“Apa kalian sudah berhasil memecahkan kasus kami? Apa kalian perlu narasumber lain?”
Mira mencecarkan pertanyaan padaku.
Kami sedang berada di lorong gedung kelas satu. Aku memprotes dalam hati kenapa dia tidak bertanya saja pada Nissa dan Dini. Tapi, karena saat ini posisiku adalah sebagai anggota klub misteri yang terhormat, aku menelan komplainku.
Pedoman Hidup Damai nomor 15 oleh Budi Mahardika: Bersikap tak acuh secara sengaja adalah di antara permulaan masalah sosial.
“Kami belum menyepakati kesimpulan apapun. Soal narasumber, kurasa Nissa atau Kak Widi yang bisa memutuskan.”
Meski tak mengubah ekspresinya, aku tahu Mira menyesal sudah memutuskan bertanya padaku.
“Maaf karena tidak bisa memberi jawaban pasti,” ujarku.
“Tak apa,” jawab Mira.
Aku menggaruk hidung. Suasana jadi canggung.
“Karena kau sudah repot bertanya, apa aku juga boleh bertanya sesuatu?” Tanyaku.
“Apakah terkait kasus ini?”
“Eh? Ya.. tentu saja.” Entah kenapa, aku jadi gugup.
Aku mengumpulkan kembali ketenanganku. “Sudah berapa hari sejak kasus kehilangan terakhir?”
Mira tampak berpikir.
“Kurasa sudah dua hari. Dan ya, memang berhentinya kejadian kehilangan ini bertepatan dengan absennya Danu dari sekolah.”
“Ah, tidak. Bukan itu yang hendak ku konfirmasi.”
Mira mengerutkan kening.
“Apakah selama dua hari terakhir, kelas kalian punya jadwal non akademik?”
Di sekolah kami, setidaknya ada empat kegiatan non akademik. Pelajaran olahraga, Pramuka, ekstrakurikuler wajib, dan praktik lab. Lima ditambah dengan upacara.
“Tidak. Memangnya kenapa?”
Aku sedikit menyunggingkan senyum. “Bukan apa-apa. Hanya firasat kecil.”
Mira tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi sebuah suara menghentikannya.
“Budi! Dan..Mira!” Dini muncul entah dari mana. Tidak, aku bisa menerka dia dari mana, tangannya penuh dengan cemilan. Entah kenapa, ia membopong mereka dengan tangan alih-alih menggunakan kantong plastik.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” Ujar Dini. Ia kemudian mengubah sikap, merundukkan badan dan merendahkan suaranya. “Apa kalian membicarakan soal kasus itu?”
“Kau bisa berbicara dengan normal. Tingkahmu justru mencurigakan.” Komentarku.
“Ya,” jawab Mira sambil tersenyum. “Aku baru saja bertanya pada budi, apa klub mis.. misteri sudah membuat kemajuan dan apakah kalian butuh narasumber lain dari kelasku.”
Sepertinya, dia masih kesulitan menyebut klub kami.
“Begitu,” ujar Dini dengan suara normalnya. “Tenang saja! Kami sudah hampir mencapai kesimpulan.” Ia menyempatkan mengacungkan jempol, meski tangannya sibuk mencegah cemilan yang dibawanya jatuh berhamburan ke lantai.
Mata Mira sedikit berbinar. “Benarkah?”
Aku sendiri juga terkejut.
“Aku lihat kemarin, Budi menunjukkan wajah orang yang hampir mencapai pencerahan.”
Jadi, kau hanya melemparkan tanggung jawab?
Mata Mira kembali meredup.
“Soal narasumber, kurasa kau bisa bertanya pada Nissa atau Kak Widi. Mereka yang biasanya memutuskan hal seperti itu.”
Mata Mira semakin meredup.
Setelah itu, Mira berpamitan pada kami dan berkata akan bertanya pada Nissa atau Kak Widi. Kurasa, kami berdua baru saja menjelekkan nama besar klub misteri.
Kini tinggal Dini dan aku.
“Untuk apa semua itu?” Tanyaku
“Oh, ini untuk cemilan sore nanti di ruangan klub. Biasanya aku membawa dari rumah, tapi hari ini aku tidak sempat.” Dini menjawab.
Setelah kupikir-pikir, Dini cukup sering membawa cemilan dan membagikannya saat kegiatan klub. Aku sendiri hanya selalu membawa badanku.
“Apa mau kubantu?” Aku menawarkan.
“Tidak perlu. Lagipula, kelas kita sudah dekat. Kita sebaiknya bergegas kalau tak mau terlambat. Jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.”
Aku mencari jam di sekitar, tapi tak ada. Aku cukup yakin waktu istirahat masih menyisakan beberapa menit lagi. Namun, Dini sudah mulai berjalan terburu-buru, aku pun mengikutinya dari belakang. Dua langkah kemudian, dia sedikit tersandung dan cemilan yang dibawanya berhamburan.
***
Aku membuka bungkus keripik kentang di hadapanku. Kurasa bungkus yang sama yang kubawa barusan, membantu Dini yang kewalahan membawa semua cemilannya. Seluruh anggota klub misteri, kecuali ketuanya, telah hadir. Dini sedang menawarkan Kak Widi biskuit yang dipegangnya. Nissa sedang menekuri catatannya sambil memegang sepotong biskuit yang sejak semenit tadi bertengger di tangannya. Aku sendiri hanya bengong. Akan tanggung untuk membaca buku, jadi sekarang aku tak punya kegiatan.
Pada akhirnya, Mira bertanya pada Nissa soal narasumber tambahan. Setelah berkonsultasi dengan Kak Widi, Nissa memutuskan untuk mencoba mewawancarai tiga orang lagi. Kami setuju saja, dan sekarang sedang menunggu Mira datang membawa anak lain dari murid kelasnya. Aku hendak memasukkan keripik ke mulut saat terdengar suara pintu diketuk. Dini dengan cekatan menghampiri sumber suara.
“Oh, silakan.”
Seorang anak perempuan masuk. Dini mengucapkan terimakasih pada Mira yang mengantar anak perempuan itu, lalu menutup pintu.
“Silakan, kau bisa duduk di sini.” Dini mengarahkan tamu kami.
Anak perempuan itu duduk dengan gugup. Ia sedikit melirik ke arah Dini, lalu kembali menunduk.
Kak Widi berkata sambil tersenyum. “Terimakasih sudah mau hadir. Tidak perlu tegang, kau bisa mulai dari perkenalan diri.”
***
Baiklah. Maaf, sebelumnya. Ah, iya, untuk apa meminta maaf. Uhm, nama saya Karina, saya dari kelas 10 D.
Benar, saya juga korban dari kasus kehilangan.
Kapan? Oh, dua hari lalu.
Benar, kasus terakhir yang terjadi.
Bagaimana kronologinya? Baiklah, saya akan coba menceritakannya.
Setelah kegiatan ekstrakurikuler wajib, saya dan Tia.. ah, dia teman sekelas yang kebetulan mengambil ekstrakurikuler yang sama. Saya mengambil ekstrakurikuler seni.
Ya, saya menggambar.
Waktu itu, kami berencana untuk mampir ke kantin karena masih ada sisa waktu sampai jam pelajaran selanjutnya.
Saat di jalan, saya menyadari bahwa saya meninggalkan dompet di kelas. Oleh karena itu, saya segera bergegas ke sana. Tidak, untungnya saat saya kembali, saya mendapati dompet saya masih ada di tas. Tapi, saat itu lah saya menyadari botol minum yang saya letakkan di atas meja telah menghilang. Saya sudah berusaha mencari, mengira ia terjatuh atau saya yang lupa menaruh, tapi botol saya memang diambil seseorang.
Sejujurnya, saya cukup sedih. Karena botol itu adalah hadiah pemberian ibu.
Oh, ya. Sewaktu masuk kelas, saya berpapasan dengan Danu yang keluar dari ruang kelas yang kosong.
***
“Begitulah, kurang-lebihnya.” Ujar anak perempuan bernama Karina itu menyudahi.
Dini dengan segera bertanya,“Menurutmu, orang seperti apa Danu?”
“Sejujurnya, aku tidak tahu. Kami belum pernah berinteraksi. Meski begitu, aku sendiri merasa dia patut dicurigai.
“Oh.” Dini menyahut pendek.
“Apa ada lagi yang ingin kalian tanyakan?” Kak Widi berkata.
Aku menggelengkan kepala. Nissa juga tak tampak tertarik bertanya.
“Baiklah. Terimakasih Karina untuk waktunya.”
“Kalau kalian berhasil menemukan siapa pelakunya, bisakah kalian meminta agar ia mengembalikan barang-barang yang ia curi? Harganya mungkin tak seberapa, tapi bagiku botolku yang hilang itu istimewa.”
Kak Widi tersenyum. “Kami akan berusaha.”
***
“Aku kehilangan gelang tanganku hari Selasa lalu.” Anak laki-laki bernama Doni itu berkata.
Aku menaikkan alis. “Bukankah..” Aku berpikir ulang dan meralat kalimatku. “Apa hari itu kelas kalian punya jadwal non akademik?” Tanyaku.
Doni tampak berpikir, lalu menggeleng. “Tidak. Memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Kau bisa lanjutkan.”
“Waktunya adalah jam istirahat pertama. Aku menyempatkan bermain basket bersama anak-anak klub basket. Karena tahu akan bermain, aku seperti biasa mencopot gelangku dan meninggalkannya di kelas. Sebelumnya, aku pernah kehilangan gelang karena meninggalkannya di pinggir lapangan. Kupikir kelas adalah tempat yang aman, tapi ternyata pencuri tidak mengenal tempat.
Begitu aku kembali menjelang jam istirahat berakhir, aku menyadari gelangku tak ada dimanapun. Aku cukup kesal waktu itu.”
“Apa hanya kau yang kehilangan barang di kelasmu pada hari itu?” Tanyaku.
“Aku tidak ingat. Tidak, kurasa memang hanya aku.”
Aku mengangguk.
Doni melanjutkan dengan berapi-api. “Aku tidak peduli si pencuri sengaja mengincar korbannya secara spesifik atau acak, atau sekalipun barang yang diambil tak begitu berharga, aku tak bisa memaafkan pencurian.”
Kak Widi yang membalas. “Baiklah, kami akan berusaha semampu kami. Terimakasih sudah bersedia datang.”
Doni pun beranjak. “Sebaiknya kalian benar-benar menangkapnya. Karena kalau aku yang menangkap si pelaku duluan, aku mungkin akan berakhir menonjoknya.”
Kak Widi hanya tersenyum. Aku menggigit bibir.