Aku akhirnya kembali pada kehidupan membosankan sebagai murid sekolah. Klub misteri sedang libur. Itu artinya, aku tak punya kegiatan tambahan selepas jam pelajaran. Seharusnya, aku bisa pulang lebih cepat hari ini. Namun, setelah beberapa minggu selalu pulang cukup sore, sekarang jadi terasa aneh untuk pulang cepat. Rasanya seperti hendak cabut dari kegiatan. Maka, jadilah aku menuju tempat itu lagi. Suaka pertamaku di sekolah ini, perpustakaan.
Ruang klub sebenarnya juga menyenangkan. Tapi, ruang perpustakaan dua kali lebih menyenangkan. Setidaknya, tak ada orang yang akan memaksaku memberikan pendapat di sana. Aku sedikit bersenandung. Sepertinya, aku lebih senang dari yang kuduga karena tanpa sadar, tiba-tiba aku sudah berada di depan pintu perpustakaan. Aku pun membuka pintu, hanya untuk membuat kesenanganku tergoyahkan.
Aku melihat sosok anak perempuan yang kukenal sedang duduk di salah satu bangku. Bangku yang sama yang dulu kududuki saat kami berbincang soal kejadian aneh di rumahnya. Melihatnya di sini membuatku menghadapi dilema.
Apa aku sebaiknya keluar lagi? Tapi, aku sudah sejauh ini.
Apa aku sebaiknya berteriak kebakaran dan membuat semua orang, termasuk anak perempuan itu, keluar ruangan? Tidak, itu terlalu berlebihan.
Apa aku sebaiknya pura-pura tak melihatnya dan melenggang begitu saja? Ya, itu pilihan yang lebih masuk akal.
Aku pun berjalan tanpa suara, berusaha tak menarik perhatian siapapun. Sayangnya, keberuntunganku berusia pendek.
“Budi!” Dini berseru pelan seraya melambaikan tangan.
Sekarang, aku tak punya pilihan selain menghampirinya.
“Dini. Sedang apa?”
“Aku sedang bosan. Jadi, kuputuskan untuk membaca di sini.”
“Kau tidak dijemput?”
Dini tersenyum kecut. “Aku tidak memberitahu Pak Tegar kalau kegiatan klub kita diliburkan selama seminggu ini. Awalnya karena lupa, tapi menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah kita ternyata menyenangkan juga.”
Saat aku tak memperhatikan, rupanya suakaku ini telah diambil alih.
“Apa kau suka perpustakaan?” Tanyaku setengah hati sambil mengambil tempat duduk di hadapan Dini.
“Ya. Perpustakaan adalah tempat ketiga favoritku saat ini.”
Jawaban yang tak kuduga.
“Benarkah? Apa nomor 1 dan 2?”
Dini tampak ragu-ragu.
“Apa itu rahasia? Kau tidak harus menjawabnya.”
Aku juga tidak akan mengatakan bahwa aku juga menganggap perpustakaan sebagai suaka. Meski tempat ini sendiri bukan tempat tersembunyi atau semacamnya.
“Tidak apa-apa. Karena ini Budi, aku akan mengatakannya.”
Aku mengerutkan kening. Dini dengan cepat melanjutkan.
“Yang pertama adalah suatu titik di sebuah tanggul tepi sungai. Tempat itu dekat dengan rumah kerabatku, Kak Juang lah yang pertama kali menunjukkannya. Budi.. dan yang lain harus mencoba ke sana. Tempat itu sangat indah di musim tertentu.”
Dini terdengar antusias menceritakannya. Sepertinya, dia pernah menyebutkan soal tempat itu sebelumnya. Aku lupa tepatnya.
“Dan yang kedua,” Suara Dini memuram. “Adalah ruangan klub misteri. Belakangan ini aku menambahkannya sebagai tempat favorit. Sayang sekali, kita harus menjauh untuk beberapa waktu.”
Aku tidak menyangka dia akan menyebutkan tempat itu. Karena suasana jadi canggung, setelah beberapa saat, aku memutuskan mengeluarkan buku yang kubawa. Yah, selama aku bisa membaca, seperti ini juga tak buruk.
“Kau masih membaca koleksi Kak Juang itu?”
Sampul buku yang belum setengah terbuka, menutup kembali.
“Ya. Ada banyak yang menarik.” Aku berujar. Dan terlalu sedikit kesempatan untuk membaca.
“Judul apa yang sedang kau baca?”
“And Then There Were None, Agatha Christie.”
Dini merengut. “Aku tak suka judul itu.”
“Tolong jangan bocorkan akhirnya.”
Dini tertawa. “Aku akan tutup mulut.”
Baguslah. Terakhir, dia membocorkan keseluruhan akhir dari novel lain Agatha Christie padaku.
“Apa judul favorit Budi dari karya Agatha Christie? Tunggu, biar kutebak.” Dini tampak berpikir. “Death on the Nile?”
“Bukan.”
Apa aku tampak seperti orang yang yang akan merasa relevan dengan drama perselingkuhan?
“Baiklah, aku menyerah. Judul apa yang paling Budi suka?”
“Five Little Pigs.”
“Oh, aku juga cukup suka judul itu. Menyenangkan membayangkan para terduga dalam kasus tersebut terwakilkan oleh satu babi.”
Aku tidak mengerti apa yang menyenangkan dari sudut pandang tersebut.
“Kenapa Budi suka judul itu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku belum memikirkan alasannya.”
Dini memasang muka heran. “Kukira Budi selalu memikirkan alasan dari semua hal.”
“Apa kau pikir aku ini semacam filsuf Yunani?”
Dini tertawa kecil.
“Tidak boleh berisik di perpustakaan ini.” Seseorang tiba-tiba menegur kami.
Si penegur tersenyum jahil. Aku lupa kalau Nissa adalah anggota.. relawan perpustakaan.
“Nissa. Apa kau akan bertugas?” Dini bertanya.
“Tidak, aku hanya mampir.” Nissa menggeleng, lalu duduk di sebelah Dini. “Tak kusangka melihat kalian berdua di sini. Bukankah seharusnya kita libur? Kalian malah berpindah ke perpustakaan. Apa kalian juga membahas misteri di sini?”
Aku tadinya tidak berencana seperti itu.
“Kami memang membicarakan novel misteri,” ujar Dini.
“Tetap tak bisa lepas dari misteri, ya.” Nissa tersenyum. “Apa kau semacam penggemar keras misteri, Budi?”
Aku menggaruk kepala. “Tidak juga. Aku hanya suka membaca cerita yang menarik. Kebetulan sebagiannya bergenre misteri. Kurasa kau atau Dini lebih pas disebut sebagai penggemar misteri.”
Nissa mengangkat bahu. “Sejujurnya, jawabannya juga tidak. Menjadi penggemar butuh kesetiaan, aku tak punya itu. Jika disuruh memilih, aku akan tetap mendahulukan Harry Potter ketimbang Sherlock Holmes. Atau kegiatan perpustakaan ketimbang kegiatan klub. Maaf.”
Jadi, Nissa siap mengabaikan kegiatan klub untuk kegiatan perpustakaan. Aku baru tahu itu. Kukira dia adalah anak yang akan mengabaikan kegiatan kelas demi kegiatan klub. Tunggu, apa urutan prioritasnya memang seperti itu?