Bisakah kita melewatkan perjumpaan dalam hidup?
Seorang psikolog mengatakan bahwa semua persoalan manusia selalu berkaitan dengan orang lain. Selama kita tak benar-benar hidup sendiri di muka bumi, maka persoalan akan selalu datang. Dan tak ada manusia yang benar-benar bisa terus sendiri dalam hidup. Kita tak bisa melewatkan perjumpaan. Bersemedi di gunung pun, kita tak luput dari kemungkinan perjumpaan. Entah tim pencarian menemukan kita, atau perusahaan tambang datang menggusur tempat kita bersila. Perjumpaan tak terelakkan.
Di sebagiannya, kita punya separuh kuasa untuk menentukan. Separuh lainnya, bergantung pada lawan perjumpaan kita.
“Siapa itu Sherlock Holmes?” Tari bertanya.
“Tokoh fiksi,” ujarku.
Aku sedang memandangi layar komputer, meminjam satu-satunya milik keluarga paman dan bibi. Aku tengah mencari tahu soal The Adventure of The Dancing Men, salah satu judul serial Sherlock Holmes, karya Arthur Conan Doyle. Hari tengah tertidur. Dan Tari tengah memutuskan untuk ikut campur urusanku.
“Aku tahu artinya dancing.”
“Hmm,” gumamku.
“Artinya joget bukan?”
Aku menurunkan bahu dan mendesah.
“Tidak salah. Kau bisa juga menyebutnya ‘menari', kata dasarnya seperti namamu, ‘tari’.” Ujarku menjelaskan.
“Tari, menari. Tapi, aku tidak suka menari.”
“Kau bisa protes pada mamamu.”
Kak Juang memberitahuku soal judul cerita ini dengan sebuah alasan. Senang mengetahui ia masih bisa memikirkan teka-teki di segala situasi. Hanya saja, aku belum pernah membacanya. Jadi, aku perlu mencari tahu. Aku bisa saja membaca utuh novelnya, tapi sepertinya sekarang bukan saat yang tepat untuk menghabiskan waktu dengan bersantai membaca.
“Apa Kak Budi ingin belajar menari?” Tari kembali bertanya.
Kalaupun iya, butuh puluhan tahun agar aku mahir. Aku tak punya waktu.
“Aku juga tidak suka menari, Tari.”
Tari melihatku dengan wajah penasaran. “Apa yang Kak Budi suka?”
Pertanyaan yang sulit. Aku berpikir sejenak.
“Aku suka hidup yang damai.”
Pupil mata Tari masih melebar.
“Hidup yang damai itu seperti apa?”
Pertanyaan sulit lainnya. Salahku karena menjawab seperti itu.
Hidup yang damai itu seperti apa? Aku juga tak punya definisi pasti. Setidaknya aku tahu, kedamaian tak bisa didapat sendiri karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Kalau bisa menyederhanakan, kurasa hidup damai adalah kehidupan di mana manusia berusaha saling mengerti. Aku tak yakin, aku cuma anak SMA biasa. Apa yang kutahu soal kehidupan?
“Nanti akan aku jawab kalau aku sudah menemukan jawabannya.”
“Kapan kira-kira?”
“Entahlah. Mungkin saat kakak sudah dewasa.”
Aku menengok, tanda tanya masih menghiasi wajah anak kelas 3 SD itu.
“Apa itu berarti kakak tidak hidup damai sampai kakak dewasa?”
Pertanyaan Tari kali ini mengejutkanku. Aku menelan ludah. Entahlah. Aku juga tak suka membayangkan harus menyerahkan permasalahan kepada diriku di masa depan. Rasanya kurang bertanggung jawab. Tapi, yang bisa dilakukan anak-anak juga terbatas. Tangan kita masih pendek. Tari tak bisa menjangkau kue yang disembunyikan bibi di lemari atas. Aku pun demikian, banyak hal-hal yang tak bisa kujangkau. Tapi, apa yang sebenarnya masih bisa kujangkau?
Aku menghela nafas.
“Kau benar, Tari. Seharusnya aku tidak menunggu saat dewasa.”
Aku mengalihkan pandangan ke kejauhan. Pemandangan alam mungkin akan bagus, tapi pandangan terjauhku hanya gorden jendela ruang tamu.
“Aku bisa menari sekarang kalau aku mau. Kau pun juga. Atau menjadi dewasa. Atau menjangkau seseorang.”
Atau melakukan perjumpaan.
Aku menggertakkan gigi. Lalu, aku mengangkat Tari untuk duduk di sampingku. Kursi yang kududuki cukup lebar untuk kami berdua.
“Baiklah. Mari kita belajar bersama, Petualangan Orang-orang yang Menari.”
Dari pantulan layar komputer, aku melihat mata Tari berbinar-binar. Aku tahu dia akan bosan beberapa menit lagi.
***
Selembar foto beralih tangan. Foto yang diberikan oleh Kak Juang sebelumnya. Dia menerimanya sambil tersenyum. Lalu membalik foto tersebut, membaca pesan di baliknya.
“Bagaimana menurut Kak Juang?” Tanyaku.
Kak Juang mengangguk. “Aku tidak akan membantunya, jadi dia harus memecahkannya sendiri. Faktor di luar itu, aku akan berusaha mencari cara.”
“Apa dia benar-benar bisa ke tempat itu sendirian?”
“Kau tak perlu memikirkan hal itu. Masalahnya adalah apakah setelah membaca dan mengerti, dia…” Ucapan Kak Juang terhenti. “Dia akan datang.” Ujarnya dengan keyakinan yang baru saja ia himpun.
Dini tinggal di rumah kerabatnya di daerah pinggir Rangkat saat ini. Ibunya pulang ke rumah orangtuanya, nenek Dini. Aku tidak tahu kenapa, tapi katanya, dia kukuh tak mau pergi dari kabupaten ini. Banyak pria berseragam bawahan papanya yang berjaga di tempat Dini sekarang tinggal. Tidak mudah untuk bertemu dengannya. Pun jika bertemu, tak mungkin bertemu tanpa orang dewasa yang mengawasi. Itu juga yang terjadi saat anggota klub misteri lain mengunjunginya.
“Aku akan memberitahu caramu mencapai tempat itu. Sebelumnya, apa kau punya hal yang ingin kau tanyakan?”
Aku terdiam sejenak.
“Apa Kak Juang sendiri baik-baik saja?”
Kak Juang menaikkan alis.
“Kau mengkhawatirkanku sekarang?” Ia tersenyum miring. Senyumannya yang khas. “Aku baik-baik saja.”
Saat ini, kami kembali ke ruangan klub fotografi. Aku tengah terduduk sambil memegang satu foto lain, yang diberikan Kak Juang sebelumnya. Tak ada cara mudah untuk membicarakan hal ini. Tak ada waktu yang benar-benar tepat untuk membicarakan hal yang tak mudah.
“Aku juga ingin menceritakan sesuatu.” Ujarku tertunduk. Aku menggigit bibir, lalu menegakkan kepala. “Setelah mendengar ceritaku, jika pendapat Kak Juang terhadapku berubah, dan kakak memutuskan untuk tak meneruskan rencana ini, aku menerimanya.”
Kak Juang mengerutkan kening. Aku menelan ludah.
“Mungkin, ini lebih tepat disebut sebagai pengakuan.”
***
Nada dering berhenti dan telepon tersambung.
“Halo? Nak Budi? Aku tidak menyangka kau akan menelpon.”
“Pak Jaka.” Kurasa suaraku sedikit memberat. “Saya ingin bertanya sesuatu.”
“Ya, tentu saja. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Aku terdiam sejenak.
“Berapa lama orang itu akan dipenjara?”
“Hmm. Dia dituntut maksimal hukuman 14 tahun penjara. Tapi menurutku, hukumannya mungkin akan berkurang setengahnya. Mengingat besar pengaruh orang itu, mungkin dia bisa bebas sebelum waktunya.”
“Begitu. Bagaimana dengan korban kerangkeng manusia itu?”
“Komnas HAM yang mengurus masalah tersebut. Kurasa beberapa sudah dikembalikan pada keluarga masing-masing. Namun, tiga orang telah dikonfirmasi wafat dalam kerangkeng tersebut.”
Aku menggigit bibir. “Apa ayah Danu baik-baik saja?”
“Syukurnya, dia baik-baik saja. Aku dengar dia salah satu yang sudah kembali ke keluarga.”
Aku menghela nafas. Ayah Danu pada akhirnya terkonfirmasi sebagai salah satu korban. Aku tidak tahu pasti soal keluarga Kak Mahan. Kemungkinan Kak Raka hanya membual selalu ada.
“Apa kau punya pertanyaan lain? Aku ini orang yang bisa dipercaya, bukan? Aku sudah menepati janjiku padamu.”