....
KEESOKAN paginya, cahaya matahari lembut masuk melalui jendela rumah, menyinari sudut-sudut rumah yang masih terasa sepi. Julia melangkah keluar dari kamarnya, merasa sedikit lebih tenang setelah malam yang melelahkan. Saat ia sampai di ruang tengah, pemandangan yang sudah tidak asing lagi menyapanya—Danu masih tertidur lelap di sofa, dengan posisi tubuh yang berantakan.
Sinta, Ibunya, tampak sibuk membereskan sisa-sisa kekacauan semalam. Kulit kacang yang berserakan di lantai dikumpulkan dalam satu genggaman, sementara kaleng soda kosong dikumpulkan dengan hati-hati agar tidak membuat terlalu banyak suara dan membangunkan Danu.
Julia berhenti sejenak di ambang pintu. Melihat Ibunya yang dengan sabar membersihkan kekacauan yang bukan miliknya, ada rasa bersalah dan jengah yang bercampur dalam dada Julia. Ia menghela napas panjang, menahan emosi yang mati-matian coba ia tahan.
"Biar Julia saja yang bersihkan, Bu!" katanya dengan suara pelan dan melangkah mendekat.
Sinta berhenti sejenak, menoleh ke arah putrinya dan tersenyum lembut meskipun ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Nggak apa-apa, Ju! Biar Ibu yang urus. Kamu pergi mandi saja," jawabnya dengan lembut, meskipun tangannya terus bergerak.
Julia menatap Ibunya, merasakan dorongan yang kuat untuk mengambil alih. "Sudah, Bu... Biar Julia yang bersihin," katanya lagi, lebih tegas. Kali ini, ia segera mengambil sapu dari tangan Ibunya, seolah memaksa tanpa kata.
"Terima kasih, ya, Julia," ucap Sinta yang akhirnya menyerah, tersenyum lemah sebelum kemudian berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan sarapan. Julia memandangi punggung Ibunya sejenak, lalu beralih menatap Danu yang masih tertidur pulas, seakan dunia di sekeliling pria itu tak berarti apa-apa. Dengan menahan kesal, Julia mulai membersihkan kekacauan itu.
....
Siang itu, suasana kantor terasa sibuk. Julia duduk di mejanya, memandang layar komputer sambil mengerjakan revisi artikel. Ia memutuskan untuk mengajak rekannya, Bona dan Caitlin, untuk minum kopi sejenak di kafe seberang.
"Hey, kalian mau ikut minum kopi?" tanya Julia sambil berdiri.
Bona menggelengkan kepala. "Maaf, Ju. Aku harus menyelesaikan desain ini."
Caitlin menambahkan, "Aku juga, Ju. Deadline menunggu. Mungkin lain kali saja."
Julia sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk. "Baiklah, mau titip saja?"
"Boleh. Capuccino, ya! Maaf merepotkan," ucap Caitlin.
"Aku juga. Terima kasih, Julia!" ucap Bona.
"Oke."
Julia melangkah keluar dari kantor. Saat ia hendak pergi, ia bertemu Pak Wijaya, atasannya yang tampak baru saja selesai dengan urusannya.
"Selamat siang, Pak Wijaya!" sapa Julia ramah.
"Selamat siang, Julia! Mau pergi keluar?"
"Iya, Pak! Rasanya Saya butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiran dengan minum secangkir kopi. Apa Bapak ingin pesan juga? Nanti biar Saya bawakan pesanan Bapak," ucap Julia.
"Terima kasih, Julia. Tapi sepertinya tidak perlu karena sehabis ini Saya masih harus menghadiri sebuah acara," kata Pak Wijaya sambil tersenyum.
"Baik, Pak!"
Julia hanya memperhatikan Pak Wijaya yang kian menjauh dan masuk ke dalam ruangannya. Julia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
....
Julia melangkahkan kaki memasuki kafe. Suasana kafe cukup ramai, aroma kopi dan roti memenuhi udara. Ia mengantri di belakang beberapa orang. Saat tiba giliran, Julia dengan cepat memesan caramel latte kesukaannya dan dua pesanan capuccino milik temannya. Sambil menunggu, ia melihat sekeliling. Namun, jantungnya nyaris berhenti dan merasakan sedikit penyesalan. Diantara pengunjung yang datang untuk menikmati kopi, ada Evelyn dengan tatapan tajam yang juga menatap kearahnya. Setelah pesanan Julia selesai, ia datang untuk sekedar menyapa Evelyn walau sebenarnya ia tidak ingin melakukannya.
"Selamat siang, Tante Evelyn!" sapa Julia.
"Selamat siang!" Evelyn menyapa, suaranya datar, seolah tidak ada emosi di dalamnya. "Ternyata kamu juga suka kopi di sini."
Julia terpaksa tersenyum, meskipun rasa tidak nyaman menyergapnya. "Iya. Kebetulan kantor Saya juga berada di seberang."