Jika kau melihat sebuah berita di suatu pagi, dan kau menemukan nama yang kau kenal di sana, disebut terkait dengan hal-hal buruk, apa yang akan terjadi pada hubungan kalian?
Lebih buruk, dalam kasusku, aku tahu berita itu akan datang. Namanya memang tak ada, tapi nama ayah kandungnya disebut gamblang tanpa inisial.
Hari pertama setelah sebuah artikel investigasi di sebuah majalah berita pekanan keluar, tak banyak kehebohan yang terjadi di sekolah. Hanya saja seorang anak perempuan tak masuk. Pak Seno mengatakan sebuah surat dihantarkan. Murid teladan itu tak masuk karena urusan keluarga. Jarang terjadi, tapi bukan pertama kalinya. Begitu kata Nissa.
Libur klub misteri diperpanjang.
Hari kedua setelah sebuah artikel investigasi di sebuah majalah berita pekanan keluar, berita susulan mulai bermunculan. Beberapa kasak-kusuk terdengar. Pak Seno tak memperpanjang penjelasan kenapa salah satu muridnya kembali tidak masuk sekolah. Nissa telah membaca berita itu. Dia tak tahu harus mengatakan apa.
Libur klub misteri kembali diperpanjang.
Hari ketiga setelah sebuah artikel investigasi di sebuah majalah berita pekanan keluar, sebuah berita aktual lain keluar, penangkapan seorang bupati sebuah daerah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekolah kami menjadi heboh. Kasak kusuk berubah menjadi obrolan panas di setiap sudut. Bu Indira, Wakepsek kami, mendatangi kelas 10 B. Dia berbicara ambigu pada kami soal menjaga suasana dan mendoakan teman yang menghadapi ujian.
Kak Widi menghampiriku dan bertanya apa aku tahu kabar anak perempuan itu. Ia sudah bertanya pada Nissa, dia tak tahu, ia juga bertanya pada Kak Juang, dia tak mau bicara. Aku sendiri juga tak punya jawaban.
Kegiatan klub misteri ditangguhkan sampai waktu yang belum ditentukan.
Hari keempat setelah setelah sebuah artikel investigasi di sebuah majalah berita pekanan keluar, hampir semua laman berita menampilkan judul utama serupa; ada kerangkeng manusia di rumah seorang bupati yang ditangkap oleh KPK. Sekolah gempar. Tak ada satupun murid yang tak tahu atau tak membicarakan soal ini. Pak Danar, Kepsek kami, menghimbau agar kami tetap fokus belajar.
Kali ini, banyak murid lain, bahkan yang tak kukenal, bertanya padaku soal anak perempuan itu. Aku tidak tahu. Aku cuma bisa menjawab begitu.
Tak ada pembicaraan, tapi sepertinya klub misteri terancam bubar.
***
Hari-hari berikutnya, aku berusaha kembali pada kehidupan normal sebagai seorang murid sekolah. Sejauh ini, sudah tak banyak yang bertanya macam-macam hal padaku. Berkat jawabanku yang selalu sama, kapanpun, di manapun, dan siapapun yang bertanya. Aku tidak tahu. Setengahnya benar. Pada akhirnya, semua orang menyerah dan aku kembali ke keseharianku sebagai cuma salah satu murid, alih-alih sumber A1 untuk gosip terhangat.
Aku tidak tahu kabar anggota klub misteri yang lain. Nissa sendiri berubah murung. Pun teman sebangku anak perempuan yang tak kunjung masuk itu, tampak ikut tertekan dengan situasi akhir-akhir ini. Aku turut bersimpati, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Kami yang punya situasi yang sama ini tak bisa bebas berinteraksi satu sama lain secara terbuka. Hal itu hanya akan memancing para pemakan bangkai kelaparan semakin mengincar kami, menganggap kami bersekongkol menyembunyikan bangkainya dari mereka.
Untungnya, Ujian Tengah Semester (UTS) semakin mendekat, dan perhatian para murid pun mau tak mau teralihkan.
Tentu saja ada yang berubah. Oki, setelah berusaha mengorek informasi dariku, -yang berakhir sia-sia-, masih berbicara dengan normal denganku. Hanya saja intensitasnya semakin jarang. Begitu pula dengan agenda pulang bersama kami. Aku jadi lumayan kerap pulang sendirian. Kesunyian saat membelah jalanan yang diapit hutan, sekarang berubah memekakkan. Ketakutanku pulang sendirian pun kini memudar. Entah itu hal yang baik atau buruk.
Beberapa kali, aku juga melihat mobil aparat melintas. Ada perkebunan sawit milik bupati yang ditangkap di dekat kampungku, kebun itu tampaknya disita dan aktivitas pekerjanya dihentikan. Aku juga mendengar rumah bupati itu disegel dan dijaga ketat. Menurut berita terakhir, persidangan akan segera digelar dan bupati itu akan dituntut hukuman 14 tahun penjara. Aku tidak membaca lagi kelengkapannya.
Ada hal yang terasa surealis saat sesuatu yang sedikit banyak terhubung denganmu, muncul dalam pemberitaan dan jadi perbincangan banyak orang. Ini pengalaman keduaku. Meski, skalanya berbeda. Mungkin karena ini pengalaman kedua, aku cukup tenang menghadapinya. Aku hanya bisa memperhatikan proses hukum berjalan kali ini, jadi kasus itu sendiri tak menggangguku secara langsung. Aku hanya memikirkan soal satu hal. Soal seseorang.
“Apa kau akan melupakan dia begitu saja?”
Pertanyaan itu menyadarkanku. Nissa berkata sambil mengalihkan pandangannya. Aku tak bisa langsung menjawab.
Kami sedang berada di sebuah kafe. Terakhir kali kami ke sini, seorang anak perempuan lain menceritakan soal sahabatnya yang menghilang. Bagaimanapun, tempat ini adalah satu-satunya pilihan kami. Bertemu di tempat manapun di sekolah saat ini, rasanya terlalu menyesakkan. Meski, tempat ini juga tak bisa disebut sebagai suaka.
Kurasa, aku sudah kehilangan semua suaka. Tapi, aku masih punya rumah. Di sisi lain, ia yang kami perbincangkan, mungkin tak hanya telah kehilangan suaka tapi juga telah kehilangan rumahnya.
Melupakan, ya?
“Meski aku menjawab tidak, memangnya, aku bisa apa?” Aku berkata dengan tenang.
Nissa menggigit bibirnya. Ia berbicara, dan ia terdengar sedikit marah.
“Ada banyak… ada beberapa hal yang bisa kita lakukan! Yang bisa kau lakukan!” Ia berhenti.
Setelah jeda cukup panjang, Nissa kembali berbicara.
“Kau benar. Meski ada sesuatu yang bisa kau lakukan sekalipun, kau tak wajib melakukannya. Kau baru mengenalnya tak lebih dari tiga bulan ini.”
Aku hanya diam.
“Meski begitu, setidaknya, kau bisa mendengarkan satu ceritaku.”
Aku tak menolak ataupun menyetujui. Cerita Nissa bergulir begitu saja.
***
Aku sudah sekelas dengannya sejak kelas 7 SMP. Kami hanya berpisah kelas saat masuk ke SMA tahun ini. Kau mungkin tahu kami sudah berteman lama, tapi apa kau tahu, di tahun pertama, meski sekelas, aku tak berteman dengan Dini sampai akhir semester satu. Mengherankan, bukan?
Pada awalnya, aku tak suka dengan anak bernama Dini. Bagiku, dia hanya anak manja dari keluarga kaya. Aku menduga, dia pastinya angkuh dan memandang rendah orang lain. Meski kemudian, dugaanku itu tak terbukti, aku tetap enggan berteman dengannya. Kami hanya bertegur sapa seperlunya. Dia sendiri beberapa kali mengajakku bicara, aku hanya menjawab sekenanya. Begitu hampir enam bulan berlalu, Dini si anak populer dan Nissa si kutu buku tak begitu mengenal satu sama lain, meski berasal dari kelas yang sama.
Sampai suatu saat, menjelang Ujian Akhir Semester pertama kami, sebuah insiden terjadi. Sekolah kami waktu itu punya kebiasaan untuk mengadakan kerja bakti tiap menjelang ujian. Kelas kami mendapat tugas untuk membersihkan halaman belakang sekolah yang difungsikan sebagai kebun. Pekerjaan utama kami adalah membersihkan kebun dari rumput liar dan ilalang.
Di dekat kebun, ada sebuah lubang resapan biopori yang sudah tak terawat. Lubang itu agak tertutup oleh rumput. Seorang murid perempuan terperosok ke dalamnya. Hujan sepekan ke belakang waktu itu sedang lebat-lebatnya. Suasana basah menjadikan lubang yang hampir semeter itu tampak dua kali lebih menjijikkan. Kami seharusnya didampingi seorang guru, tapi ia sedang pergi entah keman.
Anak perempuan itu menangis. Ia kotor oleh kompos basah yang ditimbun. Bagaimanapun, kami masih bocah dari Sekolah Dasar beberapa bulan yang lalu. Semua anak bergeming. Sebagian bahkan tertawa. Tak ada yang melakukan selain itu, termasuk aku yang hanya mematung.
Hingga seorang anak perempuan lain, dengan segera dan tanpa ragu, turun ke lubang itu. Ia melangkah berhati-hati, tenang dan tak terburu-buru. Dia kemudian menolong anak perempuan yang terperosok itu berdiri dan membantunya keluar dari lubang.
Anak manja dari keluarga kaya itu bergumul dengan kompos basah dan bau, dan menolong seorang anak perempuan yang terjatuh ke dalamnya. Saat anak-anak lainnya hanya bisa mematung. Hanya Dini yang dengan segera mengambil keputusan untuk menolong. Sejak saat itu, pandanganku tentangnya berubah sepenuhnya.
Beberapa hari setelahnya, aku melihatnya sedang belajar sendirian di perpustakaan sekolah. Aku pun menghampirinya. Seperti kau tahu, ibuku adalah pustakawati di sekolah kami. Ibu bilang Dini sering berkunjung. Aku sendiri beberapa kali melihatnya, tapi aku tak begitu peduli sebelumnya.
Aku menghampirinya dan Dini mempersilakanku duduk di sampingnya. Aku bertanya soal buku favoritnya. Saat itu, ia menjawab tak bisa memilih satu. Kami berbincang cukup panjang. Dan sejak saat itu, kami berteman. Untuk seterusnya, bahkan meski dengan apa yang terjadi sekarang.
***
“Apa kau tak apa, Budi?” Kak Widi bertanya.