Malam itu Arya benar-benar pulang.
Apapun pertunjukan seru yang sedang ditampilkan di panggung, ia tidak tertarik lagi. Saat itu hanya Tante Rana yang menemaninya kembali, sedangkan Eyang Putri tetap bertahan sampai dini hari.
Suara gending jawa dan musik campursari mengiringi pemain ludruk yang sedang melawak. Semua keriuhan itu mengalun hingga kamar Arya, membuatnya sulit memejamkan mata.
Pukul dua pagi ketika acara di lapangan selesai, lagu eling eling diputar sekali lagi. Menutup hajatan besar yang selalu meriah, agak nyeleweng, tapi ditunggu-tunggu tiap tahunnya.
Akhirnya, Arya bisa tidur nyenyak walau sebentar saja.
"Nak, Nak, sudah jam lima ini ayo bangun dulu. Nanti tidurnya dilanjut lagi."
Namun, baru tiga jam Arya mendengkur, Eyang Putri sudah membangunkannya, mengingatkan untuk ibadah.
Ia begitu cepat bangun dari tempat tidur, ambil wudhu, sholat subuh, lalu membuka ponselnya. Dibukanya saluran utub milik desa, official, akun buatan Tante Rana.
Di sana ada siaran langsung yang sudah selesai, siaran semalam. Arya menekan tajuknya, lalu melihat siaran ulang tersebut.
Diamati lama, lamat-lamat, dan fokus. Kamera menyorot ke sekitar, kepada penonton yang ramai bersorak sorai.
Namun, meski sorotan kamera sudah mencapai seluruh lapangan hingga rumah warga, Arya tidak menjumpai 'mereka' yang semalam nangkring di genting dan dahan-dahan pohon.
Keramaian penonton di siaran utub dan yang nyata, ternyata cukup jauh berbeda.
Berarti, benar kata Tante Rana. Di antara penonton ada yang kakinya tidak memijak bumi. Mereka yang berada di atap-atap bukanlah manusia.
Ah, Arya mau pingsan rasanya.
***
"Eyang, badanku panas deh kayaknya," celetuk Arya ketika ia duduk di kursi ruang makan.
Eyang Putri sedang menggoreng ayam, sedangkan Tante Rana membuat kopi hitam.
"Looh, sakit ta, Nak?" tanya Eyang Putri khawatir.
"Minta antar Om Zua ke dokter sana! Mumpung masih pagi, Dokter Ahmad masih di rumahnya belum berangkat ke puskesmas," sahut Tante Rana terdengar cukup galak. Mungkin karena pagi-pagi sudah minum kopi, energinya pun terisi sampai suka emosi.
"Haruskah periksa ke dokter segala? Minum paracetamol nggak cukup, ta?" tanya Arya ragu-ragu.
Namun, Tante Rana menjawab lugas dan cepat. "Harus. Mending ke dokter daripada minum obat sembarangan."
Arya meletakkan kepalanya ke atas meja makan, terlihat lunglai tanpa daya. "Iya ...," pasrahnya.
Akhirnya, setelah drama membangunkan Om Zua yang tidurnya mirip Kumbokarno, Arya pergi ke tempat dokter praktik.
Di perjalanan pulang, Om Zua mampir beli bubur ayam, padahal masakan Eyang Putri tidak kalah enak dari bubur pinggir jalan, tapi omnya itu memang suka jajan.
"Tante Rana nggak dibelikan, Om?" tanya Arya ketika melihat omnya hanya membeli dua porsi.
"Mbak Rana nggak doyan bubur ayam," jawab Om Zua cepat.