Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #17

Bab 16 : Tanpa Syarat

....

JULIA pulang dari kantor diantar Rendi dengan mobilnya. Suasana di dalam mobil terasa hangat dan nyaman, namun ketika mereka mendekati rumah, perasaan tenang itu seketika sirna. Di depan rumah, dua sosok besar dengan tatapan tajam dan pakaian kumal berdiri menghalangi jalan. Sinta terlihat terkulai lemah di depan mereka, wajahnya pucat dan matanya memohon. Sementara Norman terlihat cemas di samping Sinta, tidak mampu berbuat banyak.

"Cukup sudah, Bu! Hutang Danu sepuluh juta harus dibayar! Dimana dia sekarang?! Cepat katakan!" teriak salah satu preman, suaranya menggema seperti guntur.

Julia turun dari mobil dengan cepat. Rendi mengikuti, merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka semakin dekat, suara keras dari salah satu preman itu terdengar jelas.

"Kalau tidak dibayar, kita akan ambil barang-barang di sini. Kami tidak main-main!" lanjut preman lainnya, menatap Sinta dengan sinis. Tangan kanannya mengepal, seolah siap untuk melakukan kekerasan jika diperlukan.

Julia merasa jantungnya berdegup kencang. "Ibu!"

Julia, berlari menghampiri mereka. Rasa takut menyelimuti Julia, tetapi ia berusaha tetap tegar.

"Ibu, ada apa ini?" tanya Julia penuh kekhawatiran.

Sinta menatapnya, air mata mengalir di pipinya. "Mereka datang untuk menagih hutang Danu. Kita tidak punya uang sebanyak itu, Julia!" jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.

Tanpa berpikir panjang, Julia menatap kedua preman itu. "Tolong, Saya mohon. Kami akan membayar hutang itu secepatnya."

"Kalian pikir kami akan percaya? Sudah banyak orang yang mengatakan sama seperti apa yang kamu katakan. Tapi, hasilnya? Nihil! Waktu adalah uang, dan kami tidak punya banyak waktu untuk bicara omong kosong dengan kalian," ucap salah satu preman.

Kedua preman itu saling bertukar pandang, terlihat skeptis. Julia merasakan perutnya mual, tidak ada uang untuk membayar hutang sebesar itu, dan harapan untuk menyelesaikan masalah ini terasa semakin menipis. Rendi, yang semenjak tadi mendengarkan, tidak tinggal diam.

"Julia, biarkan aku membantu. Aku bisa mentransfer uang itu sekarang," ucap Rendi.

"Aku tidak bisa menerima bantuanmu, Rendi. Ini urusan keluargaku," Julia menolak meskipun hatinya bergetar.

"Tapi kamu tidak bisa membiarkan mereka seperti ini. Biarkan aku membantu," Rendi bersikeras, menatap mata Julia dengan penuh keyakinan.

Dengan napas berat, Julia akhirnya mengangguk. Rendi segera mengeluarkan ponselnya, meminta nomor rekening. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, ia dengan cepat melakukan transfer. Hati Julia berdebar saat melihat Rendi berusaha menyelamatkan situasi yang sangat tegang ini.

Sementara itu, preman yang sebelumnya mengancam, terlihat semakin tidak sabar. "Ayo cepat! Jangan sampai kami harus mengulang pertemuan ini."

Transaksi berhasil. Rendi menunjukkan bukti transfer. Salah satu preman itu menerima telepon dari bosnya untuk mengkonfirmasi pembayaran. Suasana terasa menegang, namun saat preman itu mengangguk dan terlihat lega, beban di dada Julia terasa sedikit ringan.

"Kalau sudah, jangan berlama-lama disini. Cepatlah pergi!" ucap Rendi dengan tegas.

"Baik, kami akan pergi sekarang," ucap preman itu sambil menepuk bahu rekannya, lalu mereka berdua pergi dengan langkah angkuh.

Sinta berlari menghampiri Julia, wajah mereka dipenuhi rasa syukur. Suaranya terdengar penuh haru. "Terima kasih, Rendi. Kamu benar-benar menyelamatkan kami."

Setelah situasi tegang mereda, Julia mengajak Rendi masuk ke dalam rumah. Saat melangkah masuk, Rendi mengamati sekeliling dengan seksama. Ruangan sederhana dengan beberapa hiasan dinding dan foto keluarga membuatnya merasa hangat.

"Walaupun rumah kami sangat sederhana, ku harap kamu tidak keberatan jika menganggapnya rumah sendiri," ucap Norman, merendah.

"Pak Norman, jangan berkata seperti itu. Yang penting adalah kebersamaan. Rumah yang nyaman bukan diukur dari seberapa besar atau mahalnya, tetapi dari seberapa hangatnya hubungan antar anggota keluarga. Dan saya melihat itu di sini," ucap Rendi.

Norman mengangguk, "Ya. Kamu benar. Keluarga dan cinta adalah yang terpenting."

Kedua bola mata Rendi tertuju pada sebuah foto masa kecil yang berada diatas meja kecil samping sofa. Rendi terpesona oleh wajah imut Julia yang tampak ceria.

"Apakah itu Julia? Julia kecil terlihat sangat menggemaskan!" ucap Rendi dengan senyum yang tak kunjung pudar, menunjuk foto itu.

Julia merasa wajahnya memerah dan langsung berusaha menutup figura foto tersebut.

"Aduh, jangan dilihat! Itu waktu gigi depanku ompong semua," ujar Julia, berusaha terdengar bercanda meskipun jelas ia merasa canggung.

Norman ikut tertawa, "Ah, semua orang pasti punya foto jelek masa kecil, Julia. Tapi kamu tetap cantik."

Sinta muncul membawa minuman, menyela, "Ada apa ini? Kenapa foto itu kamu tutup?"

"Rendi baru saja melihat foto masa kecilku, Bu. Memangnya aku dulu beneran imut, ya?" jawab Julia dengan nada setengah bercanda.

Lihat selengkapnya