Ada yang mengatakan bahwa, “tak mempersiapkan diri adalah persiapan untuk gagal.”
Aku cukup setuju. Aku sendiri cenderung melakukan persiapan sebelum kegiatan apapun yang punya dampak bagi kehidupan. Ujian, misal. Atau saat harus berbicara langsung dengan seorang kakak kelas. Terutama, jika topiknya berkemungkinan tinggi akan menyulut emosi yang bersangkutan. Aku tak masalah dengan makian, tapi aku sebisa mungkin menghindar untuk terlibat intimidasi fisik. Aku cukup pengecut. Kurasa aku akan menangis setelah pukulan pertama.
Pedoman Hidup Damai nomor 3 oleh Budi Mahardika: Jika ada potensi konflik di luar kendalimu, larilah.
Karena paksaan, aku terpaksa menuruti rencana bodoh ini. Aku akan mengutuk Kak Juang dan tiga generasi penerusnya jika ini tak berjalan sesuai rencana. Meski aku sudah memodifikasi rencana ini 50 persennya, tetap saja ini adalah pertaruhan. Aku benci pertaruhan. Pertaruhan tak boleh dibuat sembarangan. Aku sudah membatasi jatah pertaruhanku dalam satu kali masa hidup. Menggunakannya di permulaan masa remaja rasanya adalah kebodohan.
Setidaknya, deskripsi yang diberikan oleh Kak Widi dan Kak Juang memang tepat. Manusia bernama Rendy ini hampir tak pernah sendirian. Di manapun ia berada, bisa dipastikan dia bersama seseorang, atau seseorang bersama dia. Saat dia benar-benar sendiri, mungkin hanya di toilet. Dan di situlah aku menunggu.
Terdengar menyeramkan memang, tapi itu satu-satunya pilihanku.
Sun Tzu mengatakan bahwa serangan terbaik adalah serangan yang tak diharapkan.
Sun Tzu mungkin tidak mengatakan hal itu, tapi kuyakin, seseorang yang ucapannya sering dikutip pernah mengatakannya. Kak Rendy adalah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Paskibraka adalah simbol dari keteraturan formal. Saat berseragam, mereka akan menjaga sikap dan kehormatan. Tapi, ada momen di mana anggota Paskibraka akan lengah. Kak Juang yang memberitahuku soal ini, aku tak yakin harus percaya sepenuhnya atau sepenuhnya tak percaya. Sekarang, sudah terlambat untuk mundur.
Tugas utama Paskibraka tentu saja berlangsung saat upacara bendera. Mereka berlatih untuk momen itu. Dan untungnya di sekolah, -aku tidak percaya mengatakan ini-, upacara diadakan seminggu sekali. Menurut informasi terpercaya dari Kak Widi, Kak Rendy baru bergabung dengan Paskibraka di tahun ini. Dan kebetulan, hari ini adalah hari pertamanya bertugas.
Aku selalu senang dengan kebetulan. Jika kebetulan yang menguntungkan terjadi, maka ada kemungkinan tinggi tujuan lebih mudah tercapai. Kebetulan adalah pemenuhan dari faktor di luar kendali manusia. Jika ia muncul, maka sisanya adalah memainkan peran sebagai manusia untuk berusaha.
Sebagaimana semua upacara bendera di dunia, peserta upacara di sekolah kami juga diharuskan menghadap ke bendera. Dan kebetulan lainnya, tiang bendera kami berada di depan antara gedung kelas satu dan kelas tiga. Paskibraka sendiri bersiaga di sisi kanan. Yang artinya, di ujung kanan gedung kelas satu. Tak jauh dari situ, adalah sebuah bangunan yang dibagi menjadi dua ruas, satu berpenanda pria, satu berpenanda wanita. Toilet.
Toilet luar gedung tersebut jarang digunakan oleh murid saat jam efektif. Biasanya lebih kerap digunakan oleh tamu. Di situlah aku berencana mengeksekusi rencanaku.
Ada pasukan dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Sebagaimana pasukan lainnya, Paskibraka juga punya ciri khas yang sama. Menjaga sikap formal yang kaku di depan publik. Dan bagi Paskibraka, sikap formal itu juga mencakup bagaimana mereka bergerak saat bertugas. Menjaga sikap itu melelahkan. Itulah kenapa, setelah berhasil lepas dari situasi tersebut, orang, pemula khususnya, cenderung menjadi lega. Dan lega berarti menurunnya kewaspadaan.
Hari ini, aku melapor pada ketua kelasku sesaat sebelum upacara dimulai bahwa perutku sakit tiba-tiba. Aku terpaksa ijin mangkir dari upacara dan akan berusaha ikut jika memungkinkan. Tak ada orang yang cukup tega menahan orang lain dari membuang hajatnya. Jadilah aku menghuni toilet paling ujung saat upacara berlangsung.
Bisa mangkir dari upacara adalah keistimewaan, sampai kau sadar tinggal terlalu lama di toilet terasa seperti hukuman. Saat aku mulai tak terganggu dengan bau samar pesing yang dari tadi tak hilang kusiram, seseorang masuk ke dalam toilet. Menurut perkiraanku, upacara baru saja usai. Perkiraan yang segera terbenarkan karena aku mendengar bising murid yang sedang membubarkan diri.
Aku mendengarkan suara sepatu dengan sol keras memasuki salah satu bilik toilet. Lalu, bunyi air, bunyi bilasan, dan kemudian setelah jeda beberapa detik, bunyi pintu kembali dibuka. Saat itulah, aku keluar.
Itu dia! Aku perlu berterima kasih pada Kak Widi. Petugas medis yang sudah diam-diam memberikan teh hangat pada seorang anggota Paskibraka pemula sebelum upacara. Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya, yang bisa kupastikan, dia mungkin berhasil melakukannya.
Anggota Paskibraka baru, dengan penanda nama “Rendy” dibordir di seragamnya, sedang merapikan diri di depan cermin. Aku mengambil tempat di sampingnya. Ia cukup terkejut melihat seseorang tiba-tiba muncul dari toilet. Mulai sekarang, permainan dimulai. Aku mencuci tanganku.
“Kak Rendy, bukan?” Ujarku sambil tetap menatap wastafel.
Kak Rendy terkejut untuk kedua kalinya. “Ya. Kau siapa?” Ia menatapku curiga. “Tunggu, apa kau tidak ikut upacara?”
Aku mengabaikan pertanyaannya. “Apa kau kenal murid kelas dua bernama Mahan?”
Kak Rendy terkejut untuk ketiga kalinya.
“Apa-apaan..Siapa kamu?”
Waktuku terbatas, aku perlu cepat.
“Apa Kak Rendy tahu alasan Kak Mahan tak lagi masuk sekolah?”
“Kubilang, kamu ini siapa?!”
“Bukan siapa-siapa.” Aku terdiam sejenak penuh arti. Kali ini aku menatap mata kakak kelas berseragam putih itu. “Hanya murid yang kebetulan tahu apa yang dilakukan Kak Rendy dan kawan-kawan terhadap Kak Mahan.”
Muka anak laki-laki di hadapanku memerah. Ia nampak masih memproses apa yang terjadi, tapi sepertinya, kebingungannya sekarang bertransmutasi menjadi kemarahan.
“Apa yang kau katakan?! Kau ini siapa!?” Kak Rendy akhirnya berseru.
Suaranya meninggi, tapi mungkin tak mencapai lima oktaf. Ia tak cukup bodoh untuk berteriak lebih keras dalam toilet sekolah.
Seseorang tiba-tiba masuk. Terdengar bunyi sol keras. Langkahnya tetap tenang, meski ia seharusnya mendengar teriakan temannya barusan.
“Ada apa, Rendy? Suaramu terdengar sampai luar.”
Aku sedikit tersenyum. Aku sebal sekaligus lega karena Kak Juang benar. Orang ini akan muncul. Ia satu-satunya dari kumpulan Kak Rendy sekarang yang juga anggota Paskibraka. Lebih senior dan mungkin dia lah yang mengajak kawan barunya untuk bergabung tahun ini. Dan dia, menurut informasi Kak Juang dan meminjam istilah Kak Widi, adalah alpha male-nya. Jika Rendy terlihat seperti penyemu dengan seragam putihnya, orang yang baru masuk ini terlihat seolah seragam hanya pembungkus dari wibawanya.
“Raka. Bocah kelas satu ini mengatakan sesuatu yang tak masuk akal. Dan dia sepertinya tidak ikut upacara.”
Ketenangan Kak Rendy kembali begitu anak laki-laki bernama Raka itu hadir.
Kak Raka menatapku dingin. Ia tampak menganalisa apa yang sedang dihadapinya. Aku tentunya, tidak begitu menarik untuk dianalisa. Ia kemudian tersenyum dan bertanya, “Apa kau bisa mengulang apa yang kau katakan pada temanku?”
Belum sempat aku menjawab, ia meneruskan. “Tunggu, aku mengenalmu. Bukankah kau anak kelas satu yang bergabung dengan klub misteri. Kau berteman dengan Andini, bukan?”