia harus minta maaf pada Juno.
Laut kembali masuk ke kamarnya. Sejenak ia mengecek ponselnya. Bukan urusan pekerjaan atau pesan dari Juno dan Satya yang ia buka, melainkan pesan dari Mas Ponco. Laut pun berpikir harus meminta maaf juga kepada Mas Ponco karena ia terlalu emosi saat Mas Ponco menutupi informasi yang ia tahu tentang Rama kepadanya. Padahal Mas Ponco melakukan itu untuk menjaga Laut dari masalah yang mungkin bisa terjadi jika ia berhubungan dengan Rama.
“La, gue minta maaf ya, kalau gue nutupin semua soal Rama. Gue juga minta maaf kalau udah ngirim Juno buat ngejaga lo! Mungkin kita bisa ketemu, sekalian bahas soal Bali!” isi pesan Mas Ponco.
Laut segera membalas pesannya, “Oke, Mas. Gue juga minta maaf kalau gue kemarin terlalu emosional. Besok malam habis pulang kerja, kita ketemu, deh!”
*
Alunan lagu keroncong dari vinyl yang dimainkan membuat suasana kafe ini begitu klasik. Kafe dengan tema vintage ini dipilih Mas Ponco yang selalu disindir mempunyai selera old school di komunitas. Namun Mas Ponco tidak peduli, ia memang tergila-gila dengan berbagai benda bersejarah. Mulai sepeda, motor, perangko, kaset tape recorder, hingga kamera. Mas Ponco menunjukkan sebuah kelas tersendiri dari lingkungan pergaulannya. Meski old school merupakan kata yang akrab dengannya, tapi semua orang menghormati Mas Ponco. Ia yang bertahun-tahun memegang kendali utama atas Jejak Hijau sepeninggal Rama. Tanpa pernah sekalipun ia mendeklarasilan, semua member di Jejak Hijau menganggapnya ketua.
Malam ini, di sebuah kafe di bilangan Kota Tua, Mas Ponco meminta beberapa pengurus utama Jejak Hijau untuk datang. Tinggal Laut yang belum datang dari lima orang yang Mas Ponco undang. Di meja itu, Juno sudah tampak mengosongkan kursi di sebelahnya. Ia tidak membiarkan Rian, Ilham dan Vero untuk duduk di situ. Jelas Laut harus ada di sebelahnya. Begitulah Laut, selalu ada orang yang menyediakan tempat untuknya. Baik di kantornya maupun dalam komunitasnya.
“Emang Laut bakal datang?” tanya Vero.
“Datang, kok, dia udah gue WA!” jelas Mas Ponco sambil fokus pada laptopnya.
“WA lo dibalas, Mas?” tanya Juno.
“Ya iya, lah!”
Mendengar jawaban Mas Ponco, wajah Juno tampak cemberut. Ia mengecek ponselnya dan mendapati pesannya sama sekali belum Laut baca.
“WA lo nggak Laut balas?” tanya Ilham yang melirik pada ponsel Juno.
Juno cepat-cepat menutup kembali ponselnya. Ilham tampak tertawa kecil meledek Juno diikuti Vero dan Rian. Juno mengalihkan fokusnya pada minuman yang ia pesan. Meneguknya dengan rasa sedikit kesal.
“Laut masih dingin aja sama lo setelah apa yang lo berdua lalui?” tanya Mas Ponco.
“Emang ngapain mereka?” sahut Vero.
“Kemarin, kan, jalan-jalan ke Cirebon!” jelas Mas Ponco.
“Wah, kalau gue, sih, udah gue tembak tuh, Si Laut. Kapan lagi punya waktu seharian jalan-jalan berdua!” sindir Ilham.
“Siapa yang jalan-jalan, sih? Yang ada malah marah dia sama gue!” gerutu Juno. “Gara-gara lo tuh, Mas nyuruh gue ngikutin dia!” ujar Juno lagi pada Mas Ponco.
“Oh, jadi kemarin lo sampai ke Cirebon karena terpaksa?” tanpa Juno ketahui, Laut sudah datang dan berdiri di depannya. Teman-temannya sukses mengerjai Juno.
Apes, Laut meyuruh Vero bergeser ke tempat yang khusus Juno sediakan untuknya. Alhasil, Vero yang malah bersebelahan dengan Juno. Hal yang lagi-lagi membuat Juno mendengus kesal.
“Meeting belum mulai, kan?” tanya Laut.
“Belum, lah, kan, nunggu lo!” ujar Mas Ponco yang kemudian langsung memimpin rapat persiapan pendakian mereka ke Gunung Agung di Bali.
Rapat berjalan dengan serius. Mas Ponco dan Ilham yang sudah pernah mendaki gunung Agung paling banyak berbicara tentang situasi di gunung tersebut. Mereka berdua memperingatkan tentang banyak hal yang harus dihormati di lokasi tersebut karena Gunung Agung termasuk gunung yang sakral bagi masyarakat setempat. Mereka berdua menjelaskan secara rinci dari mulai titik awal pendakian. Pos demi pos sampai ke puncak.
Gunung Agung termasuk gunung api yang masih aktif, tapi meski begitu, jalur pendakian memang dibuka melalui beberapa titik. Mereka memutuskan untuk melakukan pendakian pada malam hari lewat Pura Besakih. Mereka menargetkan sampai di puncak saat matahari terbit karena memerlukan waktu tujuh jam sampai menuju puncak Gunung Agung.
Juno sempat mendebat untuk memikirkan sekali lagi tentang pendakian ke Gunung Agung. Juno merasa Gunung Agung masih cukup berbahaya bagi beberapa member baru mereka. Juno lebih menganjurkan untuk mendaki gunung-gunung di sekitar Jawa Barat saja. Namun usulan Juno ditolak, karena memang menurut voting, Gunung Agung menjadi pilihan utama dari para member komunitas. Juno pun dengan berat hati akhirnya menyetujui meski ada rasa kekhawatiran yang entah mengapa datang semenjak ide tentang Gunung Agung tercetus. Firasatnya tidak enak dan itu tertuju pada orang yang kini diam-diam ia tatap, Laut.
Satu jam berlalu, meeting pun usai. Juno bersama yang lain tampak bercanda di mejanya, sementara Mas Ponco dan Laut mengambil meja lain untuk berbicara berdua. Mas Ponco harus menyelesaikan masalah pribadinya dengan Laut terkait Rama. Masih terlihat raut murung pada Laut. Hal yang normal karena ini baru hari pertama setelah kejadian yang menguras perasaannya terjadi. Laut tengah berproses untuk meninggalkan semua masa laluya bersama Rama.
“La, sekali lagi gue minta maaf, ya, udah ngerahasiain soal hidup Rama!” Mas Ponco serius menatap Laut.
“Iya, gue ngerti kok, Mas, kenapa lo ngambil keputusan itu. Sekarang juga, kan, gue udah tahu semuanya. Langsung dari istrinya!” jelas Laut.
“Lo ketemu istriya?” Mas Ponco terkejut.
Laut mengangguk, “Gue malah tahu semuanya dari istrinya. Di paviliun Rama di pulau terpecil itu. Dia perempuan yang kuat, Mas!”
“Lo sabar, ya, La! Lo juga harus kuat. Rama melakukan ini semua buat kebaikan lo!”
Laut tersenyum getir, “Kalau semua demi kebaikan gue, harusnya dia bilang ke gue. Bukan hilang gitu aja!Tapi ya udah, lah, semuanya nggak bisa diulang, kan?”
“Gue tahu kekecewaan lo!”
Laut hanya tersenyum, sedikit perih masih terasa dalam hatinya. Ia tentu cemburu mengetahui Rama kini telah menikah dan memiliki anak bersama perempuan lain dengan cara yang menyakitkan baginya. Tapi ia telah berusaha ikhlas karena keadaan telah menunjukkan semuanya dengan jelas. Hubungannya bersama Rama memang harus tuntas.
Mas Ponco tiba-tiba memanggil Juno. Juno pun berjalan menghampiri Laut dan Mas Ponco. Lantas Mas Ponco memintanya duduk di sebelahnya, di hadapan Laut. Mas Ponco tersenyum mencurigakan kepada keduanya.
“Jun, lo nanti anterin Laut balik ya!” pinta Mas Ponco.
“Eh, nggak usah, Mas!” Laut sungkan. Sementara Juno tampak riang.
“Ah, udah! Lagian udah malam, naik taksi online mahal, naik kereta nggak aman!” kilah Mas Ponco sambil merapikan laptopnya.
“Lo mau balik, Mas?” tanya Juno.
“Iya, kasihan Mbak Wati sendirian di rumah!” ujar Mas Ponco sambil bangkit dan pamit kepada semua member yang ikut meeting malam itu.
“Lah, kalau lo balik, gue juga balik, lah, Mas!” Vero pun bangkit hendak meninggalkan kafe. Rupaya Ilham dan Rian pun mengikuti Vero sehingga hanya menyisakan Laut dan Juno. Semua ini seperti sudah diatur agar Juno dapat menyatakan cintanya pada Laut. Mereka memang bromance yang pengertian bagi Juno.
“Jadi, La, mau makan dulu?” tawar Juno sambil membayangkan dinner spesial bersama Laut..
“Gue mau pulang juga, deh!” ujar Laut.
“Hah, serius?” Juno tampak kecewa karena momen romantis yang tadi tiba-tiba terlintas di kepalanya soal dinner berdua dengan Laut buyar.
“Besok gue kerja!”
Juno pun tak bisa menahan Laut lagi karena Laut terlihat sudah bersiap untuk meninggalkannya.
“Ya udah, gue antar, kan?” tanya Juno.
“Gue pulang sendiri aja, deh!”
“Tapi, kan, Mas Ponco nitip lo ke gue!”
Laut menatap tajam pada Juno, “Lo pikir gue kunci rumah, dititipin?”
“Lo kunci hati gue, La!” ucap Juno dalam hatinya.
“Gue pulang sendiri aja!” Laut mulai beranjak meninggalkan Juno.
“Eh, La!” Juno membarengi langkah Laut, “Lo harus gue anterin!” Juno meraih tangan Laut dan menuntunnya untuk bersamanya.
“Jun, lo apaan, sih!” Laut tampak risih dan melepaskan paksa tangannya.
“Lo mau gue antar secara formal atau non formal?”
“Maksud lo?”
“Kalau formal, lo ikut gue ke mobil gue, kalau non formal, gue yang ikut lo sampai rumah lo! Naik kereta!”
“Jun, udah, dong! Lo hargai keputusan gue!” pinta Laut.
“La, udah, dong! Lo hargai perasaan gue!” Juno membalikkan ucapan Laut.
“Perasaan apa?” Laut bingung dengan ucapan Juno.
“Perasaan..” Juno tampak berpikir, ia merasa ini adalah saatnya untuk menyatakan cinta kepada Laut. “Ya perasaan gue ke lo!”
“Perasaan lo ke gue?” Laut tambah bingung.
“Gue suka sama lo, La!” kalimat itupun terucap.
Laut yang memang sudah menduga suatu saat Juno bakal menyatakan perasaannya hanya merespon datar “Terus?”
“Ya gue mau kita lebih dari sekadar teman!”Juno memperjelas maksudnya.
“Pacar maksud lo?” tanya Laut.
Juno hanya mengangguk sambil menatap Laut penuh harap. Sementara itu Laut tampak berpikir.Ia merasa Juno terlalu tergesa-gesa mengutarakannya saat ia mengetahui semua apa yang terjadi kemarin. Laut baru mengalami suatu hal besar dalam hubungan cintanya dan hatinya telah menegaskan bahwa ia butuh benar-benar pulih dari luka.
“Gue belum bisa!” tegas Laut.
Perasaan Juno seperti terhantam sesuatu, mungkin itu kereta listrik. Sakit. Namun Juno menjaga agar Laut tidak menyadari rasa sakitnya. Juno berusaha tesenyum meskipun itu tampak terlihat bodoh.
“Ya udah, nggak apa-apa!” ujar Juno singkat. Sesingkat jawaban Laut atas perasaannya.
Laut jelas menyadari kekecewaan Juno, tapi ia merasa akan lebih kejam jika menerima Juno dengan hati yang tak utuh. Ia pun belum merasa memiliki kedekatan dan keterkaitan secara emosional dengan Juno. Laut butuh waktu untuk merasakan cinta Juno kepadanya.
“Maafin gue ya, Jun. Lo tahu, kan, semuanya belum baik-baik aja!” jelas Laut.
“Iya, gue ngerti, kok!” ujar Juno dengan nada kecewa.
“Ya udah, kalau tawaran tadi masih berlaku, gue mau balik sama lo!” Laut mencoba menetralisir suasana. Bagaimana pun ia menghargai Juno sebagai temannya.
Raut kekecewaan Juno perlahan memudar, ia tampak tersenyum lagi. Anggukkan Juno menandakan bahwa tawaran itu masih berlaku. Mereka pun beranjak meninggalkan kafe menuju parkiran. Saat itu meski kecewa, ada sedikit kelegaan di hati Juno. Ia telah mengatakan perasaannya meski tidak terbalas.
*
Laut telah berusaha menjalani hidupnya senormal mugkin. Ia telah mengubur kotak berisi puisi-puisi dan foto-foto ia dan Rama di halaman belakang rumahnya. Ia lebih gila kerja dari sebelumnya. Semua fokusnya kini hanya tertuju pada karirnya. Bahkan kini ia pun berjarak dengan orang-orang yang dekat dengannya di kantor. Laut lebih sering menghabiskan waktu sendiri atau bersama Hendra dan Pak Chandra. Tak ayal, karir Laut pun melesat karena performanya yang apik. Cukup dalam waktu singkat, Laut telah sukses dalam karirnya. Tidak seperti cintanya yang hancur berantakan.
Laut sama sekali tidak ingin dekat dengan siapapun. Tidak seperti perempuan seusianya yang memiliki sahabat dekat, Laut sama sekali tidak membutuhkan itu. Sahabat dekatnya hanya ibunya atau Mas Ponco. Sementara di kantor, ia dan Satya hanya berinteraki ala kadarnya saja dan membuat Satya perlahan mundur dari perburuan atas perasaan Laut. Kemudian Juno, ia tengah fokus dengan kuliahnya. Ia mulai jarang berkomunikasi dengan Laut. Kehidupan yang Laut jalani membuat hatinya perlahan kuat kembali, bahkan terlalu kuat sehingga sulit untuk luluh pada seorang pria yang harusnya ia miliki di usianya ini. Laut benar-benar meninggalkan berbagai hal tentang perasaan di halaman belakang rumahnya. Terkubur bersama semua kenangan tentang Rama.