Meski kesan pertama krusial, kesan pertama tetap saja hanya tahap pertama. Hubungan pada kenyataannya perlu dirawat terus menerus. Tentu saja hal itu merepotkan. Karena merepotkan itu lah kedamaian sukar tercapai. Sebagai anak SMA yang menjunjung tinggi kehidupan damai, mau tidak mau aku harus menghadapi hal-hal yang merepotkan tanpa mengeluh.
Pedoman Hidup Damai nomor 18 oleh Budi Mahardika: Kalau itu perlu, kerjakan walaupun merepotkan.
Pekan kedua sebagai murid kelas satu SMAN 1 Perjuangan tiba. Pekan kedua artinya rasa tegang akan situasi baru sudah berkurang dan kau mulai mengingat posisi duduk teman-teman sekelasmu. Akan lebih baik jika kau sudah membentuk atau diterima dalam sebuah kelompok pertemanan. Sayangnya, kondisi ideal kerap kali tetap menjadi hal ideal karena tak pernah terjadi.
Cukup mudah berbicara dengan teman sebangkuku. Ada yang duduk di sampingku saat di kantin. Tak ada yang memanggilku dengan julukan aneh. Aku punya teman pulang. Aku tak dilabrak saat hendak ke toilet. Raporku seminggu terakhir tersebut, kupikir cukup memuaskan. Meski ada beberapa yang mengolok cara bicaraku, seperti dugaanku, setidaknya kejahilan yang menyasarku hanya sampai di tingkat itu. Bisa dibilang situasi yang cukup baik.
Untuk merayakannya, kurasa tak masalah untuk mengunjungi tempat itu. Suaka bagi anak laki-laki yang tak diberkahi kekuatan fisik untuk bercokol di lapangan bola saat jam sekolah usai. Perpustakaan. Aku berfokus membangun kerangka pertemanan di minggu pertama sehingga tak sempat memuaskan hasrat pribadi seperti mengunjungi perpustakaan.
Perpustakaan SMAN 1 Perjuangan terletak di lantai 2 gedung kelas tiga. Selain ruang perpustakaan, ada pula lab komputer dan lab bahasa di gedung ini. Hal ini adalah tantangan tersendiri. Namun, mendatangi gedung kelas lain setelah jam sekolah tidak terlalu mencolok ketimbang saat yang lain. Semua murid terlalu berfokus untuk pulang atau mengikuti kegiatan klub. Tak ada yang akan memperhatikan satu dua adik kelas yang berseliweran.
Ruang Perpustakaan. Penanda sederhana terpampang di pintu. Tampak luar perpustakaan sekolah ini tak begitu istimewa. Setidaknya, aku harap koleksinya tak mengecewakan. Aku tak selalu membaca fiksi, tapi variasi koleksi fiksi selalu menjadi acuanku untuk menilai apakah sebuah perpustakaan bisa dikatakan bagus. Aku membuka pintu dan perbedaan tekanan udara menyapaku. Di luar dugaan, perpustakaan ini berpendingin ruangan. Aku masuk sambil tersenyum.
Kurasa hari ini adalah hari yang baik karena rak di deret depan, yang langsung menarik perhatianku, bertuliskan, “Fiksi”. Koleksi perpustakaan ini sepertinya diperbarui dengan baik, ada novel populer terbitan tahun lalu yang terpajang. Kabar baik lainnya, perpustakaan ini punya koleksi tetralogi Pulau Buru. Hanya ada jilid tiga dan empat yang terpajang. Aku bersangka baik, kemungkinan, jilid-jilid lainnya sedang dipinjam.
Aku mengambil jilid keempat. Untungnya, jilid terakhir yang kubaca adalah jilid tiga. Koleksi Pulau Buru yang dipunya perpustakaan ini adalah cetakan edisi terbaru. Jilid terakhir yang kubaca adalah cetakan edisi sebelumnya. Aku punya tendensi menyelesaikan satu seri dari sebuah karya yang masih dalam satu edisi, tapi bisa membaca saja sudah patut disyukuri. Setelah menimang dan menepuk-nepuk buku dalam peganganku, aku beranjak mencari tempat duduk.
Tempat duduk terbaik adalah yang tersedia. Perpustakaan tak bisa dibilang sepi. Tentu tak cukup ramai jika dibandingkan dengan kantin, tapi cukup ramai untuk menyebut sebuah perpustakaan tak sepi pengunjung. Ada beberapa murid yang membentuk kelompok, sepertinya kelas tiga yang terlalu dini mempersiapkan ujian. Ada pula satu dua yang datang untuk membaca. Itu berarti tempat-tempat terbaik sudah ditempati. Yang tersisa untukku adalah meja untuk empat orang di tengah-tengah. Bukan tempat yang akan sengaja kupilih, tapi akan dengan senang hati kududuki tanpa mengeluh saat tak punya opsi.
Aku duduk, menimang novel yang kupegang sekali lagi, lalu mulai membaca.
“Budi?”
Belum ada satu kalimat.
Aku menoleh. Rupanya Dini. Aku berharap dia sebenarnya salah memanggil. Atau mungkin ada Budi lain di ruangan ini. Tapi, mata kami bertemu dan dia tersenyum.
“Kebetulan, berjumpa di sini.” Suara Dini lebih lirih dari biasanya. Lalu, aku teringat kami sedang di perpustakaan.
Aku mengusahakan senyuman.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Silakan.”
Dini menempati bangku di seberangku. Ada larangan mengobrol di perpustakaan, tapi kurasa aturan itu tak terlalu ketat di sini. Kakak kelas yang belajar bersama, sesekali mengobrol sejak tadi. Mungkin juga karena ini adalah waktu pulang sehingga penjaga perpustakaan tak ambil pusing.
“Baru kali ini aku melihatmu di perpustakaan,” ujar Dini.
“Ini memang kali pertama,” jawabku.
“Itu agak mengejutkan.”
Aku menaikkan alis.
“Karena kesan pertama perjumpaan kita, kukira kau akan ke perpustakaan di hari pertama pembelajaran.”
“Maaf sudah mengecewakan.”
“Tidak, tidak. Maaf kalau terdengar seperti menghakimi.” Dini sedikit salah tingkah.
Dini terlihat ingin melanjutkan perkataannya, tapi ragu. Aku menutup novel yang baru kubuka. Kesempatan membacaku sepertinya telah pupus.
“Sebenarnya,” ujar Dini akhirnya. “Aku ingin berbicara denganmu sejak terakhir kali, tapi tak pernah kesampaian sampai saat ini.”
Aku menelan ludah. Jawabannya sebenarnya sederhana. Itu karena aku dengan sengaja menghindari Dini. Aku tak mungkin mengungkapkan hal itu ke mukanya. Aku fokus berbaur dengan anak laki-laki seminggu belakangan. Aku mengambil posisi di tengah saat sedang bersama kumpulan murid lain. Aku menghindari Dini dua langkah sebelum kami berpapasan di jalan. Aku bahkan berusaha menghindari saling bertatapan sebelum ia sempat sadar akan keberadaanku.
Sejak tatapan para murid dan nganga mulut Oki di tempat parkir waktu itu, mau tak mau aku jadi menjaga jarak dengan anak perempuan kaya di hadapanku ini. Terlebih, aku mendapati dari Oki bahwa Dini tak hanya berasal dari keluarga kaya, tapi juga berkuasa. Dalam pengertian sebenarnya. Ayahnya adalah pengusaha yang kembali terpilih sebagai Bupati untuk periode keduanya tahun lalu. Latar belakang seperti itu cukup untuk membuat seluruh sekolah memperhatikan saat ia tiba-tiba melambaikan tangan dan menyapa anak laki-laki di tempat umum.
Pedoman Hidup Damai nomor 20 oleh Budi Mahardika: Perhatian yang tak diminta adalah kabar buruk.
Tapi, mungkin aku memang tak bisa mengelak.
“Benar juga,” ujarku. Aku menahan diri untuk tak menggaruk hidung atau kepala. “Aku baru menyadarinya.”
“Apa kau sengaja menghindariku?”
Kalau sedang minum, kurasa aku akan tersedak.
“Tidak..”
“Hanya bercanda.”
Anak perempuan ini ternyata menyeramkan.
“Apa yang sedang kau baca?” Dini mengalihkan pembicaraan.
Aku menunjukkan novel yang belum sempat kubaca di hadapanku. “Rumah Kaca oleh Pramoedya Ananta Toer.”
Aku sebenarnya belum sempat membaca.
“Apa kau hanya membaca sastra klasik?”
“Aku hanya membaca yang menarik.”
“Kukira kau adalah penggemar misteri.”
“Aku memang penggemar misteri. Tapi, aku tak membatasi diri pada satu genre.”
“Begitu.”
Aku mengalihkan pandangan dari Dini dan memperhatikan sekitar. Sepertinya tak ada yang mempedulikan atau terganggu dengan kami. Syukurlah.
“Mana yang lebih kau sukai? Sherlock atau Poirot?”
Tiba-tiba pertanyaan sulit.
“Hmm, sebagai karakter, aku lebih suka Poirot. Tapi dari segi cerita, aku lebih suka Sherlock.”
“Ohh, jawabanmu mirip dengan kak Juang. Tidak persis seperti itu, tapi kurasa kak Juang mengatakan hal yang serupa.
Kak Juang. Hampir seminggu ini aku tidak mendengar nama itu. Aku beberapa kali melihatnya dari kejauhan, tapi tak sampai berpapasan.