Aku tidak pernah paham dengan bagaimana gosip menyebar. Kabar burung, tidak dibawa oleh burung, -pun burung dalam frasa ‘kabar burung’ juga bukan burung dalam pengertian unggas-. Aku jelas tak biasa bergosip. Dan pada momen yang jarang aku terlibat di dalamnya, aku tetap tak memahami bagaimana ia bekerja.
Maksudku, atas keperluan apa manusia membuat rantai informasi rumit soal hal-hal yang tak penting?
Pedoman Hidup Damai nomor 13 oleh Budi Mahardika: Hindari gosip.
Sebuah gosip, saat ini sedang menyebar di sekolah. “Klub misteri yang didirikan oleh Juang dari kelas 11-B, bisa memecahkan masalah apapun. Selain Juang, ada juga sepupunya, Dini dari kelas 10-B, murid teladan anak Bupati Rangkat. Anggota lainnya ada Widi dari kelas 11-C, teman dekat Juang, dan Nissa dari kelas 10-C, teman dekat Dini. Ada pula anak bukan siapa-siapa bernama Budi. Mereka membuka jasa konsultasi masalah yang berbau misteri. Faktanya, mereka baru saja memecahkan masalah barang-barang hilang di kelas 10-D.”
Atau begitu gosip yang mungkin menyebar. Mungkin tidak sedetail itu. Aku tidak tahu. Aku tidak ahli bergosip.
Aku sendiri baru mengetahui soal gosip itu dari Oki. Dia bilang, “Selamat, kawan! Kau bisa jadi akan terkenal sebelum aku!”
Aku tidak tertarik soal dia jadi terkenal. Aku sendiri juga tidak tertarik jadi terkenal.
Pedoman Hidup Damai nomor 8 oleh Budi Mahardika: “Dalam banyak kasus, popularitas adalah kebalikan dari kehidupan damai.”
“Apa kau mendengarku?”
Sebuah tangan berkibas di depan mukaku. Entah sejak kapan, Dini ada di hadapanku.
“Apa yang kau katakan?”
“Kak Juang ingin kita berkumpul sore ini.”
Sebuah pertemuan mendadak di hari yang bukan jadwal kegiatan klub. Aku tidak tahu karena masih bersekolah, tapi mungkin ini rasanya dipanggil rapat di luar jadwal oleh bos kantor.
“Apa kau tahu kenapa?”
Dini menggeleng. “Dia tidak mengatakan apa-apa.”
Tipikal Kak Juang. Aku tahu klub kami adalah klub misteri, tapi itu bukan berarti dia perlu bertindak penuh misteri.
Dini tiba-tiba berbisik dengan tingkah aneh. “Apa kau sudah tahu?”
“Soal?”
“Sepertinya, kita sekarang cukup terkenal.”
Apa Dini juga suka bergosip?
“Kau sudah terkenal sejak awal,” balasku.
Dia tampak berpikir. “Itu benar.”
Dia tidak menyangkal. Terkadang, aku tak paham dengan anak perempuan bernama Dini ini.
“Tapi, ini berbeda! Rasanya lebih menyenangkan karena kita terkenal setelah melakukan sesuatu.”
“Kalau kau ingin terkenal setelah melakukan sesuatu, kau bisa mulai dengan mengencingi kantor guru.”
“Eh?” Dini mengerutkan kening.
“Baiklah. Ruangan klub sore ini, bukan?”
“Ya. Aku akan berangkat denganmu untuk memastikan kau tidak datang telat.”
Ini kan bukan jam pelajaran? Kenapa aku tidak boleh telat?
“Aku tidak akan telat.”
Dini tersenyum. “Aku akan tetap berangkat denganmu.”
Sial.
***
“Selamat karena sudah memecahkan kasus perdana klub misteri dengan sukses!” Kak Juang berseru sambil menaikkan tangan, mengajak kami bertepuk tangan.
Kami menurutinya.
“Terima kasih atas kerja keras kalian. Sore ini aku mengumpulkan kalian untuk menyampaikan itu dan hal lainnya.”
Kak Juang kembali duduk.
“Tapi, sebelum itu. Mari kita berfoto untuk kenang-kenangan!”
Kak Juang mengeluarkan kamera dan sebuah tripod. Kali ini, ia menggunakan kamera digital. Dari penampakannya, kuyakin harga kamera itu dan lensanya cukup untuk membeli sebuah motor matic, Ia kemudian mengarahkan kami untuk berpose membelakangi dinding sambil menata posisi kamera. Kami berempat mengikuti arahannya dengan patuh.
Posisi kami adalah: Nissa berada di tengah, Kak Widi berada di samping kanannya, dan Dini berada di samping kirinya. Kak Juang menyuruh kami bergeser sedikit ke kiri, memberi ruang untuknya di samping kanan Kak Widi. Aku sendiri berdiri dengan kaku di samping kiri Dini.
“Aku harap gulungan filmnya tak habis kali ini,” komentarku setengah berbisik.
Dini tertawa kecil mendengarnya.
“Aku sudah memastikan masih ada bingkai foto yang cukup,” ujar Kak Juang.
Rupanya, dia mendengar kami.
Setelah memastikan kami berada di posisi yang pas, Kak Juang berseru. “Kalian boleh berpose bebas. Asal jangan acungkan jari tengah. Gestur itu tidak sekeren yang para berandalan kira. Hanya bagus di momen tertentu.”
Kurasa tak ada satupun di ruangan ini yang berpikiran melakukan pose itu. Aku sendiri hendak mengangkat jempol, tapi mengurungkan diri. Aku tidak mau diteriaki membosankan oleh fotografer handal SMAN 1 Perjuangan.
Kak Juang setengah berlari menuju posisinya. Setelah beberapa saat, lampu kilat menyala. Setelah beberapa kali rana berbunyi, Kak Juang berkata, “Sudah selesai.”
Dini, Nissa, dan Kak Widi menghampiri Kak Juang dan kameranya karena penasaran dengan hasilnya. Aku kembali duduk di tempatku semula.
“Hapus yang ini, mukaku terlihat aneh.” “Ah, yang ini bagus.” “Pastikan Kak Juang menghapus yang ini.” “Oh, yang ini juga bagus.” “Kenapa pose Budi selalu sama?”
Komentar-komentar berlanjut untuk beberapa menit. Tak lama kemudian, Kak Juang memarahi para anak perempuan itu dan menyuruh mereka kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Kau harus mencoba pose lain, lain kali,” ujar Dini yang duduk di sebelahku.
Aku menguap.
“Baiklah,” kata Kak Juang begitu ia duduk. “Sekarang kita masuk ke topik pembicaraan.”
Kak Juang tiba-tiba menunjukku. “Budi! Menurutmu, apa tujuan dari klub ini berdiri?”
Aku menggaruk belakang kepalaku. “Menghabiskan waktu?”
“Kurang tepat! Nissa, apa tujuan dari klub ini menurutmu?”
“Memuaskan hasrat akan misteri?”
“Juga kurang tepat! Widi?”
“Agar kau punya alasan untuk mangkir dari tugas Osis?”
“Sama sekali tidak tepat! Dini?”
“Untuk membantu orang lain?”
“Tepat! Tepuk tangan untuk Dini!”
Kami bertepuk tangan. Aku melakukannya setengah hati. Terdengar tidak meyakinkan karena datangnya dari Kak Juang. Aku tidak tahu dia punya kemuliaan dalam dirinya.
“Tujuan dari klub misteri ini tak hanya untuk menghabiskan waktu, memuaskan hasrat akan misteri, atau agar aku punya alasan agar bisa mangkir dari tugas Osis.”
Jadi, kesemua alasan itu juga benar?
“Lebih dari itu, alasan dari klub ini berdiri adalah agar kita bisa membantu orang lain. Oleh karena itu, sebagai ketua klub misteri, aku bangga pada kasus perdana kita. Tak hanya memecahkan misteri, kalian sejatinya juga telah membantu orang lain.”
Apa Kak Juang sebenarnya punya ambisi mengemban misi agama?
“Meski begitu..” Kak Juang mengubah nada bicaranya. Ia tampak berusaha serius. “..kalian juga harus mengingat ini. Kalian harus memilah dengan baik kasus apa yang bisa klub ini tangani. Murid SMA seperti kita punya banyak keterbatasan. Ada beberapa hal yang tak bisa kita tangani sendiri. Jadi, jika kalian merasa ragu, sebaiknya kalian bertanya padaku lebih dahulu, apa kalian paham?”
“Paham.” Kami menjawab.
Aku tak punya pertentangan dengan apa yang dia sampaikan. Hanya saja, Kak Juang berkata seolah kami akan menerima banyak permintaan kasus di masa depan. Mana mungkin, kan?