Bis Kota

Faizal Ablansah Anandita, dr
Chapter #1

Orang Hilang

Namaku Citra, aku memiliki indra keenam sejak kecil. Aku bisa melihat makhluk yang tidak bisa orang lain lihat.

Memang, indigo, atau orang-orang yang memiliki indra keenam sepertiku, jarang dihargai di masyarakat. Mereka menganggap kami seperti manusia dengan kelainan, cacat. Entah mereka menganggap kelebihan kami adalah suatu keburukuan, atau mereka hanya takut berinteraksi dengan makhluk dunia lain, aku tidak tahu. Kota ini pun juga, tidak menghargai orang sepertiku. Namun, Aku tidak begitu memperdulikannya.

Aku adalah pendatang di kota ini, baru beberapa bulan. Bersama ayah dan ibu, aku pindah ke kota ini mengikuti tuntutan pekerjaan ayah. Sekolah SMAku juga baru, begitu juga teman-temanku. Mereka ramah sekali, Tetapi aku yang sedikit menutup diri. Aku takut apabila mereka tau tentang kelebihanku ini mereka akan menjauh. Sebisa mungkin aku berinteraksi dengan mereka, tanpa harus memberitahukan rahasiaku ini. 

Di kota ini, aku tinggal di sebuah rumah dinas kecil di pinggir jalan raya. Didalam rumah itu, tentu ada penunggunya. Seorang nenek tua renta, rambutnya putih terurai menutupi wajanya, cukup seram. Ia sering mondar-mandir di ruang tamu. Rambutnya yang begitu tebal dan acak-acakan membuatku hanya bisa melihat senyum bibirnya. Ia sering tersenyum padaku, sepertinya nenek ini makhluk yang baik. Setiap aku lewat di ruang tamu, ketika kami bertatap muka, nenek itu selalu tersenyum. Ia tidak menganggu, meski aku menghabiskan waktu membaca novel seharian di ruangan itu, Nenek itu hanya mondar-mandir tanpa alasan yang jelas. Sejak kecil aku sudah terbiasa melihat makhluk-makhluk gaib sepertinya. Menurutku, nenek itu tidak berbahaya. 

Karena letak rumahku yang berdekatan dengan jalan raya besar, transportasiku menuju sekolah menjadi begitu mudah. Aku tinggal naik bis baik pulang maupun pergi. Ditambah lagi, diseberang rumahku ada halte bis. Setiap pagi, ayah menyempatkan untuk mengatarkanku ke sekolah dengan mobil dinas. Meski ayah lebih sering mengantarku, tidak jarang aku juga berangkat naik bis ketika ia sibuk. Ketika pulang, hampir selalu aku naik bus dari halte terdekat di sekolah. Anehnya, meski dengan modal transportasi umum yang nyaman seperti itu, tidak ada teman disekolahku yang berangkat atau pulang dengan menggunakan bis. 

Lihat selengkapnya