Aku tidak pernah terlalu memikirkannya sampai saat ini. Tapi, cuaca memang perkara yang penting bagi kehidupan manusia. Konon katanya, masyarakat negeri ini berwatak pemalas karena iklim tropis yang memanjakan. Kehidupan tak terlalu berbeda saat kau hanya menantikan hujan di masa kemarau, dan menantikan hujan reda saat kau mulai bosan berlindung di bawah atap. Insting bertahan hidup masyarakat negeri ini jadi tak terlalu tajam ketimbang negeri-negeri lain yang memiliki pergantian musim yang ekstrim.
Selalu ada hari esok untuk setiap hal karena kita tak punya tenggat waktu ketat berupa musim yang berganti. Namun, ada pula hal-hal yang mau tak mau harus kita lakukan hari ini, meski di negeri ini sekalipun. Seperti, mengajak dua adik sepupu jalan-jalan di hari Minggu yang cerah.
Hari Minggu bukan lah hari libur bagi keluarga pamanku, tempat kini aku berumah. Toko tetap buka di hari libur, lebih tepatnya, toko harus buka di hari libur. Paman dan Bibi memiliki toko kain di pasar di pusat kabupaten. Meski punya segelintir karyawan, mereka tetap turun langsung menjaga toko. Terkadang hanya paman, terkadang hanya bibi. Terkadang keduanya, terutama di hari penjualan tertinggi mereka, hari libur.
Aku sendiri beberapa kali menawarkan diri untuk membantu, tapi mereka tak pernah mengizinkan. Sebagai gantinya, aku bertugas mengasuh dua adik sepupuku yang masih bocah. Yang lebih tua, Tari, adalah anak perempuan yang duduk di bangku kelas 3 SD. Yang lebih muda, Hari, adalah anak laki-laki yang baru masuk sekolah dasar tahun ini. Selain kedua nama mereka yang berima, mereka juga mirip dalam sifat dan rupa. Dengan pengecualian saat lapar, mereka pada dasarnya adalah anak-anak yang manis dan penurut.
Hari ini, karena satu dan lain hal, paman dan bibi membawa seluruh penghuni rumah ke pasar. Tentu saja saat toko buka, kami bertiga, dua krucil dan aku, diusir. “Hanya kembali saat waktu makan,” atau begitu kata bibi. Jadilah, aku berjalan-jalan di pasar bersama Tari dan Hari. Setelah bosan, mungkin aku akan membawa mereka ke alun-alun. Rencanaku hari ini adalah membuat mereka capek sampai waktu makan tiba, mungkin setelah itu mereka akan mengantuk dan jatuh tertidur di kamar istirahat toko.
“Kak, kenapa orang itu topinya aneh?” Tari bertanya.
Oh, ya. Sifat lain dari dua adik sepupuku adalah mereka sama-sama terlalu aktif berbicara. Tari hanya sedikit lebih cerewet dari Hari karena ia punya kosakata lebih banyak.
“Iya, topinya aneh.” Hari menimpali.
Aku melihat ke arah yang mereka tunjuk. Sekitar dua puluh meter di depan kami, seorang pria sedang berbicara dengan seorang remaja laki-laki. Aku mengerti kenapa Tari dan Hari menyebut topi pria itu aneh. Pria itu sedikit mencolok karena mengenakan topi datar. Mengenakan topi datar di negeri ini sendiri bukan suatu kelaziman, mengenakannya di sebuah pasar di daerah yang jauh dari ibukota adalah ketidaklaziman. Selain topinya, pria itu juga mengenakan pakaian yang tak cukup umum di sini, kemeja korduroi dan celana kargo.
“Topi itu namanya topi datar,” ujarku. “Kalian mungkin baru pertama kali melihatnya, tapi di negara lain, topi seperti itu biasa dikenakan. Soal kenapa orang itu memakainya, mungkin itu selera berpakaiannya saja. Kurasa dia terpengaruh film.”
“Topi aneh untuk orang aneh,” ujar Tari.
“Kau tidak boleh menghina orang karena seleranya, Tari.”
“Topi datar? Datar seperti bumi?” Sahut Hari.
“Tidak Hari, berapa kali kakak bilang? Bumi itu bulat.”
Aku tidak ingin dua makhluk kecil ini bertindak terlalu jauh dengan menanyai langsung pria bertopi datar itu, jadi aku berusaha mengambil jalan yang lain. Namun, sudut pandanganku kemudian mengenali anak laki-laki yang sedang berbicara dengan pria bertopi datar itu. Anak pertama yang kukenal di sekolah. Anak yang menghilang dari sekolah tersebut sejak dua minggu lalu. Anak yang sempat dituduh teman satu kelasnya sebagai pencuri.
Entah karena dorongan apa, aku memutuskan menghampirinya. Aku sedikit memacu kecepatan jalanku sambil menggandeng Hari di sisi kiriku. Tari mengikuti di sampingnya.
“Danu!”
Yang kupanggil menoleh. Ia sedikit terkejut melihatku.
“Budi? Sedang apa di sini?”
“Uh, mengasuh dua sepupuku ini. Ini Tari dan Hari.”
“Oh. Halo.”
Kedua bocah itu menunduk dengan sopan. Untuk kemudian mata mereka kembali terpaut pada pria bertopi datar di sebelah Danu.
“Maaf, pak” Danu berkata pada si pria bertopi datar. “Bisa saya berbicara sebentar dengan teman saya?”
Pria itu mengangguk dan tersenyum ramah mempersilakan.
Danu mengajakku sedikit menjauh. Aku mengikutinya. Begitu kusadari, dua bocah yang bersamaku tertinggal. Mereka rupanya melaksanakan agenda mereka sendiri, bertanya-tanya pada pria bertopi aneh. Setelah menimbang-nimbang seberapa besar kemungkinan penculikan anak pada situasi seperti ini, aku memutuskan untuk membiarkan dan cukup mengawasi mereka dengan ekor mata.
“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini,” ujar Danu.
“Sama. Agak susah melihatmu di sekolah akhir-akhir ini.” Ujarku, berusaha tersenyum.
Danu terdiam sejenak. “Soal itu, aku ingin berterimakasih padamu.
Aku mengangkat alis. Walaupun, tentu saja aku tahu yang ia maksud.
“Terima kasih karena sudah meluruskan kesalahpahaman di kelasku terkait masalah kehilangan barang itu.”
Danu membungkukkan badannya.
Rasanya canggung menerima ungkapan terima kasih seperti itu dari teman sebaya.
“Tidak. Aku tak membantu banyak. Syukurlah masalah itu bisa terselesaikan.”
Danu kembali menegakkan badan. Ia kemudian tersenyum. Senyuman yang tulus. Meski begitu, aku menyadarinya, di balik senyum itu, wajah Danu telah berubah dari terakhir kali aku melihatnya. Ia kini memiliki wajah yang lelah. Jenis kelelahan yang seharusnya tak dipunyai seorang anak laki-laki yang masih bersekolah.
“Beberapa waktu lalu,” ujar Danu. “Mira dan beberapa teman lain menghampiriku ke rumah. Mereka meminta maaf dan menjelaskan kejadian sebenarnya. Juga bagaimana kau dan klubmu memecahkan itu semua. Aku cukup terkejut mendengarnya.”
Ia menatapku dan kembali tersenyum.
“Atau seharusnya aku tak terkejut. Lagipula, kau adalah murid yang berhasil memecahkan misteri petunjuk nomor delapan saat MPLS dan tak lama kemudian bergabung dengan klub misteri. Aku sebelumnya tak pernah menganggap serius hal itu. Sampai akhirnya, aku terbantu karena kemampuan istimewamu itu. Apa nama orang seperti itu? Detektif?”
Aku hanya tersenyum kecut.