Setelah hari itu, tidak ada kejadian aneh yang terjadi. Aku masih aman-aman saja ketika menaiki bus. Sampai suatu ketika, aku menaiki sebuah bus yang sangat jelek. Ketika bus itu berhenti, merespon lambaian tanganku, aku bisa melihat bis itu begitu reot dan kumuh. Badan bis itu berkarat dimana-mana, dan suara mesinya begitu keras terdengar. Ketika aku menaiki tangga pintunya, bau busuk langsung menyengat hidungku. Aku sebenarnya ingin mengurungkan niat untuk naik kedalam bus ini, namun kakiku sudah terlanjur melangkah masuk.
Didalam bis itu begitu sepi, hanya ada tiga orang penumpang termasuk aku. Aku kemudian mengambil tempat duduk terdekat dengan pintu, aku tidak tahan dengan bau itu. Bis itu kemudian berjalan pelan, getaran mesinya begitu terasa, menusuk tulang-tulangku, membuatku mual. Ditambah lagi, bau yang semakin tajam itu, rasanya aku ingin muntah.
Bau itu semakin tajam. Kesabaranku sudah habis, aku lalu menoleh ke belakang mencari sumber bau itu. Ternyata bau itu berasal dari mulut seorang kakek tua, yang duduk tepat dibelakangku. Kulit kakek itu dipenuhi bintil-bintil nanah yang meletus-letus. Tangannya, yang tinggal tulang belulang itu, sesekali menggaruk kulit menjijikannya hingga mengelupas, sampai terlihat dagingnya. Kakek itu tidak memiliki mata, namun ia berusaha mengamati kulitnya yang tersangkut di tulang selasela jari, yang ia gunakan menggaruk itu. Sial, ada hantu disini. Segera aku memalingkan pandanganku kembali dan menutup hidung.
Aku tidak percaya dibelakangku ada hantu gentayangan di bis ini. Hantu itu berbau begitu tajam, benar-benar sial hariku ini. Sambil terus menutup hidung, mataku mengedar kesekitar. Apakah penumpang lain juga merasakan bau yang sama? Gumamku. Tapi itu nyaris tidak mungkin, kecuali mereka juga seorang indigo sepertiku.