Bisakah Kita Melewatkan Perjumpaan

efde
Chapter #11

Bab 10: Kekerasan Membutuhkan Pelaku (Bagian 5)

Kak Widi menyodorkan benda berbentuk persegi ke tengah meja.

Menyenangkan juga menjadi pihak yang menerima hasil kerja keras orang lain, pikirku.

“Seperti kusampaikan sebelumnya, Aku dan Dini pergi ke tempat kursus itu. Tadinya, Dini akan nekat meminta rekaman CCTV pada pihak kursus, sayangnya, mereka tak terlihat punya CCTV yang memadai. Lagipula, rekaman CCTV selalu dihapus berkala. Untungnya, saat kami masuk ke sana, aku mengenali wajah seseorang. 

Sasa, teman sekelasku dulu saat SMP rupanya juga mengambil kursus di tempat itu. Dia mengenali Raka, Rendy, dan Mahan sebagai sesama peserta kursus. Dia setuju untuk memberi kesaksian. Aku juga sudah minta izin padanya untuk merekam.”

“Aku tidak banyak bicara di situ,” aku Dini. “Tapi, Kak Widi berhasil mendapatkan informasi yang bagus.” Dia berkata dengan ceria.

Terima kasih untuk bocorannya, nona Dini. Kau adalah tipe yang akan dibenci komunitas pecinta film.

Nissa mengambil benda persegi panjang itu. “Boleh kuputar?”

Kak Widi mengangguk mempersilakan.

***

“Tapi, sudah lama kita tak bertemu. Bukankah terakhir kita bertemu saat kau sedang memotret di jalan?”

“Ah, benar. Itu tahun lalu. Saat itu ada kegiatan memotret bersama klub fotografi di sekolahku.”

Jeda sejenak.

“Para anak laki-laki itu ya. Jadi, apa ada sesuatu yang terjadi?”

“Mahan. Anak kurus berambut poni itu tak lagi masuk sekolah. Seorang gadis sahabatnya, meminta bantuan kami untuk mencari tahu alasannya. Kami curiga di antara alasannya adalah perundungan yang dilakukan para murid lelaki lain dari sekolah kami, di tempat kursus kalian. Kami hanya butuh mengkonfirmasi hal itu.”

Terdengar desahan nafas.

“Apa aku bisa melihat foto mereka lagi?”

Jeda sejenak.

“Aku memang mengenali mereka. Soal perundungan itu.. kurasa memang benar.”

“Apa kau bisa menjelaskannya?”

Sesuatu disorongkan di atas meja.

“Anak berambut cepak ini, bersama beberapa lainnya, memang sering menjahili anak bernama Mahan. Dia sering melempari anak malang itu dengan kertas. Mengolok-oloknya, atau bahkan menyakiti secara fisik, saat di lorong atau di tempat lain yang tak terawasi pengajar. 

Kalau yang satunya, yang tampak bermuka dua, aku sendiri tak pernah melihat dia melakukan apapun. Tapi, dia selalu di situ. Di tempat kejadian. Dia seperti pemimpin mereka yang tak mau tangannya ikut kotor.

Kurasa beberapa teman kursus lain bisa memberikan kesaksian kalau kau mau.”

“Kurasa itu sudah cukup. Apa kau benar tak keberatan kami menggunakan perkataanmu sebagai bukti?”

“Apa yang akan kalian lakukan dengan bukti itu?"

"Kami hanya akan memperdengarkannya pada gadis itu. Uhm, mungkin juga kepada anggota klubku yang lain.”

“Klub fotografi?”

“Klub misteri.”

“Aku masih tak mengerti itu klub apa.”

Jeda sejenak.

“Apapun itu, aku tak keberatan jika cuma hanya itu. Setidaknya, itu yang bisa kulakukan. Aku juga menyesal tak melakukan apa-apa selama ini.”

Jeda sejenak.

“Sampaikan permintaan maafku untuk gadis itu. Atau Mahan, kalau kalian bisa menemuinya.”

“Akan kami usahakan.”

Jeda cukup panjang.

“Sebelum kita sudahi. Boleh saya bertanya satu hal?”

“Tentu saja. Siapa namamu tadi?”

“Saya Dini, kak.”

Lihat selengkapnya