Berkunjung ke rumah teman selalu merupakan perkara yang serius. Saat kecil, masalah yang perlu diperhatikan mungkin hanya bagaimana menjaga sikap dan tidak sampai memecahkan barang di rumah orang. Begitu lebih besar, kita jadi lebih memikirkan hal-hal yang tak tampak. Semakin kita dekat dengan tuan rumah, biasanya level kecanggungan semakin berkurang. Tapi, terkadang level kedekatan juga tidak membantu saat kau sadar ada kesenjangan sosial yang jelas nampak dari fasad rumah temanmu dan gaya hidupnya.
Mulai dari gerbang rumahnya, tidak, mulai dari masuk ke sedan hitam itu, aku sudah mulai mengukur kesenjangan di antara kami. Aku tahu sejak awal, dia jelas berbeda denganku. Maksudku, dia diantar-jemput dengan mobil ke sekolah, sementara aku naik sepeda membuntuti Oki. Yang tak kusangka mobil sedan yang sudah kerap kulihat itu dilengkapi kulkas portabel di dalamnya. Saat dipersilakan naik ke mobil itu, aku sempat mencerna benda apa itu sampai akhirnya menyadari fungsinya. Kulkas di mobil adalah level kekayaan yang hanya bisa kubayangkan ada di film-film barat.
Maksudku, ada level kekayaan yang membuatmu mengatakan “Oh” dan ada pula yang membuatmu mengatakan “Wah”. Gadis itu jelas ada di kelompok yang kedua.
Seorang satpam dengan sigap membukakan gerbang, lalu menundukkan kepala pada tuan rumah yang tidak biasanya duduk di depan. Begitu turun, kami disambut oleh seorang perempuan muda yang sepertinya adalah asisten rumah tangga. Tadinya, kukira akan ada pelayan yang menyambut. Tapi, melihat perempuan tersebut repot-repot menyambut putri tuan rumah, kurasa peran ART di tempat ini mirip dengan pelayan di rumah bangsawan.
Di balik pagar yang rapat tak bercelah dan gerbang hitam yang kokoh itu adalah rumah putih bergaya modern dengan banyak ruang lega. Tak terlalu nampak dari depan, tapi dari yang kudengar, area rumah ini lebih luas ketimbang sekolah kami. Rasanya otakku tak bisa bekerja dengan baik di sini. Ada begitu banyak hal yang tak familiar sehingga benakku berhenti berusaha mengenali situasi. Adaptasi jelas tak memungkinkan, jadi alam bawah sadarku berusaha menipu diri dengan menganggap bahwa apapun yang ada di sini adalah realita alternatif.
“Pakai saja sandalnya.” ART perempuan itu berkata. Jelas ditujukan pada anak-anak udik yang dibawah oleh si tuan putri.
Penanda tingkat kekayaan lainnya.
Putri tuan rumah yang diiringi oleh ART-nya memandu kami menuju suatu tempat. Tampaknya, sebuah ruang pertemuan. Cukup banyak orang berlalu-lalang, aku bertanya-tanya apakah memang rumah Dini selalu ramai seperti ini. Kemudian aku menyadari, kebanyakan orang yang berseliweran itu adalah pria berkaos dan membawa perkakas, aku pun menyimpulkan sepertinya ada perbaikan.
Aku duduk dengan nalar setengah membeku saat seseorang menyuguhkan minuman. Jus atau sirup, sepertinya. Aku tak bisa menerka, karena segala kemungkinan jadi tak aneh di sini. Bisa jadi cairan berwarna oranye dalam gelas ini adalah ambrosia. Gawat, apakah manusia biasa sepertiku akan terbakar begitu meminumnya?
“Terimakasih Bi Ikah.” Si tuan putri berucap.
“Sama-sama, non.”
Mendengar nama yang familiar menyadarkanku. Aku memperhatikan perempuan paruh baya yang baru saja menyuguhkan kami minuman itu. Ia sedikit gemuk dan memiliki muka yang ramah. Ada tahi lalat di pipinya sebelah kiri. Tindak-tanduknya terukur dan sikapnya nampak terjaga, menunjukkan pengalamannya yang panjang. Ia segera pamit undur diri begitu urusannya selesai. Entah kenapa, aku merasakan kedekatan dengan sosok bibi tersebut. Mungkin semata karena aku pernah mendengar soalnya.
Tuan rumah, beranjak untuk mengambil sesuatu.
“Aku tidak akan pernah terbiasa dengan tempat ini,” Nissa berbisik.
“Bukankah kau sudah sering ke sini?” Balasku.
“Tidak. Ini baru kali ketigaku. Dini yang lebih sering datang ke rumahku.”
Jadi, Nissa sebagai sahabat terdekatnya pun jarang kemari. Jika begitu, kegugupanku sudah pasti bisa dimaklumi. Kak Widi sendiri juga tampak gugup, aku belum pernah melihatnya seperti itu sebelumnya. Satu-satunya yang tak tampak terganggu tentu saja adalah pemilik rumah sendiri dan saudara sepupunya yang acuh tak acuh seperti biasa.
Dini kembali dengan sebuah buku catatan dan pena. Klub misteri kembali mengadakan agenda pentingnya, rapat koordinasi. Melihat skala kasus yang kami hadapi kali ini, Dini mengusulkan agar kami sedikit mengubah suasana dengan berkumpul di tempat yang berbeda. Dia pun mengusulkan rumahnya. Saat aku hendak beralasan soal jarak, rupanya ia sudah menyiapkan solusi. Kami semua dijemput dari sekolah, dan akan diantarkan pulang masing-masing. Rumahku dan Kak Widi tidak searah, jadi kami akan diturunkan kembali ke sekolah.
“Silakan kawan-kawan, kalian boleh sambil makan dan minum.”
Setelah kami akhirnya menyentuh apa yang disuguhkan Bi Ikah tadi, Dini melanjutkan.
“Baiklah. Apa sebaiknya kita mulai?” Dini melirik ke arah Kak Widi.
Kak Widi yang terlambat menyadari, tergagap memulai.
“O-oke. Apa kalian sudah siap?”
Siap untuk apa?
“Kalau begitu, kita bisa mulai kegiatan klub kita hari ini. Ada sedikit..banyak yang berbeda karena kita tak menggunakan ruangan klub kita seperti biasa. Apapun itu, kita bisa mulai dari menghimpun informasi terlebih dahulu. Baru setelah itu, kita bisa lanjutkan dengan jajak pendapat.”
Kami mengangguk. Nissa mengeluarkan buku catatannya dan membacakannya. Aku sudah pernah mendengarnya, jadi aku memutuskan untuk fokus pada informasi milikku yang kuhimpun sendiri.
“Terimakasih, Nissa. Apa ada yang mau menambahkan?”
Dini mengangkat tangan. “Dari kemarin, aku memikirkan ini.” Ia melirikku, membuatku mengakat alis. “Aku tahu ini bukan tugas kita, tapi, jika memang ada perundungan yang terjadi, apa tidak sebaiknya kita melaporkannya ke pihak sekolah?”
Setelah jeda beberapa saat, Kak Juanglah yang menjawab. “Kurasa itu akan percuma.”
“Kenapa?”
Kak Juang menghela nafas dan berbicara dengan gamblang. “Karena sekolah tidak akan melakukan apapun.
Tak ada bukti. Tak ada saksi. Selain itu, Korban pun sekarang mangkir dari sekolah. Tak ada yang bisa mengkonfirmasi. Belum kalau kita bicara soal posisi sosi… Pada intinya, melapor ke sekolah saat ini, bisa jadi malah merugikan kita.”
Raut wajah Dini memuram.
“Baiklah.” Kak Widi kembali mengambil alih. “Memang sangat disayangkan, tapi mari kita kembali ke fokus pembahasan. Tujuan kita adalah memenuhi permintaan Nadia. Apa yang lain ingin menambahkan sesuatu?”
Aku mengangkat tangan. Semua orang melirik ke arahku.
“Boleh aku ke kamar mandi?”
Pemirsa memasang muka kecewa. Dini tersenyum.
“Sayangnya, toilet di lantai satu sedang diperbaiki. Kau bisa menggunakan toilet pegawai di luar. Kau bisa berbelok ke kiri dan keluar melalui pintu belakang. Atau kau bisa bertanya ke pekerja di sini.”