....
JULIA pulang dari kantor diantar Rendi dengan mobilnya. Suasana di dalam mobil terasa hangat dan nyaman, namun ketika mereka mendekati rumah, perasaan tenang itu seketika sirna. Di depan rumah, dua sosok besar dengan tatapan tajam dan pakaian kumal berdiri menghalangi jalan. Sinta terlihat terkulai lemah di depan mereka, wajahnya pucat dan matanya memohon. Sementara Norman terlihat cemas di samping Sinta, tidak mampu berbuat banyak.
"Cukup sudah! Hutang Danu sepuluh juta harus dibayar! Dimana dia sekarang?! Cepat katakan!" teriak salah satu preman, suaranya menggema seperti guntur.
Julia turun dari mobil dengan cepat. Rendi mengikuti, merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka semakin dekat, suara keras dari salah satu preman itu kembali terdengar jelas.
"Kalau Danu tidak segera bayar, kita akan ambil barang-barang di sini. Kami tidak main-main!" lanjut preman itu, menatap Sinta dengan sinis. Tangan kanannya mengepal, seolah siap untuk melakukan kekerasan jika diperlukan.
"Ibu!"
Julia berlari menghampiri mereka dengan perasaan takut yang menyelimuti dirinya.
"Ibu, ada apa ini?" tanya Julia penuh kekhawatiran.
Sinta menatapnya, air mata mengalir di pipinya. "Mereka datang untuk menagih hutang Danu. Kita tidak punya uang sebanyak itu, Julia!"
Tanpa berpikir panjang, Julia menatap kedua preman itu. "Tolong, Saya mohon! Beri kami kesempatan. Kami akan membayar hutang itu secepatnya."
"Kalian pikir kami akan percaya? Sudah banyak orang yang mengatakan sama seperti apa yang kamu katakan. Tapi, hasilnya? Nihil! Waktu adalah uang, dan kami tidak punya banyak waktu untuk bicara omong kosong dengan kalian," ucap salah satu preman.
Julia merasakan perutnya mual, tidak ada uang untuk membayar hutang sebesar itu, dan harapan untuk menyelesaikan masalah ini terasa semakin menipis. Rendi, yang semenjak tadi mendengarkan, tidak tinggal diam.
"Julia, biarkan aku membantu. Aku bisa mentransfer uang itu sekarang," ucap Rendi.
"Aku nggak bisa menerima bantuanmu, Rendi. Ini urusan keluargaku," Julia menolak.
"Tapi, kamu nggak bisa membiarkan mereka seperti ini. Biarkan aku membantu," Rendi bersikeras, menatap mata Julia dengan penuh keyakinan.
Dengan napas berat, Julia akhirnya mengangguk. Rendi segera mengeluarkan ponselnya untuk melakukan transaksi. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, ia dengan cepat melakukan proses transfer.
Sementara itu, preman yang sebelumnya mengancam, terlihat semakin tidak sabar. "Ayo cepat! Jangan sampai kami harus mengulang pertemuan ini."
Transaksi berhasil. Rendi menunjukkan bukti transfer. Salah satu preman itu menerima telepon dari bosnya untuk mengkonfirmasi pembayaran. Suasana terasa menegang, namun saat preman itu mengangguk pertanda beres, beban di dada Julia terasa sedikit ringan.
"Kalau sudah, jangan berlama-lama disini. Cepatlah pergi!" ucap Rendi dengan tegas.
"Baik, kami akan pergi," ucap preman itu sambil menepuk bahu rekannya, lalu mereka berdua pergi dengan langkah angkuh.
"Rendi, mampir lah dulu walau sebentar," ucap Norman.
"Baik, Om!" ucap Rendi.
Mereka melangkah masuk, Rendi mengamati sekeliling dengan seksama. Ruangan sederhana dengan beberapa hiasan dinding dan foto keluarga membuatnya merasa hangat.
"Walaupun rumah kami sangat sederhana, ku harap kamu tidak keberatan jika menganggapnya rumah sendiri," ucap Norman.
"Om jangan berkata seperti itu. Yang terpenting adalah kebersamaan. Rumah yang nyaman bukan diukur dari seberapa besar atau mahalnya, tetapi dari seberapa hangatnya hubungan antar anggota keluarga. Dan saya melihat itu di sini," ucap Rendi.
Kedua bola mata Rendi tertuju pada sebuah foto masa kecil yang berada diatas meja kecil samping sofa. Rendi terpesona oleh wajah imut Julia yang tampak ceria.
"Apakah itu Julia? Julia kecil terlihat lucu dan menggemaskan!" ucap Rendi dengan senyum yang tak kunjung pudar.
Julia yang merasa wajahnya memerah langsung berusaha menutup figura foto tersebut.
"Aduh, jangan dilihat! Itu waktu gigi depanku ompong semua," ujar Julia, berusaha terdengar bercanda meskipun jelas ia merasa canggung.