Hidup Arya seperti diterjunkan dari puncak menara menuju lembah berkabut yang suram. Ia seharusnya bisa menikmati masa remajanya dengan bahagia, sekolah dengan tenang sampai lulus, kuliah di universitas impian, dapat kerja bagus, menikah dengan wanita yang dicintai, lalu pensiun, dan mati dengan wajah semringah.
Namun, masa depan tidak gampang diterka. Di usia lima belas, Arya tiba-tiba kehilangan kedua orangtuanya. Ia menjadi yatim piatu dalam beberapa menit saja.
Seingatnya, kedua orangtuanya pamit pergi berbelanja. Mereka naik mobil seperti biasa. Lalu, lima belis menit kemudian ponsel Arya berdering, mengabarkan bahwa Ayah dan Mama telah wafat di tempat. Kecelakan lalu lintas, kabarnya.
Itu adalah kabar paling mengerikan yang pernah Arya terima. Itu juga adalah kenyataan paling menakutkan yang tak pernah terbayang dalam pikirannya.
Di usia lima belas, Arya benar-benar kehilangan segalanya. Entah semangatnya, entah kebahagiannya. Ia bahkan merasa akan sulit menemukannya lagi di masa depan.
Namun, walau enggan, hidup masih berjalan. Orang di seluruh dunia tetap tidur dan makan. Hanya Arya yang merasa kosong dan sendirian.
"Kamu ikut Eyang saja ya, Nak? Kita ke desa, kamu tenangin pikiran di sana." Saat itu, Eyang Putri, ibu dari Ayah Arya, membujuk supaya Arya mau meninggalkan kota.
Sebab, walau rumah peninggalan orangtuanya sangat besar, tapi Arya adalah anak tunggal. Ia sendirian tanpa saudara. Walaupun ada paman dan bibi dari pihak Mama, tapi semuanya orang yang sibuk. Mereka punya kehidupan sendiri yang lebih penting, tidak ada waktu untuk mengurus bocah remaja yang sedang murung dan berduka hati.
Lagi pula, rumah Eyang yang berada di desa adalah tempat tenang yang bagus untuk tinggal. Walau desa, tapi akses ke mana-mana mudah, segalanya sudah ada. Bahkan internet pun tidak susah.
Arya yang kehilangan semangat, hanya mengangguk berserah. Tidak ada salahnya bengong di rumah Eyang untuk sementara.
...
Saat itu bulan Agustus.
Setelah naik kereta dua puluh empat jam dari kota besar, Arya pun melanjutkan perjalanan dua puluh menit untuk sampai di rumah Eyang.
Ketika turun dari mobil yang disupiri Eyang Kakung, Arya segera mendapat sambutan ramah dari tantenya yang sedang jaga rumah.
"Wiih, bocil dah sampek. Capek nggak, Cil?" tanya Tante Rana. Tantenya yang mungil walau sudah dua puluh lima tahun itu cepat-cepat membantu Eyang Kakung dan Eyang Putri menurunkan barang dari bagasi.