“Misal, jika menggunakan substitusi, kita ubah salah satu persamaan menjadi bentuk y=y =y= atau x=x =x=, lalu substitusi ke persamaan lainnya."
"Oh, jadi misal dari persamaan pertama, kita bisa ubah jadi y=7−2xy = 7 - 2xy=7−2x, lalu kita substitusi ke persamaan kedua?"
"Benar. Selanjutnya, kita substitusi ke persamaan kedua 3x−(7−2x)=43x - (7 - 2x) = 43x−(7−2x)=4, setelah itu kita perlu menyelesaikan persamaan itu agar mendapat nilai x."
"Baiklah, bagaimana kalau x-nya sudah ditemukan, apa kita perlu memasukkannya lagi ke salah satu persamaan supaya mendapatkan nilai y-nya?"
“Tapi, kalau Nissa merasa substitusi agak rumit, kita bisa juga menggunakan eliminasi. Misal, kita bisa tambah atau kurangi dua persamaan buat menghilangkan salah satu variabel, supaya tersisa satu variabel yang harus kita cari."
Aku ingin kabur dari sini.
Saat aku pikir akhirnya menemukan suaka lain di sekolah ini, tiba-tiba dua anak perempuan ini mulai membicarakan pelajaran di sini, meski bel pulang sekolah sudah berbunyi. Dan dari semua mata pelajaran, mereka membicarakan matematika. Kalau punya penutup telinga, aku sudah memasangnya sejak tadi. Salahku juga karena memutuskan membawa buku non fiksi hari ini, aku tak bisa mudah tenggelam dalam bacaan dan jadi gampang terdistraksi.
Nyaris tujuh pekan sejak aku pertama kali resmi menjadi murid di sini, selain fakta bahwa Dini ternyata memang tipikal murid teladan yang entah bagaimana jago matematika, aku juga mendapati bahwa sekolah ini punya kelonggaran yang aneh terhadap kegiatan ekstrakurikuler. Aku masih tidak bisa memahami kenapa sebuah klub tak jelas seperti klub misteri bisa diberi izin berkegiatan dan diberi ruangan. Padahal hampir dua minggu ini, yang kami lakukan hanya mengobrol, mendiskusikan novel misteri, bermain teka-teki, hingga berdebat soal teori konspirasi. Atau seperti hari ini, membicarakan matematika.
Bukan berarti aku keberatan, hanya saja ada rasa tak enak hati menggunakan fasilitas sekolah untuk hal sia-sia begini. Kalau ada yang perlu bertanggungjawab jika akhirnya kami diprotes massa, Kak Juang lah orangnya. Sang pendiri klub itu sendiri justru jarang hadir di sini. Aku bisa memaklumi karena saat ini ia mengikuti tiga klub sekaligus (dua sebagai ketua), aktif sebagai anggota Organisasi Siswa (OSIS) dan Palang Merah Remaja (PMR), dan entah apa proyek sampingan lain yang saat ini ia jalankan, -terakhir, aku melihatnya mengangkut bibit tanaman ke klub berkebun, meski sudah tak menjadi anggota-.
“Bagaimana menurutmu, Budi?” Dini tiba-tiba bertanya.
Aku mengedipkan mata. “Aku tak punya pendapat soal rumus matematika.”
“Bukan itu.” Sanggah Dini. “Nissa dan aku sedang membicarakan soal klub ini.”
“Oh. Apa kita akhirnya akan bubar?”
Dini mengerutkan mata. “Tidak. Kami sedang membahas apa yang bisa kita kerjakan sebagai sebuah klub. Tidakkah kau merasa klub ini terlalu bersantai?”
“Kukira memang itu konsep klub ini?”
“Bisakah kau lebih serius?” Dini menegur.
Aku menegakkan punggung. “Baik. Jadi, apa yang kalian rencanakan?”
Nissa lah yang menjawab. “Kak Juang sebelumnya mengatakan bahwa salah satu tujuan klub ini adalah membantu murid sekolah ini menyelesaikan permasalahan yang mengandung misteri.”
Aku ingat Kak Juang mengatakan sesuatu soal itu.
“Sudah hampir seminggu dan kita belum mendapati satu permintaan pun, atau dengan kata lain, satu misteri yang nyata sekalipun.”
Aku meninggikan bahu. “Selamat datang di dunia nyata. Misteri tak terjadi sesering itu.”
“Itu juga benar. Tapi, kurasa masalah lainnya adalah tak banyak murid yang tahu soal kita. Kalaupun tahu, mereka tak paham apa yang sebenarnya klub kita lakukan.”
Benar juga. Saat mendengar klub misteri, mungkin saja para murid menganggapnya adalah kumpulan penggemar hal-hal supranatural, atau lebih buruk, sebuah kultus.
“Oleh karena itu, aku mengusulkan agar kita membuat diri kita lebih dikenal.” Dini berkata.
“Dan caranya adalah?”
“Kita mengiklankan diri.”
“Di internet?”
“Itu juga bisa, tapi maksudku adalah pada lingkup kecil, di sekolah kita sendiri.”
“Kalau kau menyarankan agar kita menyebarkan selebaran di gerbang sekolah, maaf, aku tak bisa membantu,” ujarku.
Aku tak pernah mencoba, tapi pekerjaan pemasaran seperti itu tak cocok denganku.
“Oh, itu ide yang bagus juga!”
Apa aku baru saja memberinya ide?
“Tapi, untuk permulaan, kita bisa mulai dengan mendesain poster dan memasangnya di majalah dinding sekolah atau papan pengumuman.”
“Jadi, begitu.”
“Kalau perlu, kita juga bisa meminta bantuan klub jurnalistik atau klub siaran.” Nissa menambahkan.
Apa perlu sejauh itu?
“Layanan Konsultasi Misteri.” Tiba-tiba Dini berkata.
“Hah?”
“Layanan Konsultasi Misteri,” ulangnya. “Kurasa itu bisa jadi judul yang bagus.”
Terdengar menggelikan.
***
Layanan Konsultasi Misteri
Klub Misteri SMAN 1 Perjuangan menerima permintaan konsultasi terkait hal-hal berbau misteri (bukan horror) dari para murid.
Datangi ruang klub kami, hubungi anggota kami, atau taruh surat di kotak yang sudah kami sediakan di depan ruang klub.
Klub misteri siap membantu kalian!
Begitulah poster itu berbunyi. Aku lah yang memasangnya. Di beberapa papan pengumuman. Satu di depan kantin, satu di depan perpustakaan, satu di gedung kelas satu, dan satu lagi di papan mading atas seizin klub jurnalistik. Belum sampai seharian, Oki menghampiriku dan berkata, “Apa aku boleh konsultasi?”
Belum sempat aku menjawab, dia mencerosos. “Kenapa aku susah dapat pacar? Bukankah itu misteri?”
Aku pun menjawab, “Misteri terbesar adalah kepercayaan dirimu yang kelewat batas.”
Selain olok-olok itu, tak ada yang terjadi. Kurasa misteri memang tak mudah dicari. Atau menghampiri. Sekarang pun, ruang klub misteri lengang. Hanya ada aku dan Kak Widi. Agak canggung memang. Namun, setelah bertukar obrolan ringan, masing-masing kami memutuskan untuk berfokus pada buku bacaan masing-masing. Kak Juang meminjamkan kami koleksinya. Sekarang, kami punya cukup bacaan untuk satu semester penuh.
Tiba-tiba pintu terbuka dan sesosok anak perempuan berseru, “Kita mendapatkan kasus pertama!”
Aku nyaris menjatuhkan buku yang kupegang.
“Oh, apa itu?” Kak Widi, tak terganggu dengan kehebohan Dini, bertanya. Ia lah yang mendesain poster iklan itu. Kurasa ia juga cukup bersemangat soal ini.
Kak Juang sendiri masih tak tampak batang hidungnya hari ini.
“Mira dari kelas 10 D baru saja menceritakan hal yang menarik pada Nissa dan aku.” Dini duduk di kursi sampingku. “Aku berkata, dia bisa datang untuk konsultasi ke ruang klub misteri, dan dia setuju. Dia akan datang lima menit lagi.”
Bukankah itu terlalu mendadak? Apa kita tak perlu menunggu persetujuan Kak Juang?
“Dia sudah tiba.”
Nissa muncul dari balik pintu yang baru saja tertutup. Setelah kuperhatikan, ada satu anak perempuan yang mengikutinya di belakang.
“Perkenalkan semuanya, ini Mira dari kelas 10 D. Dia tetanggaku.”
Gadis bernama Mira itu menundukkan kepalanya.
Dini mempersilakannya duduk. Ruangan klub ini hanya berisikan rak buku dan meja persegi beukuran 1,5 x 0,5 dengan 6 kursi di masing-masing sisi kanan dan kiri panjang meja, dan dua kursi saling berhadapan di sisi lebar meja. Saat ini, aku duduk di sisi kiri bersama Dini, di hadapan kami, duduk secara berurutan dari kanan, Kak Widi, Nissa, dan gadis dari kelas 10 D bernama Mira. Aku baru tersadar, aku adalah minoritas di sini. Apa sebaiknya aku mencari alasan untuk kabur?
“Mira, di sebelah kananku ini Kak Widi, kau sudah kenal Dini, sedang laki-laki satu-satunya ini Budi. Seharusnya ada Kak Juang, tapi ia memang sering tak hadir.” Nissa membuka perkenalan.
Mira bertukar anggukan dengan Kak Widi dan aku.
“Kau bisa ceritakan kembali apa yang telah kau ceritakan sekilas padaku dan Dini.”
“Baiklah. Terima kasih sebelumnya karena klub mis.. klub ini mau mendengarkan permintaanku.”
Sudah kuduga, terlalu menggelikan untuk menyebut nama klub ini.
“Seperti sudah diperkenalkan oleh Nissa, aku Mira dari kelas 10 D. Kebetulan, aku ditunjuk sebagai ketua kelas oleh para murid kelasku. Jadi, bisa dibilang, aku berinisiasi meminta bantuan kepada kalian karena peranku. Aku sendiri tak mampu menyelesaikan permasalahan ini, jadi kalau ada pihak lain yang berkenan dan bisa membantu, aku dengan senang hati mengambil kesempatan itu.
Kami menyimak dengan seksama. Aku menutup buku sejak tadi. Tentu saja aku paham sopan santun.
“Permasalahannya hanya sederhana, tapi karena berkelanjutan, masalah ini pun jadi perdebatan yang cukup panjang di antara kami. Hal ini sendiri bermula awal minggu ini.”