Jika takdir manusia adalah jalinan benang kusut, perjumpaan adalah setiap tautan. Beberapa renggang dan terlepas tanpa usaha. Beberapa terikat mati tak terurai tarikan bertubi. Dan setelah tarikan kesekian, dua benang yang bertaut, mungkin selamanya terikat pada jalinan yang sama. Pun yang terlepas, akan menyisakan bekas.
Kelindan bual dalam pikiranku buyar. Peluit berbunyi.
Aku merapikan ikatan dasi abu-abuku dan menghirup udara dalam-dalam. Setidaknya, aku tak perlu ragu-ragu menghirup udara dalam-dalam di kota.. kabupaten ini. Begitulah. Sebulan terakhir, aku berusaha menghitung hal-hal baik yang bisa kudapati dari tempat baru ini. Dari situasi baru ini. Rangkat dan kegelisahan pendatang. Aku berhasil mengumpulkan sebelas sejauh ini. Yang pertama, kudapati di hari pertama. Fakta bahwa paman dan bibi adalah orang-orang baik. Jauh lebih baik dari apa yang kuharapkan.
“Semuanya tolong dengarkan! Jangan ada yang berbicara!”
Riuh rendah mereda, dan para murid baru Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Perjuangan memusatkan perhatian ke sumber suara. Seorang kakak kelas laki-laki, bertubuh tegap dan berambut cepak, berbicara menggunakan pengeras suara. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) adalah masa bagi dia dan kawan-kawannya bersinar, dan kami para cecunguk tak tahu apa-apa manut saja diberitahu apa. Aku sendiri memasang muka, mengkondisikan gestur, berusaha menampakkan satu kesan: patuh dan tidak neko-neko.
Panduan Hidup Damai Nomor 5 oleh Budi Mahardika: Jangan pernah cari masalah dengan senior.
“Kalian boleh duduk!”
Bersama gumaman rasa syukur, para murid baru mengambil posisi duduk.
“Setelah ini ada sesi pengenalan lingkungan sekolah. Kak Novita yang akan menjelaskan, tolong disimak baik-baik!”
Kakak kelas laki-laki itu menyerahkan mikrofon yang dipegangnya ke seorang murid perempuan. Kak Novita adalah ketua Organisasi Siswa (OSIS) SMA ini. Aku memastikan mengingat itu saat dia pertama kali mengenalkan diri.
Panduan Hidup Damai Nomor 4 oleh Budi Mahardika: Kenali dan ingat orang-orang penting di sebuah lingkungan.
“Tujuan kegiatan kali ini adalah mengenalkan kalian denah sekolah kita dan mana saja titik-titik yang penting untuk kalian ketahui.” Kak Novita berbicara dengan mantap. “Supaya lebih fun, kita adakan dalam bentuk permainan. Aku hanya akan jelaskan sekali, jadi tolong perhatiannya.
Dalam permainan kali ini, tugas kalian adalah mengumpulkan stempel. Silakan panitia bisa membagikan kertasnya.
Sambil menunggu kertas selesai dibagikan, aku bacakan panduannnya.
Sampai sini bisa dipahami?”
“Bisa, kak!”
Bersama sahutan murid-murid, Danu, murid di sampingku yang tadinya sekelompok denganku pada kegiatan sebelumnya, menyerahkan lembaran kertas yang dibagikan. Aku berterima kasih, tapi kata-kataku tenggelam oleh seruan para murid. Danu mengangguk dan tersenyum.
“Belum selesai di situ. Sebagaimana bisa kalian dapati di kertas yang kalian terima, bukan tujuh, tapi ada delapan petunjuk yang tersedia.”
Aku memperhatikan kertas yang kupegang dan langsung mencari petunjuk nomor delapan.
“Petunjuk nomor delapan adalah tugas alternatif yang bisa kalian ambil. Seperti yang bisa kalian baca, petunjuk nomor delapan lebih susah ketimbang petunjuk-petunjuk lainnya.”
Sebagian murid baru bergumam.
“Tolong perhatiannya!”
Gumaman terhenti.
“Keistimewaan petunjuk nomor delapan adalah, kalau bisa memecahkannya dan mendapatkan stempel dari Master lokasi tersebut, kalian tidak perlu mengumpulkan tujuh stempel yang lain.”
Riuh rendah para murid baru membuncah. Aku memijat-mijat daguku. Ini menarik.
“Baiklah, itu saja panduan dari permainan kali ini. Good luck buat kalian.”
Kak Novita menyerahkan kembali mikrofon ke kakak kelas laki-laki berambut cepak itu.
“Terimakasih Novita. Kalian sudah dengar semuanya, pertanyaan apapun tak diizinkan, permainan dimulai sekarang!”
Setelah seruan itu, keriuhan para murid baru pecah. Aku sendiri hanyut pada lembar kertas yang kupegang. Untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di sekolah ini pagi tadi, sistem syarafku mengencang dengan alasan yang menyenangkan. Aku selalu suka misteri.
Permainan ini sebenarnya sederhana. Kurasa, tujuh lokasi yang dibuat tak sama antara sebagian siswa bertujuan agar tak ada penumpukan di satu titik lokasi. Selain itu, tentu saja agar permainan ini tak terlalu mudah. Jika semua siswa mendapat petunjuk yang sama, kami hanya perlu menunggu seseorang memecahkannya dan mengikutinya.
Lokasi dan petunjuk yang diacak membuat kami harus mengerjakan permainan ini sendiri. Aku tidak tahu rasio acakannya, tapi kurasa berusaha mencari teman yang punya kertas petunjuk dengan daftar dan urutan lokasi yang sama hanya akan buang-buang waktu. Kemungkinan untuk bekerjasama hanya kalau kami memutuskan untuk memecahkan petunjuk nomor delapan.
Namun, di situ lah masalahnya. Tujuh petunjuk lain yang diberikan bisa dikatakan tak begitu susah. Masing-masing petunjuk terdiri dari satu kalimat atau lebih yang menggambarkan lokasi tertentu. Perbandingan tingkat kesusahannya dengan petunjuk nomor delapan cukup jauh. Siapapun yang membuat permainan ini mungkin memprediksi tak satupun murid baru yang akan mampu memecahkan petunjuk nomor delapan dan terpaksa mengikuti permainan secara reguler, mengikuti tujuh petunjuk lainnya.
Petunjuk di kertasku sendiri bertuliskan:
Terlalu mudah. Tantangan sebenarnya memang ada pada petunjuk nomor delapan.
8. “The Murder in The Rue Morgue” oleh Edgar Allan Poe. Dalam gelap ada kreasi cahaya. Jika tergambar, kau akan temui jawabnya.
Cukup menarik. Ada kumpulan referensi yang harus dipunya untuk memecahkan petunjuk nomor delapan. Dan untungnya, aku punya. Kurasa, ini waktu untukku bersinar. Aku melepaskan pandanganku dari lembaran kertas, lalu menyadari, aku tengah duduk sendirian di lapangan. Tidak benar–benar sendirian sebenarnya, ada beberapa murid lain yang masih berada di lapangan. Hanya saja mereka semua berkelompok, sedang aku hanya sendirian. Situasi yang buruk untuk murid baru yang berusaha berbaur dan tidak menonjolkan diri.
Aku memindai sekitar, berusaha mendapati wajah-wajah yang kukenal. Nihil. Aku baru mengenal Danu dan tiga orang lain, murid-murid yang tadi sekelompok denganku. Sekarang, mereka sudah menghilang entah ke mana. Tadinya, aku mau bermurah hati mengajak mereka menuju titik lokasi dari petunjuk nomor delapan bersama-sama, demi pertemanan kami yang baru terjalan. Namun, sepertinya mereka lebih memilih meninggalkan juruselamat mereka ini.
Situasi yang kurang menyenangkan, tapi apa boleh buat. Sambil berpikir begitu, aku pun beranjak.
***
Aku sendiri tak yakin tempat seperti itu benar-benar ada di sekolah ini. Namun, tak ada salahnya mencoba. Meski berhasil menyelesaikan permainan lebih cepat dengan memecahkan petunjuk nomor delapan, kurasa aku tak akan terlalu menonjol. Alasannya adalah karena seluruh murid baru tengah sibuk berfokus pada permainan. Satu murid yang berleha-leha di sudut taman atau perpustakaan takkan terlalu menarik perhatian. Yang penting bukan kantin. Tentu saja itu semua dengan asumsi para kakak kelas panitia MPLS ini tidak memutuskan untuk mengumumkan murid yang memecahkan petunjuk nomor delapan ke seantero sekolah dengan pengeras suara. Aku bergidik membayangkannya.
Sekolah ini disebut sebagai yang terbaik di Rangkat. Aku sempat mengecek situs web mereka yang sederhana dan menemukan bahwa sekolah ini hampir setua negara. Bangunan sekolah sendiri tampak beberapa kali mengalami renovasi. Total ada tiga gedung kelas, satu gedung serba guna, satu kantor guru, dan satu bangunan kantin di sekolah ini. Sekolah ini menghadap barat ke arah jalan protokol. Dua gedung bertingkat dua menghadap ke barat, satu gedung bertingkat tiga berada di samping kantor guru menghadap ke selatan, dan gedung serba guna di sampingnya menghadap ke barat. Gedung untuk murid kelas satu adalah gedung sebelah kanan yang menghadap ke barat. Toilet ada di masing-masing lantai gedung. Untuk sementara, hanya itu yang kuketahui tentang lingkungan sekolah.
Kepala Sekolah bernama Pak Danar Widjayanto, tampaknya merupakan keturunan Jawa. Ia berkumis tipis dan berbicara terpatah-patah. Aku menangkap kesan bahwa ia tipe yang berusaha menjaga wibawanya di lingkungan sekolah, sementara menjadi bahan candaan di lingkungan kerabat dan kenalannya. Aku tak punya ide bagaimana ia bisa menjadi kepala sekolah di usia yang muda. Mungkin karena prestasi, kalau aku hendak berprasangka baik.
Orang yang tampak lebih dominan di sekolah ini sendiri adalah Bu Indira Panggaran, Wakil Kepala Sekolah. Ia berbicara tegas, namun tetap menjaga nuansa keibuan. Kurasa di sekolah ini, dia adalah tongkatnya. Aku belum menghafal seluruh nama guru, tapi setidaknya, aku mengenali Pak Seno Dharma, Wali Kelasku. Dari tampangnya, ia sepertinya tipe yang tak segan bercanda dengan para murid, tapi aku tak akan pernah tahu sampai berinteraksi langsung dengannya.
Aku berusaha mencatat beberapa hal penting terkait sekolah ini. Peraturan tertulis mudah diperhatikan karena terpajang di lingkungan sekolah, tapi peraturan tak tertulis penting untuk diingat. Di antara yang kutangkap adalah: sekolah ini cenderung ketat terhadap pengenaan seragam yang rapi dan perilaku pacaran antar murid. Aku tidak berencana memakai seragam asal-asalan atau membina hubungan romantis di sekolah, tapi mungkin aku perlu menanamkannya dalam ingatan.
Sejauh ini, misiku untuk berteman tak berjalan cukup mulus. Aku berusaha berinteraksi dengan beberapa murid, terkhusus mereka yang sekelompok denganku, tapi sudah kuduga tak akan mudah. Mereka sebenarnya tak jahat, hanya saja masih ada kesan membangun jarak dengan anak perantauan sepertiku. Aku tak begitu pandai mencairkan suasana, jadi hal ini cukup melelahkan. Aku harus meniti batas yang tipis dan samar agar bisa diterima.
Panduan Hidup Damai Nomor 9 dan 12 oleh Budi Mahardika: Usaha menjalin pertemanan pada hari pertama di lingkungan baru adalah hal yang krusial. Mengenali batas penting saat berusaha berteman dengan orang baru.
Saat menyadarinya, aku sudah tiba di depan gedung kelas dua, yang berada di sebelah kanan kantor guru. Pengaturan ini sedikit menarik. Dugaanku, menaruh gedung kelas dua dekat kantor guru, dan gedung kelas tiga dekat gedung kelas satu, adalah upaya meminimalisir interaksi yang berpotensi konflik atau pengaruh buruk. Mungkin sekolah ini punya riwayat senioritas atau perilaku amoral kolektif lain.
Karena dilarang bertanya ke panitia, aku membaca buku panduan MPLS yang disediakan oleh sekolah. Ternyata, isinya cukup lengkap. Kalender akademik sampai menu kantin ditampilkan. Ada pula testimoni alumni, mulai dari bupati sekarang sampai artis nasional. Testimoni alumni seringkali hanyalah omong kosong. Lagipula, aku sudah terlanjur jadi murid di sini.
Informasi yang kubutuhkan ada di halaman tengah. Daftar klub ekstrakurikuler beserta ruangan dan jadwalnya. Aku butuh mengkonfirmasi keberadaan satu klub spesifik dan lokasinya. Sejauh ini, hasil deduksiku tak meleset. Kemungkinan, titik lokasi dari petunjuk nomor delapan benar-benar ada di gedung kelas dua. Tepatnya, di lantai dua. Ada kemungkinan ruangan spesifik yang menjadi jawaban teka-teki tersebut tak ada di sana. Dan sesungguhnya aku sangsi ruangan seperti itu masih ada di masa sekarang. Meski demikian, yang tersisa sekarang adalah membuktikannya langsung.
Tak ada satupun murid baru di depan gedung kelas dua, kurasa tak ada petunjuk lain yang mengarah ke sini. Aku harap tak ada murid baru yang melihatku masuk. Aku tak butuh perhatian yang tak perlu. Di depan pintu masuk gedung, ada dua kakak kelas, seorang laki-laki dan perempuan. Tampaknya mereka panitia MPLS yang sedang beristirahat. Mereka mengenakan tanda pengenal, tapi bersikap santai. Aku mendekat, dan dengan segera mereka menyadari kedatanganku.
“Ada perlu apa, dek?” Kakak kelas perempuan menanyaiku.
“Izin masuk ke gedung, kak. Saya mau mengumpulkan stempel.”
“Stempel? Tapi di sini bukan..” Ia terhenti. “Ohhh..”
“Yang itu ya?” Si kakak kelas laki-laki menyahut.
“Iya.” Si kakak kelas perempuan menjawab.
Melihat reaksi mereka, sepertinya aku berada di jalur yang tepat.
“Baiklah, silakan masuk saja. Kalau ketemu guru atau kakak kelas lain, sapa saja dan jelaskan tujuanmu. Good luck!”
“Baik. Terimakasih.”
Setelah mengucap permisi, aku pun beranjak.
Memasuki gedung kakak kelas biasanya terasa intimidatif. Mungkin karena aku tak punya gambaran sebagai murid yang baru masuk di hari pertama, atau keinginanku menyelesaikan misi lebih kuat, tapi kesan tersebut tak kurasakan. Aku tak bisa membandingkan karena aku bahkan belum sempat berkeliling di gedung kelas satu, tapi aku menduga gedung kelas dua ini adalah bangunan yang lebih lama ketimbang dua gedung kelas lainnya.
Tangga menuju ke lantai dua terletak tepat di hadapan pintu masuk. Untungnya, tak seorang pun yang tampak di koridor dan tangga. Aku tak tahu apa kegiatan kelas dua yang bukan panitia MPLS saat ini, tapi sepertinya mereka fokus berkegiatan di ruangan. Aku berhenti sekitar dua meter sebelum ruang terbuka pertemuan koridor, membaca situasi sejenak, menjaga diri agar tak menarik perhatian para murid yang ada dalam kelas.
Bagaimanapun, ini kesempatan yang baik untuk mengamati suasana di gedung ini. Satu lantai terdiri dari delapan ruang kelas yang saling berhadapan. Aku bisa melihat, tanpa mencolok, murid-murid yang ada dalam ruang kelas terdekat. Mereka tampak santai meski tak bisa keluar ruangan, jadi kemungkinan tak ada pelajaran formal untuk murid kelas dua yang bukan panitia MPLS, tapi mereka diberi tugas tertentu. Aku tidak tahu situasi siapa yang lebih menyenangkan, tapi kurasa terpilih menjadi panitia sendiri bisa dianggap sebagai keistimewaan.
Lalu, aku menaiki tangga dalam hening. Tak sampai berjingkat, tapi cukup pelan hingga nyaris tak bersuara. Lantai 2 sepertinya diperuntukkan untuk ruang-ruang klub dan lab. Setelah memindai, aku mendapati ruang klub fotografi ada di deret belakang, ujung sebelah kiri gedung. aku berjalan tanpa suara menyusuri lorong. Beberapa pasang mata menyadariku. Kakak kelas yang penasaran dari balik jendela kelas mereka yang kulewati, memandangi. Aku tiba, dan dengan ragu-ragu, mengetuk pintu.
“Permisi.”
Tak lama kemudian, seorang murid perempuan membuka pintu. Ia memandangiku sejenak dengan alis yang terangkat. Lalu dengan segera mengontrol kembali mimik wajahnya.
“Ada keperluan apa?” Ujar kakak kelas perempuan itu ramah.
“Saya ingin meminta stempel untuk permainan kegiatan MPLS.”
“Hmm. Juang tidak mengatakan apapun tentangmu,” gumamnya. “Siapa namamu?”
“Saya Budi dari kelas 10 B.”
“Oh, kau sekelas dengan gadis itu.”