Sebelum adzan subuh berkumandang, Arya terbangun oleh suara gemiricik air dari kamar mandi. Ia yang tidak bisa tidur nyenyak sejak semalam pun akhirnya memilih bangun juga.
Ketika Arya menengok ke dapur dari pintu kamarnya, ia mendapati Eyang Kung yang baru keluar dari kamar mandi, tampak segar setelah berwudhu.
"Kebangun, Nak?" tanya Eyang Kung ketika sadar diperhatikan oleh kepala Arya yang menyembul dari balik pintu. Mirip tuyul gondrong yang sering jadi bahan guyon.
Arya mengangguk, lalu berjalan menghampiri Eyang Kung. "Mau ke masjid, Yangkung?" tanyanya.
"Iya. Mau ikut?"
Arya tampak berpikir dalam. "Belum adzan ini. Berangkat sekarang?"
Eyang Kung mengangguk lagi. "Iya. Biasanya orang-orang juga sudah pada datang," jawabnya. "Kalau mau ikut, sana siap-siap. Eyang tungguin."
Arya mengangguk, bergegas ke kamar mandi sambil mengambil handuk wajah di sampiran baju.
Persiapan ke masjid dilakukan dengan cepat. Arya pun pergi dengan duduk di boncengan sepeda ontel Eyang Kung. Suasana subuh yang dingin, sedikit membuat Arya begidik.
"Yangkung, mau ada acara apa di sini?" tanya Arya ketika sepeda ontel Eyang Kung melewati lapangan dusun.
Di lapangan yang luas itu, terdapat sound sistem ukuran besar yang ditata rapi. Di sebelah sound, ada semacam kerangka panggung yang belum jadi.
"Biasa, agustusan," jawab Eyang Kung.
"Orkesan, Yangkung?"
Eyang Kung menggeleng kecil, "Bukan. Tahun ini nanggap ludruk."
"Ludruk itu yang kayak pertunjukan lawak, ya?"
"Iya ada lawaknya, tapi ada jalan ceritanya."
"Yangkung nonton?"
"Kan eyangmu ini dapat undangan khusus tiap tahun. Meskipun sudah pensiun, eyangmu ini mantan BPD."
Arya mengedikkan bahu. "Nggak ngerti. BPD emang bagian apaan?"
"Banyak."
Sebenarnya Arya ingin bertanya lebih jauh, tapi sepeda Eyang Kung sudah sampai depan masjid.
Arya pun turun, mengekor di belakang eyangnya yang menuntun sepeda untuk diparkir.
"Masjid di sini keren banget, Yangkung," celetuk Arya melihat desain masjid yang terlihat megah walau sebenarnya tanahnya tidak begitu luas.
Tembok masjid dilapisi keramik warna abu-abu gelap, lantainya mengilat, jendelanya full kaca. Bahkan ada taman kecil yang pasti tidak dibangun sembarangan. Halaman masjid dan tempat parkir juga sudah full paving.
"Eyang cari referensi dari masjid-masjid modern di kota. Di dalam ada AC-nya," jelas Eyang Kung tampak bangga.
Mata Arya pun melotot belo. "Ini mah bukan masjid desa namanya."
"Emang bukan. Ini, 'kan masjid dusun."
"Bedanya apa?"
"Desa terdiri dari beberapa dusun."
"Waaah." Arya semakin terperangah.
"Dusun ini saja punya dua masjid," tambah Eyang Kung.
"Yang satunya lagi di pinggir jalan besar itu, 'kan? Dekat kuburan."
Eyang Kung mengangguk.
"Tapi, jamaahnya penuh?" tanya Arya sedikit curiga.