Klub misteri kembali mengadakan pertemuan rutinnya. Kegiatan ini memang sudah layak disebut sebagai rutinitas karena aku mulai merasa terbebani. Tentu ada hal-hal yang menyenangkan, seperti koleksi bacaan pinjaman dari Kak Juang, yang baru kujamah sebagian kecilnya. Namun, ada pula masa di mana ruangan klub terasa sesak. Seperti sekarang, saat semua orang memasang tampang muram.
Kali ini hanya ada trio anak kelas sepuluh di ruangan klub misteri. Kak Juang tak perlu disebut, tapi ketidakhadiran Kak Widi hari ini patut disesalkan. Mengingat beratnya kasus kali ini, aku berharap ada senior yang akan mengambil peran dalam memandu kami. Sayangnya, kami hanya bisa mengandalkan masing-masing sore ini.
Kemarin, seorang kakak kelas meminta kami memecahkan sebuah permasalahan. Daripada memecahkan, tugas kami sebenarnya hanya mengkonfirmasi suatu dugaan. Terdengar tak menantang, tapi faktanya, permintaan kali ini cukup berat untuk membuat Dini memasang wajah muram lebih dari semenit, batas normalnya. Ini pertama kalinya aku melihatnya begitu. Aku tahu manusia punya banyak sisi. Sebagiannya kerap tersembunyi, dan bila nampak, menyesakkan untuk dilihat.
Tak banyak yang bisa dilakukan sebenarnya. Penyelidikan langsung tak memungkinkan jika kejadiannya saja masih berupa spekulasi, dan justru kami diminta mengecek apa kejadiannya benar-benar ada sejak mulanya. Sisi positifnya, kami punya terduga pelaku. Masalahnya tak mudah untuk meminta pengakuan. Apalagi tanpa bukti. Dan mencari bukti pada perkara dan tempat kejadian perkara yang tak jelas hanya membuat kami kembali ke titik awal.
“Kurasa kita harus menghadapi kenyataan sekarang,” ujarku.
Lebih baik, mereka menerima pil pahitnya sekarang.
Kedua anak perempuan di ruangan menatapku dengan sedikit nanar. Wajah memelas mereka sudah seperti janda korban perang.
“Apa yang Budi bicarakan?” Dini bertanya.
“Aku membicarakan kasus ini.”
Dini terdiam. Nissa tak menanggapi. Aku memutuskan untuk melanjutkan.
“Kita harus mengakui bahwa kita sedang buntu saat ini. Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan hanya satu.”
“Yaitu?” Nissa menimpali.
“Kembali ke titik awal. Kita harus memahami posisi kita dari garis mulai, meyakinkan lagi ke mana menuju, dan melihat jalan yang memungkinkan untuk ditempuh.”
“Titik awal, ya.” Dini bergumam. “Jadi, kembali ke teka-teki Kak Juang waktu MPLS?”
“Itu..terlalu jauh.”
Nissa mendesah, kemudian mencecar, “Kau memang suka berbelit-belit. Pada dasarnya, kau ingin mengatakan bahwa kita harus mengecek realita dan merendahkan ekspektasi, bukan?”
Aku mengangkat bahu. “Aku tidak mengatakannya seperti itu.”
“Baiklah, kalau begitu, mari kita dengarkan pandangan dari anggota andalan klub misteri, Budi.”
Dia tidak perlu bersikap sarkastik di situasi seperti ini. Tapi, kurasa, itu cara Nissa untuk meredakan ketegangan. Aku berdehem, membersihkan tenggorokan.
“Baiklah. Pertama-tama, jangan lupa bahwa tugas klub misteri hanya satu. Menurut kalian apa itu?”
“Menolong orang lain?”
“Itulah kesalahan kita saat ini, menolong orang lain bukanlah tugas kita, tapi motivasi yang sebaiknya kita miliki.”
“Apa bedanya?” Tanya Dini.
“Motivasi adalah alasan kita melakukan sesuatu. Pertanyaanku adalah apa sebenarnya ‘sesuatu yang dilakukan oleh klub misteri?”