Orang yang sedang berjuang untuk bertahan hidup di hutan, tak punya kemewahan untuk mempertimbangkan diri mandi, ia hanya bersyukur bisa makan.
Sebuah analogi yang buruk. Aku juga tak tahu kenapa memikirkannya seperti itu. Namun, itulah yang muncul dalam benakku saat mendengar soal ini. Klub Ekstrakurikuler. Ada ekstra dalam ekstrakurikuler. Aku sudah cukup penuh dengan hal-hal dasar, aku tak perlu tambahan ekstra dan membuat kehidupan sekolahku semakin rumit.
Pedoman Hidup Damai nomor 17 oleh Budi Mahardika: Kalau tidak perlu, tidak usah repot dikerjakan.
Itulah sebabnya aku menolak ajakan Oki bergabung ke klub futsal. Walaupun, alasan lainnya adalah kakiku tidak cukup mahir berdansa dengan bola.
“Terimakasih sudah mengajakku. Tapi kau tahu sendiri, aku payah. Aku tidak yakin akan diterima.”
Mendengar itu, Oki mengiyakan dan berlalu. Sekarang, aku jadi sedikit tersinggung.
Mendekati penghujung bulan pertama, sebagian besar murid kelas satu telah memutuskan klub ekstrakurikuler untuk bergabung. Rekrutmen anggota klub sendiri sudah dimulai sejak hari kedua MPLS. Setelah itu, kami diperkenankan untuk melihat-lihat kegiatan klub ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Kudengar klub yang tidak mencapai batas minimum anggota sampai menjelang Ujian Tengah Semester akan ditangguhkan, atau lebih buruk, dibubarkan.
Aku cukup bersimpati, tapi bukan berarti aku akan dengan suka hati belajar merajut hanya karena klub itu terancam bubar.
Meski tak tertarik bergabung dengan salah satunya, aku sendiri sudah mengamati beberapa kegiatan klub di sekolah. Klub fotografi punya animo tinggi, tapi mereka membatasi anggotanya, dan kudengar seleksinya cukup ketat. Aku akhirnya memahami alasannya setelah mengetahui fakta bahwa kebanyakan pendaftar adalah murid perempuan. Kak Juang ternyata jauh lebih populer dari yang kukira.
Presentasi klub kesenian sendiri cukup kecil, dibandingkan klub olahraga terutama. Lagipula, salah satu keunggulan sekolah adalah prestasi murid di bidang olahraga. Selain fotografi, ada beberapa klub yang menarik perhatianku seperti klub jurnalistik, renang, dan berkebun. Aku cukup tertarik menanam selada air dengan metode hidroponik.
Tapi, pada akhirnya aku tak mendaftar pada satu pun klub tersebut. Aku tak ingin memperumit kehidupan sekolahku yang ada di tepian ini. Salah langkah dan aku akan tergelincir jatuh.
“Budi!” Seseorang berseru tertahan.
Meski belum menengok, aku tahu siapa yang memanggilku. Aku telah akrab dengan suaranya sebulan ke belakang.
“Dini. Ada apa?”
Dihampiri olehnya di tempat umum selalu mengundang perhatian tak perlu. Kalau ini memakan waktu, aku harap kami bisa berpindah. Ke perpustakaan, misal.
“Apa kau sudah memutuskan akan bergabung dengan klub ekstrakurikuler apa?”
“Belum. Aku belum memutuskan.”
“Aku juga sama. Nissa sendiri sudah bergabung sebagai anggota perpustakaan.”
Aku mengerutkan kening.
“Bukankah semua murid otomatis menjadi anggota perpustakaan?”
“Bukan seperti itu.” Nissa tiba-tiba muncul di samping Dini.
Aku sedikit terkaget. Apa aura keberadaan Dini terlalu besar sehingga Nissa tertutupi? Atau sebaliknya, aura keberadaan Nissa yang terlalu kecil?
“Aku bergabung menjadi anggota relawan perpustakaan. Dengan kata lain, membantu sebagai petugas.”
“Jadi, begitu.”
Cukup menarik. Tapi, aku tidak ingin berada di perpustakaan untuk berjaga atau bantu-bantu. Anggota biasa saja sudah cukup.
Tunggu, aku baru saja menyadari satu hal yang mengejutkan.
“Eh, kau belum bergabung dengan klub mana pun?” Tanyaku pada Dini.
“Ya. Aku juga belum bisa memutuskan. Terlalu banyak yang menarik.”
Oh. Situasi kami sama, tetapi alasannya sama sekali berbeda.
“Sebenarnya, aku mau memberitahumu soal ini.”
“Bahwa kau belum punya klub ekstrakurikuler?”
“Bukan soal itu.” Dini meragu. “Itu juga ada kaitannya, sih.”
Satu hal yang kusadari setelah mengenal Dini hampir sebulan ini. Dia gampang terdistraksi.
“Apa kau mau melihat pameran?"
“Pameran?”
Otakku entah kenapa membayangkan Jakarta Convention Center. Mungkin karena aku punya kenangan khusus terhadap tempat itu. Ayah dan ibu pernah membawaku ke sana untuk mengikuti pameran buku. Mengingatnya sekarang, peristiwa itu seperti terjadi di kehidupan yang lain.
“Ya, klub fotografi sedang melakukan pameran hasil karya foto mereka.”
Bukankah kegiatan klub baru aktif dua minggu ini? Klub fotografi sungguh giat.
Aku cukup tertarik. Waktu di kamar gelap, aku melihat film-film yang sedang dikeringkan, aku penasaran dengan hasilnya.
“Boleh.”
Pameran akan ramai, bukan? Kurasa keberadaan Dini sekalipun tak akan terlalu mengundang perhatian di pameran.
“Kau mau ke mana?” Dini memanggilku yang mulai beranjak.
“Ke gedung serba guna?”
“Pamerannya ada di depan ruangan klub fotografi.”
***
Aku menyesali diriku sendiri karena tak berpikir dengan panjang. Pertama, pameran yang dimaksud tentu saja tak berskala besar. Ruang pameran adalah lorong depan klub fotografi. Media pameran adalah dinding. Foto-foto karya klub fotografi digantung dengan tali rami di sepanjang dinding lorong di depan ruangan klub. Tak meriah, tapi ini memang bisa disebut sebagai pameran.
Kedua, Dini tetap menjadi perhatian di manapun ia berada. Aku berusaha mengecilkan keberadaanku ketika belasan pasang mata memandangi kami begitu tiba di lantai dua gedung kelas dua. Tindakan yang ternyata tak perlu karena mereka hanya berfokus pada Dini.
Pengaruh Dini menunjukkan tajinya di kesempatan seperti ini. Murid-murid yang sedang melihat-lihat, segera memberi ruang begitu kami mendekat. Hal itu membuat mulutku terasa sedikit pahit. Aku tak akan pernah terbiasa dengan hal ini. Dini dan Nissa, sebaliknya, sepertinya sudah terbiasa.
Semua foto yang dipamerkan klub fotografi tampaknya merupakan hasil jepretan kamera analog. Tone warna foto yang dipajang tak semua sama, jadi kuduga mereka menggunakan beberapa jenis film yang berbeda. Kudengar harga gulungan film saat ini mahal, aku jadi menerka-nerka berapa biaya yang keluar untuk sebuah pameran kecil dari sebuah klub sekolah ini. Kegiatan yang menguras finansial seperti ini memang tak cocok untukku.
Tak susah untuk menemukan hasil foto karya Kak Juang karena mereka dipajang di tempat paling strategis. Sepertinya, dinding tengah adalah daya tarik utama pameran. Titik itu diberi label “Koleksi Pilihan”. Ada sekitar 20 foto dan sebagian besarnya adalah karya Kak Juang. Melihat karyanya, aku jadi merasa mulai sedikit memahaminya.
Kak Juang sepertinya adalah tipe realis. Semua hasil fotonya memuat sosok manusia di dalamnya. Obyek fotonya sendiri variatif. Mulai dari murid sekolah sampai pria dewasa dengan muka yang membuatmu terheran perihal bagaimana Kak Juang berakhir memotretnya. Favoritku sendiri adalah potret seorang pria yang tengah memanggul hasil panen sawit. Entah kenapa, foto itu terasa lebih hidup ketimbang yang lain.
“Oh, aku tahu foto ini,” Dini mengomentari.
Aku tak menyadari ia ada di sampingku.
“Oh, ya?”
“Yang ada di foto adalah salah satu pekerja ayah. Aku tak ada di sana, tapi kurasa Kak Juang mengambilnya saat panen terakhir.”
Aku hanya mengangguk-angguk.
“Huh, bukankah ini kamu, Dini?” Nissa, yang mengikuti Dini di sampingnya, berkata.
Aku menengok ke arah foto yang ditunjuk Nissa. Foto itu berupa siluet tampak belakang seorang gadis yang tengah berjalan di hamparan rumput berbunga. Foto teresebut juga hitam-putih, aku tak bisa menerka bunga apa itu atau kemungkinan di mana lokasinya. Rambut panjang tergerai Dini tampak tertiup angin, menambah kesan dramatik dari foto itu. Oh, foto ini juga bagus.
“Ahh!” Dini nyaris terjerit. Anak-anak di sekitar kami memandang terheran dan Dini segera menunduk malu.
Dia berkata setengah berbisik. “Aku baru tahu soal foto ini. Padahal, aku sudah melarangnya memamerkan foto dengan aku sebagai objek.”
“Itu foto yang bagus.” Aku menimpali.
Dini tersenyum masam. “Kau bisa mengatakannya pada Kak Juang. Aku hanyalah objek foto, atau mungkin bisa disebut korban.”
Aku tersenyum mendengarnya.
“Di mana foto ini diambil?” Aku bertanya.
Dini tampak ragu, tapi menjawab dengan tersenyum. “Ini tempat yang spesial. Aku akan memberitahu Budi lain waktu.”
Belum sempat aku menanggapi, tiba-tiba suasana berubah menjadi sedikit heboh. Setelah menengok, rupanya Kak Juang keluar dari ruangan klub.
“Semuanya, terimakasih sudah mampir untuk melihat-lihat karya kami.” Kak Juang berkata pada kerumunan. “Pameran kali ini adalah proyek pertama kami tahun ini yang melibatkan semua anggota klub, termasuk anggota baru. Terimakasih karena sudah mengapresiasi usaha kami dengan datang ke sini.”
Para pengunjung pun bertepuk tangan. Pun demikian aku. Aku dengan jujur mengapresiasi cara Kak Juang mengelola atensi.
“Silakan menikmati pameran ini.” Ia menutup sambutan tiba-tibanya dengan senyuman. Dan para murid perempuan menyahutinya dengan agak berlebihan.
“Oh, ya. Kalian yang di sana!” Kak Juang tiba-tiba menunjuk ke arah kami, Dini, Nissa, dan kurasa juga aku.
“Kalian bertiga, bisakah kalian kemari?”
Kami saling memandang, mengangguk, lalu segera beranjak. Dalam situasi seperti ini, pilihan yang ada hanya menuruti. Sungguh cara yang licik untuk mengundang orang.
***
Hari ini adalah hari untuk kegiatan klub. Aku yang tak punya klub, entah bagaimana sedang berada di suatu ruangan klub. Ini kali kedua aku memasuki ruang klub fotografi. Ruangan ini jadi agak rapi. Mungkin karena anggota baru mulai bergabung. Bahkan, sekarang di tengah ruangan, muncul sebuah meja pendek entah dari mana asalnya. Yang menyambut kami adalah Kak Juang dan Kak Widi. Ini adalah formasi teka-teki petunjuk nomor delapan di hari pertama sekolah. Apa kami akan berdiskusi di ruang gelap lagi?
Kak Juang hari ini tampak sedikit lebih rapi. Masih tampak bekas usaha menyisir rambut, dan ia memasukkan bajunya ke dalam celana dengan benar. Laki-laki tidak saling memuji, tapi aku mengerti pesona kakak kelas satu ini. Dekat dengan murid sepertinya mungkin ada sisi baiknya, tapi sisi buruknya juga bisa membuat bergidik. Aku tak bisa membayangkan drama dan intrik seperti apa yang mungkin dihadapi anak populer.
Kak Juang sendiri selalu tampak acuh tak acuh di kesehariannya. Kepribadiannya yang seperti itu adalah yang membuatku merasa sedikit leluasa di sekitarnya. Sedang, fakta bahwa dia tetap populer meski dengan kepribadiannya adalah hal yang tak bisa kupahami. Kurasa saat kau tampan, dan kaya, dan berpengaruh, semua tentangmu dimaklumi.
Seperti kali ini, dia mengangkat satu kakinya di atas kursi saat kami sedang berhadap-hadapan.
“Apa kau bisa menurunkan kakimu, kak?” Dini, kerabatnya, menegurnya.
“Tidak mau,” jawab kak Juang cepat.
Kak Widi dan Nissa sepertinya sudah terbiasa dengan situasi ini dan mengacuhkannya. Aku sendiri hanya mempertahankan senyuman.
Kak Juang memandangku sambil tersenyum, lalu berbicara. “Aku mendengar cerita Dini soal kucing di rumahnya dan hipotesis yang kau tawarkan.”
“Oh. Cerita itu.”
Kak Juang diam sejenak. “Apa benar hipotesismu cuma sampai di sana?”
Aku menelan ludah. Aku sudah tahu, tapi ketajaman Kak Juang memang patut diperhitungkan.
Aku akhirnya meninggikan bahu. “Sebatas kemampuan saya, itu lah yang bisa saya simpulkan.”
Dini sepertinya tak menyadari nada bicara dan maksud kak Juang.
“Oh, sayangnya, sepertinya kucing itu sudah mati.” Dini menjawab dengan muram.
Jadi, itu jawaban yang dipilih bibi itu. Kurasa itu jawaban yang paling aman. Tentu saja tetap ada kemungkinan dia mengatakan yang sebenarnya.
“Kucing apa? Hipotesis apa?” Kak Widi bertanya. Nissa juga mengangkat alisnya.