Bisik Bisik Mistis

pepperrujak
Chapter #3

3. Melihat Pertunjukan

Benar kata Eyang Kung, di dusun saat itu memang sedang menyelanggarakan pesta besar.

Sore hari, di depan kerangka panggung yang belum selesai, beberapa laki-laki dewasa dan pemuda desa menancapkan pinang yang sudah dilumuri oli.

Di tepi lapangan dusun yang luas, orang-orang berjualan sepanjang jalan, saling beradu nasib mencari pelanggan kesayangan.

Arya saat itu hanya melihat dari kejauhan. Walau ingin mendekat, tapi ia malu bukan kepalang, beralasan tidak mengenal banyak orang.

"Cil, ngapain berdiri depan rumah? Sana ke lapangan!" Tante Rana berteriak dari teras. Ia asik duduk bersila di atas kursi kayu sambil menyesap kopi susu. Di samping cangkir porselain warna hijau tua, ada dua biji pisang goreng di atas lepek. Mungkin Eyang Putri baru saja menggoreng pisang di dapur.

Arya pun berjalan ke halaman rumah, melepas sendal depan teras, lalu duduk di samping Tante Rana. "Enggak ah, banyak orang di lapangan."

"Malu, ya?"

"Enggak. Cuma bakal nguras energi aja," sangkal Arya.

Namun, Tante Rana membalas, "Halah, bahasamu. Bilang aja malu. Tantemu ini tahu kok rasanya. Dulu Tante juga gitu. Eh, kayaknya adek-adek juga gitu, deh. Sepupu Tante juga gitu."

"Tiba-tiba anxiety kalau ketemu orang banyak?" tanya Arya.

Tante Rana mengangguk. "Kayaknya sifat turunan."

"Kenapa bisa gitu, ya?" tanya Arya.

Tante Rana mengedikkan bahu, tapi setelah itu malah berucap, "Bukankah sifat bawaan lahir itu karena pengaruh DNA juga, ya? Kan sering tuh, bapaknya galak, anaknya pun punya potensi jadi galak."

"Iya kah? Tapi kan nggak semua," sangkal Arya.

"Iya, Cil. DNA itu pengaruh banget sama sifat orang. Kalau misal ada kasus bapak ibunya galak, tapi anaknya lembut, tetap saja ada kemungkinan warisan DNA dari kakek nenek atau buyut. Kita 'kan nggak tahu, nenek moyang kita dulu dari mana saja dan sifatnya macam apa saja."

Arya mengangguk-angguk, tiba-tiba merasa kalau ucapan tantenya masuk akal. Mungkin ia yang belum belajar, jadi selama ini ia belum paham.

Belum sempat Arya bicara lagi, tantenya sudah berteriak menyapa orang lewat.

"Woi, Toni. Dah sehat, kamu?"

Sambil berlalu karena mengendarai sepeda motor, orang yang disebut Toni itu menjawab keras, "Sudah, Mbak!"

Lalu, Toni segera jauh dari pandangan. Sepeda motornya melaju hingga ujung belokan.

"Itu yang kemarin sawan ya? Yang katanya lihat keranda goyang?" tanya Arya sedikit antusias.

"Iya," jawab Tante Rana sambil menyeruput kopi susunya. "Dia sih emang langganan sawan. Orangnya penakut, jadi mudah kena sakit kalau lihat gituan."

"Pantesan ... sekilas kayak ada asap hitam gitu di punggungnya. Apa itu karena dia tipe yang mudah ketempelan, ya?"

"Asap hitam apaan?" Tante Rana bertanya curiga. "Knalpot motornya kali itu," yakinnya.

"Gitu ta?"

"Iya!" tegas Tante Rana. "Denger ya, Bocil. Kalau lihat hal-hal aneh di sekitar, jangan langsung disimpulin kalau itu sesuatu yang horor dan mistis. Pakai akal sehat dulu."

"Iya ...."

"Kamu kebanyakan ngegosip sama Nek Tun, makanya jadi kebawa-bawa. Anak kota tuh yang logis gitu, loh."

Arya mencebik kecil. "Anak kota apaan. Sekarang kan aku orang desa."

"Ya jadi orang desa yang logis. Biar keren."

"Iya ...."

.

.

.

Pukul empat sore. Arya yang tadinya ingin berleha-leha saja di depan teras sambil ngelamun, mau tidak mau mengikuti Eyang Putri dan Tante Rana yang ingin lihat panjat pinang.

Saat itu Pak MC masih cek sound, dan peserta masih bersiap-siap, tapi penonton sudah ramai mengerumuni pinang. Mereka melingkar dengan jarak tiga meter dari pinang di tengah.

Lihat selengkapnya